Dalil tentang sifat amanah terdapat dalam surat dan ayat

Muslim T-shirts

AYAT-AYAT TENTANG AMANAT

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah tafsir ayat ahkam

Dosen pembimbing: Nur Rohman CS, S.Ag, M.Si, MA

Disusun oleh: Siswady_re JAKARTA

2012 M/ 1434 H

A. Surat an- Nisa ayat 58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.

Sebuah riwayat yang menceritakan ayat tentang memberikan amanat dan hak kepada yang berhak serta menghukum dengan adil ini adalah sebuah kisah ketika terjadinya pembukaan kota Mekkah. Ketika itu, penjaga ka’bah adalah ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr. Beliau mengunci ka’bah. Maka ‘Abbâs mengambil dengan paksa kunci tersebut. Lalu Rasulullah mengutus ‘Alî RA untuk meminta ‘Abbâs mengembalikan kunci tersebut dan meminta maaf kepada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr. Setelah itu, ‘Ali RA pun menceritakan pada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr bahwa ayat ini diturunkan kepadanya. Maka ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr pun memeluk Islam. Walaupun ayat ini diturunkan oleh sebab yang tertentu, akan tetapi ayat ini tetap berlaku secara umum dan bukan hanya tertakluk pada sebab kisah ini. Ini dikarenakan oleh sebuah kaedah dalam ‘ulûm al-Qur`ân yang berbunyi العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب”

Perintah awal dari ayat ini adalah supaya menjalani amanat dengan memberikannya kepada ahlinya bagi setiap muslimin. Sama ada hak bagi dirinya sendiri maupun hak bagi orang lain serta hak Allah secara umum.

Contoh menjaga amanah dalam hak Allah adalah seperti mematuhi perintahnya dan menjauhi larangannya. Menjaga amanah bagi hak manusia itu sendiri adalah seperti tidak melakukan kecuali apa yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat. Sedangkan menjaga amanah bagi orang lain adalah seperti tidak menipu ketika bermuamalat, berjihad, dan nasihat.

Setelah menetapkan amanah, maka datanglah giliran menghukumi dengan adil diantara manusia. Dalam firman Allah yang berbunyi “حَكَمْتُمْ” adalah merupakan fi’il mâdli yang bertemu dengan dlamîr muttashil “أنتم”. Ia memiliki arti “القضاء” yaitu menghukumi. Asal usulnya bermakna “المنع” yaitu mencegah. Contohnya:

“حكمت عليه بكذا إذا منعته مِنْ خِلَافِهِ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْخُرُوجِ مِنْ ذَلِكَ وَحَكَمْتُ بَيْنَ الْقَوْمِ فَصَلْتُ بَيْنَهُمْ فَأَنَا حَاكِمٌ”

“aku menghukum terhadapnya begini ketika akau menghalangnya dari melakukan sebaliknya, maka dia tidak mampu melakukan selain itu. Dan aku menghukum di antara kaum yaitu memutuskan di antara mereka maka aku adalah seorang hakim”. Secara istilah, kata menghukumi atau dalam bahasa Arab yang lebih dikenali dengan kata “القضاء” itu adalah memisah pertengkarang/persengketaan dan menghilangkan perselisihan. Ia adalah dituntut dalam Islam berdasarkan firman Allah إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله”. Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylî, bahwa kata “adil” di dalam ayat ini adalah

“إيصال الحق إلى صاحبه من أقرب طريق”

yaitu “memberikan hak kepada pemiliknya dengan jalan yang terdekat”.
Keadilan adalah merupkan asas kepimpinan. Ia adalah asal dari dasar-dasar hukum di dalam Islam. Wajib ada bagi masyarakat sosial agar yang lemah dapat mengambil haknya. Yang kuat tidak merampas dari yang lemah. Terlestarilah keamanan. Seluruh syariat yang datang dari Allah (seperti agama Yahudi dan Nasrani) itu mewajibkan mendirikan keadilan. Maka dari itu, wajib bagi hakim dan perangkat pemerintahan melestarikan keadilan sehingga hak-hak tersentuh ahlinya

Dalam membahas tentang adil ini, Alquran menyebutkannya di lebih dari satu tempat. Seperti contoh Surah al-Nahl ayat 90 yang berbunyi: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Kata adil menurut `Ibn ‘Athiyyah: “telah berkata al-Qâdlî `Abû Muhammad: Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat, kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan kezaliman, memberikan sesuatu yang hak”.

B. Surat Al-Anfal Ayat 27

يا ايها الذين امنوا لا تخونواالله والرسول وتخونواأمنتكم وانتم تعلمون

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS: Al-Anfaal ayat 27)

C. Surat Al-Muminun Ayat 8

والذين هم لأ منتهم وعهدهم رعون Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.

(QS:Al-Muminun ayat 8)

Kedua ayat diatas berisi tentang pentingnya menjaga amanah/janji dan larangan untuk khianat. Secara bahasa amanah bermakna al-wafa (memenuhi/menyampaikan) dan wadiah (titipan) sedangkan secara definisi amanah berarti memenuhi apa yang dititipkankan kepadanya. Sedangkan khianat artinya mengingkari tanggung jawab, berbuat tidak setia, atau melanggar janji yang telah dia buat. Secara luas khianat berarti mengingkari tanggung jawab yang telah dipercayakan terhadap dirinya, baik datangnya dari orang lain maupun dari Allah SWT. Amanah/janji dan khianat adalah kata-kata yang saling berlawanan makna dan salig baerkaitan. Dengan tegas Allah melarang orang-orang yang beriman untuk khianat terhadap amanat dari Allah SWT dan Rasulullah SAW, yang berarti larangan untuk lalai terhadap segala perintah dan kewajiban sebagai seorang muslim, seperti sholat yang merupakan amanah dari Nya untuk dijalankan sesuai syariat. Amanah dari sesama manusia seperti amanah jabatan seorang anggota legislatif, rakyat telah memberinya kepercayaan dan amanah untuk memeprjuangkan nasib rakyat di pemerintahan, dan ini merupakan sebuah keniscayaan untuk ditunaikan. Dan Allah SWT dengan tegas melarang untuk berkhianat, larangan dalam al-quran memiliki arti kewajiban untuk dihindari dan haram hukumnya apabila tetap dilaksanakan, seperti korupsi yang terjadi di jajaran anggota legislatif, berarti mereka telah ingkar atas amanah yang mereka emban dari rakyat dan ini merupakan hal yang dilaknat Allah SWT.

Sebab turunnya surat Al-Anfal ayat 27 dalam suatu riwayat dimulai dengan penundukkan Bani Quraidzah oleh Rasulullah SAW beserta bala tentara islam. Rasul memerintahkan kepada Bani Quraidzah untuk taat terhadap apapun keputusan/ketetapan dari Saad bin Muadz dan mereka pun menyutujuinya. Namun mereka memohon kepada Rasulullah SAW untuk mengutus Abu Lubabah kepada mereka, kemudian beliau pun memenuhi permohonan mereka.

Saat Abu Lubabah telah hadir dihadapan mereka, terjadilah dialog antara mereka dengannya. Wahai Abu Lubabah, haruskah kami mentaati perintah dari Saad bin Muadz? Tanya Bani Quraidzah. Abu Lubabah menjawab, Demi Allah, jika kalian mematuhinya maka kalian seperti ini, kemudian dia menaruh tangannya di lehernya seperti ingin memotongnya, yang berarti jika Bani Quraidzah tetap mematuhi perintah Saad bin Muadz maka mereka seperti memotong leher mereka sendiri/bunuh diri.

Tiba-tiba muncul rasa bersalah dari dalam hati Abu Lubabah karena telah berusaha membuat Bani Quraidzah berkhianat terhadap janji mereka kepada Rasulullah untuk taat terhadap Saad bin Muadz. Lalu Abu Lubabah berlari menuju masjid Madinah dan mengikatkan dirinya di tiang masjid. Dia bersumpah tidak akan membuka tali tersebut kecuali Rasulullah SAW sendiri yang melepasnya. Semua orang berkerumun dan berusaha membujuk Abu Lubabah untuk membuka ikatannya. Namun dengan lantang dan penuh penyesalan ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan membukanya hingga Rasulullah SAW yang membukanya dengan tangan beliau sendiri!
Rasulullah SAW yang mengetahui kejadian tersebut segera bergegas menuju masjid Madinah. Saat tiba di masjid, beliau segera melepaskan ikatan tersebut dan memberitahukannya bahwa Allah SWT telah mengampuni dosanya. Abu Lubabah yang gembira atas kabar tersebut lalu berkata “Aku akan menyedekahkan seluruh hartaku. Kemudian Rasulullah SAW besabda, Sedekahkanlah sepertiganya saja.

1. Surat Al-Anfal Ayat 27

يا ايها الذين امنوا لا تخونواالله والرسول وتخونواأمنتكم وانتم تعلمون

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS: Al-Anfaal ayat 27)

Setelah ayat sebelumnya menyebut tentang aneka nikmat dan ditutup dengan kewajiban mensyukurinya, disini orang-orang beriman diingatkan untuk tidak mengabaikan perintah bersyukur dengan menegaskan bahwa: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati yakni mengurangi sedikitpun hak Allah sehingga mengkufuriNya atau tidak mensyukurinya dan juga jangan mengkhianati Rasuullah Muhammad SAW. Dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kamu, oleh siapapun, baik amanat itu amanat orang lain maupun keluarga seperti istri dan anak, muslim ataupun nonmuslim, sedang kamu mngetahui.
Kata takhuunuu diambil dari kata al-khaun yakni kekurangan, antonimya adalah al-wafaa yang berarti kesempurnaan. Selanjutnya kata khianat digunakan sebagai antonim dari amanat karena jika seseorang mengkhianati pihak lain, dia telah mengurangi kewajiban yang harus ia tunaikan. Kata amaanaat adalah bentuk jamak dari kata amanah yang terambil dari kata amina yang berarti merasa merasa aman dan percaya. Siapa yang dititipi amanat, berarti yang menitipkannya percaya padanya dan meresa aman bahwa sesuatu yang dititipkan akan dipelihara olehnya-secara aktif-atau paling tidak secara pasif hingga nanti suatu saat diminta kembali oleh yang menyerahkannya, ia akan mendapati titipannya tidak hilang, tidak kurang, dan tidak rusak, tetap sebagaimana ketika diserahkan sebagai pemeliharaan pasif, bahkan lebih baik dan berkembang sebagai pemeliharaan aktif.

Segala sesuatu yang ada dalam genggaman manusia adalah amanat Allah SWT. Agama adalah amanat Allah, bumi dan segala isisnya adalah amanat Allah, keluarga dan anak-anak adalah amanat Allah, bahkan jiwa dan raga manusia bersama potensi yang melekat pada dirinya adalah amanat Allah SWT. Semua harus dipelihara dan dikembangkan. Amanat manusia terhadap manusia menyangkut banyak hal, bukan hannya harta benda yang dititpkan atau ikatan perjanjian yang disepakati, tatapi termasuk juga rahasia yang dibisikkan.
Pengulangan kata takhuunuu/mengkhianati oleh Al-BiqaaI dipahami sebagai isyarat bahwa khianat kepada Allah berbeda pada khianat selainNya. Khianat kepada Allah bersifat hakiki karena segala sesuatu, termasuk apa yang diamatkan oleh manusia kepada manusia lain, bersumber dariNya, sedangkan khianat kepada selainNya bersifat majaazi. Demikian yang ditulis oleh Al-Baaqi. Karena itu pengulangan bertujuan mengisyaratkan bahwa pengkhianatan amanat manusia tidak lebih kecil dosanya dan tidak lebih kurang dampak buruknya daripada mengkhianati Allah dan RasulNya.

ThabaathabaaI memahami penggalan kalimat takhuunuu amaanaatikum/mengkhianati amanat-amant kamu sebagai satu kesatuan yang berkaitan dengan khianat kepada Allah dan RasulNya. Ada amanat Allah kepada manusia, seperti hokum-hukum yang disyariatkanNya agar dilaksanakan. Ada amanat Rasul SAW kepada manusia, seperti keteladanan yang beliau tampilkan, ada amanat antar sesame manusia, seperti penitipan harta benda dan rahasia. Adalagi yang merupakan amanat bersama-Allah, Rasul, dan orang-orang mukmin-yaitu persoalan-pesoalan yang dititipkan Allah dan dilakukan Rasul SAW dan diraih manfaatnya oleh kaum mukminin. Amanat ini melahirkan kemaslahatan masyarakat. Ini anatar lain seperti rahasia militer atau politik yang bila dibocorkan dapat merugikan kaum muslimin juga melanggar hak Allah dan RasulNya.

Firman-Nya wa antum talamuun /sedang kamu mengetahui dipahami oleh ThabaathabaaI sebagai bertujuan untuk membangkitkan fitrah dan rasa kepedulian yang muncul dari lubuk hati mitra bicara agar menghindari khianat itu. Dan bukanlah syarat larangan berkhianat.
Ada yang memahami penggalan ayat terakhir diatas sebagai bentuk toleransi melakukan khianat dalam artian boleh berkhianat jika tidak sadar akibat buruknya dan tidak boleh berkhianat jika sadar akan akibat buruknya. Lalu ada yang memahami penggalan tersebut sebagai larangan dan seorang mukminmengetahui bahwa khianat terhadap amanat adalah haram.

2. Surat Al-Mukminun Ayat 8

والذين هم لأ منتهم وعهدهم رعون

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.

Kata amaanaatihim adalah bentuk jamak dari amaanah. Ia adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan bila tiba saatnya dikembalikan kepada pemiliknya diterima dengan baik dan lapang dada. Kata amaanah diambil dari akar kata amina/percaya dan aman. Ini karena amanat disampaikan oleh pemiliknya atas dasar kepercayaannya kepada penerima bahwa apa yang diamanatkan akan terjaga, terpelihara dan aman. Islam menegaskan bahwa kepercayaan merupakan dasar asas keimanan berdasarkan sabda Nabi SAW: Tidak ada iman bagi yang tidak memilki amanah. Amanah merupakan lawan kata dari khianat. Amanat membutuhkan kepercayaan dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan bathin yang selanjutnya melahirkan keyakinan dan kepercayaan. Kata ahd berarti wasiat dan janji. Yang dimaksud adalah komitmen antara dua orang atau lebih untuk sesuatu yang disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Misalnya, berjanji untuk bertemu disuatu waktu dan tempat tertentu. Ahd semacam ini adalah hal yang paling banyak dilanggar oleh umat manusia dan kaum muslimin. Padahal menepati janji merupakan salah satu cirri dari orang beriman.

Kata raauun terambil dari kata raiya yaitu memperhatikan sesuatu agar tidak rusak, terbengkalai, dan sia-sia dengan jalan memelihara, membimbing, dan juga memperbaikinya bila terjadi kerusakan. Oleh ayat ini amanat dan janji berarti bahwa pelakunya member perhatian pada hal tersebut.

D. Surat al Ahzab ayat 72

انا عرضناالأمانة على السموت والأؤض والجبال فأبين أن يحملنها واشفقن منهاوحملها الإنسن إنه كان ظلوما جهولا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”. (QS. al-Ahzab:72)

Sesungguhnya langit, bumi, dan gunung yang dipilih al-Qur’an untuk dibicarakannya adalah makhluk yang sangat besar, dimana manusia hidup di dalamnya atau di bawahnya sehingga ia tampak kecil dan lemah. Makhluk-makhluk tersebut mengenal Penciptanya tanpa upaya, dan serta merta memperoleh petunjuk tentang undang-undang yang mengaturnya sesuai penciptaan, pembentukan, dan sistemnya. Mereka menaati undang-undang Sang Pencipta secara langsung, tanpa melalui perenungan dan tanpa media. Mereka bergerak sejalan dengan undang-undang tersebut secara konstan, tanpa melenceng dan tanpa membangkang dalam menjalan perannya. Mereka menjalankan tugasnya menurut hukum penciptaan dan karakternya tanpa melibatkan emosi dan pilihan bebas.
Matahari berputar pada porosnya dengan perputaran yang sistematis, tanpa pernah melenceng dari sistem. Ia memancarkan cahayanya, untuk menjalankan tugas yang telah dimandatkan Allah padanya. Ia menarik satelit-satelitnya bukan didasari keinginan dalam dirinya, melainkan untuk menjalankan tugas kosmiknya secara sempurna.

Bumi ini berputar pada rotasinya, mengeluarkan tanamannya, menghasilkan makanan untuk para penghuninya, dan memancarkan mata airnya. Semua itu selaras dengan sunnatullah tanpa ada kehendak darinya. Bulan, bintang, dan planet, angin dan awan, udara dan angin, gunung dan lembah, seluruhnya menjalankan perannya dengan seijin Tuhannya, mengenal Penciptanya, dan tunduk kepada kehendak-Nya tanpa didasari kehendak bebas. Tanpa mengerahkan tenaga, tanpa susah payah, dan tanpa usaha. Mereka takut menerima amanah tugas, amanah kehendak, amanah pengetahuan personal, amanah usaha khusus.

“Dan dipikullah amanat itu oleh manusia..”

Manusia mengenal Allah dengan nalar dan perasaannya, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya melalui perenungan dan pengamatan, berbuat mengikuti undang-undang dengan usaha dan jerih payahnya, menaati Allah dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab, menahan tendensi penyimpangan, melawan egonya dan syahwatnya dengan upayanya. Di setiap tindakan ini ini, manusia didasari keinginan, sadar, dan memilih jalannya dalam keadaan tahu kemana ujung jalan ini! Itulah amanah terbesar yang dipikul makhluk yang kecil ukurannya, lemah, lemah usahanya, terbatas usianya, sekaligus digumuli nafsu, tendensi, dan ambisi.

Sungguh sebuah tindakan “adventure” jika ia memikul tugas yang berat ini di pundaknya. Dari sini, “manusia itu amat zhalim” terhadap dirinya, “dan amat bodoh” terhadap kekuatannya. Kezhaliman ini terkait dengan besarnya beban yang dipikulnya. Tetapi, ketika ia bangkit memikul tugas tersebut, ketika ia sampai kepada ma’rifat yang mengantarkan kepada Penciptanya, menemukan petunjuk langsung kepada undang-undangnya dan ketaatan yang sempurna terhadap kehendak Rabb-nya, sebuah ma’rifat, petunjuk, dan ketaatan yang mengantarnya kepada tingkatan yang telah dicapai langit, bumi, dan gunung dengan mudah, padahal langit, bumi, dan gunung-gunung itu adalah makhluk yang mengenal Allah secara in design, menemukan petunjuk secara in design, taat secara in design, tidak ada faktor yang menghalanginya untuk patuh kepada Penciptanya, undang-undang-Nya, dan kehendak-Nya, serta tidak ada faktor yang menahannya melaksanakan perintah-Nya. Ketika manusia sampai kepada tingkatan ini dalam keadaan sadar, memahami, dan tanpa paksaan, maka ia benar-benar telah mencapai maqam yang mulia dan tempat yang unik di antara ciptaan Allah.
Itulah keutamaan kehendak, nalar, usaha, dan pemikulan beban. Itulah keistimewaan manusia dibanding banyak makhluk Allah. Itulah tolok ukur penghormatan yang dideklarasikan Allah di al-Mala’ul-A’la, saat Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam. Allah mendeklarasikannya di dalam al-Qur’an yang abadi saat Allah berfirman: “Sungguh telah Kami muliakan bani Adam…” (al-Isra’ [17]: 70)

Maka, hendaknya manusia tahu acuan kemuliaannya di sisi Allah, dan hendaknya ia memikul amanah yang dipilihnya. Amanat yang pernah disodorkan kepada langit, bumi, dan gunung, namun mereka menolak untuk membawanya dan khawatir tidak bisa menjalankan amanat tersebut!

Tujuannya dari semua itu adalah:

“Sehingga Allah mengadzab orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Jadi, perbedaan manusia dari makhluk lain adalah dalam memikul amanah, memikul tugas mengenal Rabbnya sendiri, menemukan petunjuk sendiri, beramal sendiri, dan mencapai Rabbnya sendiri, semua itu agar ia memikul akibat dari pilihannya itu, agar balasan untuknya sesuai dengan amalnya, dan agar adzab itu pantas ditimpakan orang-orang munafiq dan musyrik, baik laki-laki atau perempuan. Dan agar Allah mengulurkan pertolongan kepada orang-orang mukmin, baik laki-laki atau perempuan, dengan menerima taubat mereka atas kekurangan dan kelemahan akibat tekanan-tekanan internal, rintangan yang menghalangi perjalan, serta berbagai daya tarik dan beban yang meletihkan mereka. Itulah karunia dan pertolongan Allah. Dan Allah itu Mahadekat ampunan dan rahmatnya bagi hamba-hamba-Nya: “Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dengan irama yang kuat dan mendalam inilah ditutup surat yang diawali dengan instruksi kepada Rasulullah saw. Yaitu instruksi untuk taat kepada Allah, tidak mematuhi orang-orang kafir dan munafiq, mengikuti wahyu Allah, dan tawakkal kepada-Nya semata, bukan kepada yang lain. Surat ini juga mengandung berbagai instruksi dan penetapan syari’at yang menjadi fondasi sistem masyarakat Islam, yaitu ikhlas untuk Allah, berorientasi kepada-Nya, dan menaati instruksi-instruksi-Nya.

Dengan irama yang menggambarkan urgensi tugas dan besarnya amanah, mendefinisikan letak urgensi dan besarnya amanah, dan yang membatasi seluruhnya dalam upaya manusia untuk mengenal Allah, menemukan petunjuk kepada undang-undang-Nya, dan tunduk kepada kehendaknya ini. Dengan irama inilah surat ini ditutup, bagian awalnya dan bagian akhirnya serasi dengan tema dan orienasinya, dalam sebuah harmoni yang sarat mukjizat, yang secara intrinsik menunjukkan sumber Kitab ini!

Syariah yang dibebankan kepada manusia merupakan amanah. Sebagaimana layaknya amanah, syariah tersebut wajib dipikul dan ditunaikan. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan, apalagi ditolak dan diingkari. Memang, amanah tersebut tidak ringan hingga langit, bumi, dan gunung pun tidak sanggup untuk memikulnya. Namun bagi orang yang mau menunaikannya, Allah SWT akan memberikan ampunan terhadapnya. Juga, pahala yang besar, surga, dan ridha-Nya. Sebaliknya, siapa pun yang sengaja menelantarkannya, terlebih mengingkari dan menolaknya, akan ditampakan azab atasnya. Ayat ini adalah di antara yang menjelaskan perkara tersebut.

Demikianlah makalah ini disusun. Semoga dapat memberikan wawasan kepada saya khususnya, dan kepada pembaca umumnya. Saran dan kritik selalu saya harapkan demi kemajuan penulisan akan datang. Terimakasih kepada bapak yasir MA. Yang telah memberikan masukan dan bibingannya selama penulisan ini. Mohon maaf atas segala kekurangan.
wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh…..

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M.Quraish.2002. Tafsir Al-Mishbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran . Jakarta: Lentera Hati. As-Shabury, Muhammad Ali. 2000. Cahaya Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Al-Asqalany, Ibnu Hajar. Buluughul Maram. Indonesia: Pustaka Daar Ihya Al-Kitab Al-Arabiyyah.

Al-Quranul Karim