Contoh komunikasi antar budaya dalam keluarga

(1)

1

Komunikasi antar budaya

dalam keluarga kawin campur Jawa-Cina

di Surakarta

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Komunikasi

Riset dan Pengembangan Teori Komunikasi

Oleh:

Rulliyanti Puspowardhani S220905007

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2008


(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

Komunikasi Antarbudaya dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta

Disusun oleh: Rulliyanti Puspowardhani

S220905007

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing: Dewan Pembimbing:

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Pembimbing I Dr. Drajat Trikartono ……….. …………

NIP. 131 884 423

Pembimbing II Drs. Hamid Arifin, M.Si ……….. ………… NIP. 131 792 201

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana

Dr. Widodo Muktiyo,SE,M.Comm NIP. 131 792 193


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Komunikasi Antarbudaya dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta

Disusun oleh: Rulliyanti Puspowardhani

S220905007

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji:

Jabatan Nama Tanda tangan Tanggal

Ketua : Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Com ………. ………... NIP. 131 792 193

Sekretaris : Drs. Pawito, Ph.D ………. …………

NIP. 131 478 706 Anggota:

1. Dr. Drajat Trikartono ……….. …………

NIP. 131 884 423

2. Drs. Hamid Arifin, M.Si ……….. …………

NIP. 131 792 201

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Ilmu Komunikasi Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Comm

Pascasarjana NIP. 131 792 193

Direktur Program Prof. Drs. Suranto Tjiptowibisono, MSc., Ph.D


(4)

PERNYATAAN

Nama : Rulliyanti Puspowardhani

NIM : S 220905007

Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa thesis berjudul “Komunikasi Antarbudaya dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta” adalah betul-betul karya sendiri.

Hal-hal yang bukan karya saya dalam thesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sangsi akademik, berupa pencabutan thesis dan gelar yang saya peroleh dari thesis ini.

Surakarta, Februari 2008 Yang membuat pernyataan,


(5)

KATA PENGANTAR

Ungkapan Edward T. Hall, bahwa culture is communication dan communication is culture adalah benar. Ungkapan tersebut membawa makna, bahwa budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. Cara manusia berkomunikasi sangat tergantung pada budayanya, yaitu bahasa, aturan dan norma masing-masing.

Pada kenyataannya, terdapat kesulitan-kesulitan komunikasi yang dihadapi para pelaku yang terlibat, yang bisa diakibatkan perbedaan dalam ekspektasi kultural masing-masing pelaku. Perilaku manusia memang tidak bersifat acak. Semakin seseorang mengenal budaya orang lain, semakin terampillah ia memperkirakan ekspekstasi orang itu dan memenuhi ekspektasinya tersebut.

Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal. Perbedaan ekspektasi dalam komunikasi sekurang-kurangnya menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau kesalahpahaman. Kondisi ini akan semakin jelas terjadi jika komunikasi yang timbul berada dalam konteks sebuah perkawinan berbeda budaya, amalgamasi.

Berdasarkan isu tersebut penelitian ini dibuat. Penelitian ini berusaha untuk menyajikan pengalaman para pelaku komunikasi antarbudaya dalam konteks kelaurga kawin campur, dengan latar belakang yang bervariasi. Dengan


(6)

diangkatnya topik perkawinan campuran, peneliti berusaha membuka mata masyarakat, bahwa kasus ini ada di sekitar kita. Terutama jika menyoroti hubungan antara etnis Jawa dan etnis Cina, khususnya di Surakarta, konteks komunikasi dalam perkawinan campuran menjadi sebuah sajian yang perlu pengamatan lebih dalam.

Peneliti mengakui sangat banyak kekurangan dalam penggalian data, pengungkapan teori yang berkaitan dan penyajian laporan. Besar harapan peneliti akan adanya kritik dan saran dalam penelitian ini.

Puji syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa, karena penelitian ini telah sampai pada tahap akhir guna memenuhi kewajiban dalam penyelesaian Program Pascasarjana. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas segala bantuan spiritual dan material guna penyusunan penelitian ini.

1. Kedua orang tua atas dukungan dan doa yang tiada putus;

2. Bapak Dr. Drajat Trikartono dan Bapak Drs. Hamid Arifin, M.Si, selaku Pembimbing 1 dan Pembimbing 2, atas kesabaran dan waktunya; 3. Bapak Dr. Widodo Muktiyo, SE, M.Comm dan Bapak Drs. Pawito,

Ph.D, selaku Dosen Penguji, atas masukan-masukannya;

4. Para responden penelitian, atas informasi yang diberikan secara terbuka;

5. Seluruh sahabat dan teman tercinta, atas segala dukungan semangat dan doanya.

Surakarta, Februari 2008 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan ……… i

Halaman Pengesahan ……… ii

Pernyataan ………. iii

Kata Pengantar ……….. iv

Daftar Isi ………... vi

Daftar Tabel ……….... viii

Daftar Gambar ………... ix

Abstrak ………... x

Abstract ………. xi

BAB I. PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ……….... 7

C. Tujuan Penelitian ………. 7

D. Manfaat Penelitian ………... 8

BAB II. KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR ……….. 9

A. Kajian Teori ………..…………... 9

B. Kerangka Pikir ………..……. 42

BAB III. METODE PENELITIAN ……….. 44

A. Lokasi Penelitian …………..……….. 44

B. Jenis Penelitian ………..………. 44


(8)

D. Sumber Data ………..…………. 47

E. Teknik Pengumpulan Data ………. 48

F. Teknik Sampling ……… 51

G. Validitas ………. 52

H. Teknik Analisis ……….. 53

BAB IV. SAJIAN DATA ……… 54

A. Gambaran Wilayah Studi ………... 55

B. Komunikasi Antarbudaya dalam Keluarga Kawin Campur ………... 65

C. Latar Belakang Personal ……… 85

D. Nilai Sosial dan Nilai Budaya Keluarga Kawin Campur ………….. 92

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI HASIL STUDI DAN SARAN ……… 118

A. Kesimpulan ……….. 118

B. Implikasi Hasil Studi ……… 123

C. Saran ………. 125

Daftar Pustaka ……… 127


(9)

DAFTAR TABEL

1. Tabel III.1 Temuan Penelitian Perkawinan Etnis Dengan Latar Belakang Komunikasi Antarbudaya ………... 64 2. Tabel III.2 Temuan Penelitian Hubungan Antarbudaya ………. 65


(10)
(11)

ABSTRAK

Rulliyanti Puspowardhani. S220905007. Program Studi Ilmu Komunikasi. Riset dan Pengembangan Teori Komunikasi. Komunikasi Antarbudaya dalam Keluarga Kawin Campur Jawa-Cina di Surakarta. Judul penelitian ini menekankan pada kegiatan komunikasi yang terjadi dalam keluarga kawin campur.

Dengan menggunakan pendekatan interpretif, responden yang menjadi obyek penelitian, secara metodologis akan dipahami dan dideskripsikan perilaku komunikasi yang terjadi dalam keluarga beda budaya. Mendukung pendekatan interpretif, digunakan tradisi fenomenologi yang fokus pada pengalaman seseorang, termasuk pengalamannya dengan orang lain, sehingga teori komunikasi antarbudaya lebih dapat dipahami dengan mudah.

Obyek penelitiannya adalah keluarga-keluarga kawin campur dengan beragam variasi dan latar belakang. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan perbandingan dalam mencari dan mengungkap pengalaman setiap individu. Kemudian akan didapat temuan-temuan yang dapat menjadi sumbangan dalam tema komunikasi antarbudaya konteks perkawinan campuran.

Menghadapi persoalan komunikasi antarbudaya, dalam konteks perkawinan campuran, stereotip dapat mempengaruhi penilaian keluarga besar terhadap seseorang yang akan dijadikan pendamping hidup. Begitu kuatnya hubungan kekeluargaan dalam etnis Cina, sehingga pendapat keluarga selalu dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan. Diperlukan komitmen luar biasa oleh pasangan kawin campur, sehingga segala bentuk kesalahpahaman dapat lebih mudah teratasi. Termasuk ketika masing-masing pihak melakukan penyesuaian agar perkawinan dapat terjadi dan mendapat lampu hijau dari keluarga besar. Dari upaya ini kemudian dapat ditemukan kesamaan dari etnis Jawa dan etnis Cina.

Persoalan kedua adalah latar belakang personal atau individu pelaku kawin campur. Mayoritas pasangan yang memutuskan melakukan kawin campur harus memiliki pola pikir terbuka terhadap budaya yang dibawa oleh pasangannya, termasuk kepercayaan, nilai dan norma. Jika kedua pihak tidak memiliki pola pikir terbuka, akan terjadi pemaksaan kehendak untuk mempraktikkan kepercayaan, nilai dan norma yang dianut oleh pasangannya, sehingga kemungkinan langgengnya sebuah perkawinan ibarat jauh panggangan dari api.

Pada akhirnya nilai sosial dan nilai budaya keluarga kawin campur akan sangat tampak ketika masuk dalam konteks penyelesaian persoalan dan konflik. Setiap pasangan berusaha mengambil keputusan dalam pemecahan masalah tidak berlandaskan keputusan emosional pribadi berlatar budaya, melainkan keputusan rasional yang dapat digunakan sebagai jalan keluar.


(12)

ABSTRACT

Rulliyanti Puspowardhani. S220905007. Program Studi Ilmu Komunikasi. Riset dan Pengembangan Teori Komunikasi. Crosscultural Communication in Java-Chinese Intermarriage Family in Surakarta. The title of research emphasizes on the communication event occurring in intermarriage family.

Using an interpretive approach, the respondent becoming research object would be comprehended methodologically and the communication behaviour occurring on crosscultural family would be described. For supporting the interpretive approach, the research used a phenomenological tradition focusing on someone’s experience including other’s experience, so that crosscultural communication theory would be easier to understand.

The research object was intermarriage families with various variation and background. This aims to make comparison in searching and disclosing each individual. Then some findings would be obtained, thereby can contributes to the crosscultural communication in intermarriage context.

Dealing with crosscultural communication problem in intermarriage context, the stereotype may affect the big family assessment on someone who would be the life partner. The kinship relation among Chinese ethnic is very tight, so the family’s opinion is always taken as consideration in decision making. The intermarriage couple needs an extraordinary commitment, so that any types of misunderstanding can be solved easily, including when each party makes an adjustment in order that the marriage can proceed and get the green lamp from the big family. From this effort, it is obtained the similarity between Javanese and Chinese ethnics.

The second problem is personal or individual background of the intermarriage doer. Majority couples deciding to do intermarriage should have an open thinking pattern to the culture their partner brings in, including belief, value and norm. If the two parties do not have open thinking pattern, there will be any desire forcing to practice the belief, value and norm their partner holds, thus it will make the eternal marriage impossible to reach.

Finally, the social and cultural values of intermarriage family will be very prominent if it is put into the context of problem and conflict solving. Every decision made to solve the problem is hardly not based on personal emotional decision due to cultural background, but rational decision that can be used as the solution.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Komunikasi antarbudaya adalah sebuah situasi yang terjadi bila pengirim pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota dari suatu budaya yang lain. Situasi ini tidak dapat dihindarkan, karena sebetulnya, setiap kali seseorang melakukan komunikasi dengan orang lain mengandung potensi komunikasi antarbudaya. Hal ini dikarenakan setiap orang selalu berbeda budaya dengan orang lain, sekecil apa pun perbedaan tersebut.

Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya dapat menjadi salah satu penentu tujuan hidup yang berbeda pula. Cara setiap orang berkomunikasi sangat bergantung pada budayanya; bahasa, aturan dan norma masing-masing. Budaya memiliki tanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula, hal ini dapat menimbulkan berbagai macam kesulitan.

Kesulitan-kesulitan komunikasi yang dihadapi oleh individu-individu yang terlibat diakibatkan oleh perbedaan ekspektasi kultural masing-masing. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal. Perbedaan ekspektasi dalam komunikasi sekurang-kurangnya menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau kesalahpahaman.


(14)

Kesalahpahaman-kesalahpahaman akan sering terjadi ketika seseorang sering berinteraksi dengan orang dari kelompok budaya yang berbeda. Problem utamanya adalah setiap individu memiliki kecenderungan menganggap, bahwa budayanya sebagai suatu keharusan tanpa perlu dipersoalkan lagi (Mulyana & Rakhmat (ed.), 2003: vii). Dan karenanya setiap orang akan menggunakan budayanya sebagai standarisasi untuk mengukur budaya-budaya lain. Salah satu bentuk aktivitas komunikasi antarbudaya yang nyata dapat terlihat dalam kehidupan keluarga kawin campur.

Dalam kehidupan keluarga kawin campur akan terjadi suatu kesalahpahaman komunikasi antarbudaya, yang melibatkan seluruh anggota keluarga; suami, isteri, anak, dan bahkan juga anggota keluarga lain yang tinggal dalam satu rumah tersebut. Situasi ini dapat mengakibatkan munculnya kesepakatan untuk mengakui salah satu budaya yang akan mendominasi atau berkembangnya budaya lain yang merupakan peleburan dari dua budaya tersebut (third culture), atau bahkan kedua budaya dapat sama-sama berjalan seiring dalam satu keluarga.

Meskipun suatu keluarga kawin campur sering sekali saling melakukan interaksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan berjalan mulus atau bahwa dengan sendirinya akan tercipta saling pengertian. Hal ini dikarenakan, antara lain, sebagian di antara individu tersebut masih memiliki prasangka terhadap kelompok budaya lain dan enggan bergaul dengan mereka.


(15)

Situasi-situasi yang tidak nyaman seringkali muncul apabila seseorang sangat bergantung pada stereotip daripada bergantung pada persepsi yang langsung dialaminya. Di Surakarta, fenomena pergulatan komunikasi antarbudaya dalam keluarga kawin campur menarik untuk diteliti lebih lanjut, terutama keluarga yang melibatkan etnis Cina dan etnis Jawa. Surakarta memiliki sejarah panjang hubungan antara etnis Cina dan etnis Jawa yang penuh dengan konflik.

Dimulai sejak awal lahirnya Kota Surakarta terjadi peristiwa pertama konflik “pri-nonpri”. Ketika tanggal 30 Juni 1742 laskar Cina dibantu oleh sejumlah massa rakyat berhasil membobol benteng Istana Kartasura (Nurhadiantomo, 2006: 41). Mereka memporak-porandakan bangunan istana, menjarah apa saja dan menduduki istana selama beberapa bulan. Peristiwa ini dalam sejarah Jawa disebut Geger Pacina(n) atau bedah Kartasura.

Konflik selanjutnya terjadi tahun 1825 yang merupakan pembantaian massal terhadap komunitas etnis Cina yang ada di Ngawi, dan merembet hingga wilayah Surakarta. Peristiwa anti-Cina muncul kembali pada awal abad 20 yang mengiringi pergerakan politik rakyat, yaitu pada tahun 1911. Berlanjut pada masa revolusi kemerdekaan tahun 1947, di daerah Klaten yang tidak jauh dari Kota Surakarta, terjadi penyerangan terhadap warga etnis Cina hingga memakan korban jiwa. Kejadian tersebut berimbas pada pengusiran warga etnis Cina dari wilayah Jatinom, Klaten.

Pada masa kemerdekaan, bidang perekonomian menjadi pusat perhatian demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi kebijakan yang dibuat pemerintah dipandang oleh beberapa kalangan, baik birokrat maupun masyarakat,


(16)

sebagai kebijakan yang penuh dengan agenda politik. Di bidang bisnis, penduduk pribumi semakin tertinggal oleh kemampuan warga etnis Cina. Hal ini ternyata menimbulkan konflik anti-Cina yang meluas di kalangan pribumi. Hingga pada tahun 1965, seiring dengan merebaknya isu anti-komunis, kerusuhan terjadi di sejumlah daerah, termasuk Surakarta. Meskipun isu yang mencuat adalah pemberantasan komunis, tetapi pada kenyataannya etnis Cina turut menjadi sasaran kerusuhan massa, pengrusakan dan penjarahan.

Pada tahun 1980, di Surakarta timbul kembali kerusuhan anti-Cina yang dipicu oleh insiden kecil, yaitu perkelahian jalanan yang sampai melibatkan kelompok masyarakat yang lebih besar. Selanjutnya peristiwa kerusuhan massa anti-Cina yang lebih tinggi intensitasnya terjadi pada Mei 1998. Peristiwa ini mengiringi runtuhnya rezim Orde Baru yang memakan banyak korban lebih banyak dari warga etnis Cina, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, pengrusakan dan penjarahan. Kebrutalan dalam kerusuhan ini merupakan suatu bentuk kekerasan kolektif yang terjadi di Jakarta dan merambat ke beberapa kota di Indonesia, termasuk Surakarta. Akibatnya, menurut Pattiradjawane (Wibowo (ed.), 2001: 247), 20.000 hingga 30.000 etnis Cina melakukan eksodus besar-besaran secara permanen ke beberapa negara tetangga, seperti Singapura, Hongkong, Taiwan dan Australia.

Dari kilasan sejarah yang panjang tersebut, sangat disadari bahwa kondisi masyarakat Surakarta rentan terhadap timbulnya kerusuhan yang melibatkan etnis Cina. Tetapi di tengah situasi yang mengkhawatirkan terjadinya konflik antara Cina-Jawa, ternyata terdapat suatu wilayah di Surakarta yang jauh dari kesan


(17)

rentan terhadap konflik. Kelurahan Sudiroprajan merupakan bagian dari wilayah Surakarta yang oleh pemerintahan kolonial Belanda dijadikan tempat bermukim etnis Cina. Warga etnis Cina yang tinggal di Sudiroprajan berbaur dengan etnis Jawa. Dalam kesehariannya, mereka menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia jika berbicara dengan warga etnis Jawa (Rahardjo, 2005: 115). Bahasa Cina (Mandarin) cenderung sudah tidak lagi mereka pahami, hanya warga etnis Cina generasi tua saja yang relatif masih bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Cina.

Lebih lanjut Turnomo Rahardjo (2005), dalam penelitian Menghargai Perbedaan Kultural, mengulas mengenai komunikasi antarbudaya yang terjadi di Kelurahan Sudiroprajan, Surakarta, melibatkan etnis Jawa dan etnis Cina. Hasil penelitian Turnomo Rahardjo menunjukkan tingginya faktor motivasi, hal ini tidak terlepas dari setting atau lingkungan pemukiman warga Sudiroprajan yang relatif membaur antara etnis Cina dan jawa. Karakteristik pemukiman yang demikian tidak memberikan cukup ruang bagi individu-individu dari dua kelompok etnis untuk menghindari interaksi.

Seiring dengan motivasi yang tinggi, dibutuhkan pengetahuan tentang perilaku komunikasi antaretnis yang memadai pula agar individu memiliki kompetensi dalam komunikasi antaretnis. Kasus yang terjadi di Sudiroprajan menunjukkan, bahwa pengetahuan tentang komunikasi antaretnis telah dimiliki dengan sama baiknya oleh kedua kelompok etnis. Sedangkan untuk faktor kecakapan, memperlihatkan etnis Cina lebih baik dibanding etnis Jawa. Persoalan kecakapan ini tidak terlepas dari stereotip yang telah menyatu, yaitu bahwa etnis


(18)

Cina lebih trampil dalam mengelola interaksi dengan orang lain sebaliknya orang Jawa lebih mengutamakan persoalan tenggang rasa, sungkan, sehingga terbentuk perilaku yang kurang terbuka, pasif atau menahan diri dalam negosiasi interaksi antaretnis.

Namun, penelitian yang dilakukan oleh Turnomo Rahardjo tersebut memiliki kelemahan, yaitu belum terungkapnya komunikasi antarbudaya dalam keluarga kawin campur etnis Cina dan Jawa di Surakarta. Meskipun kondisi Surakarta yang rentan terhadap timbulnya konflik Cina-Jawa, tetapi tidak sedikit juga keluarga Cina-Jawa yang melakukan kawin campur. Kondisi nyata inilah yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Kajian ini semakin dirasa penting ketika dua orang dengan etnis berbeda, yaitu etnis yang memiliki tingkat kesalahpahaman tinggi di lingkungan yang rentan terhadap konflik kedua etnis, berada dalam situasi yang mengharuskan keduanya lebih intensif berinteraksi secara mendalam satu sama lain.

Latar belakang fenomenologi yang semakin menguatkan mengangkat topik ini dalam sebuah penelitian karena sebuah pengalaman yang terjadi pada seseorang yang menjadi anak hasil perkawinan campuran Jawa-Cina. Anak seperti ini memiliki julukan “ampyang”. Ampyang merupakan salah satu jenis makanan ringan tradisional. Ampyang terbuat dari bahan sederhana, yaitu kacang tanah dan gula merah. Filosofi yang terkandung di dalamnya, memiliki makna, bahwa kacang tanah atau yang sering disebut kacang cina berwana putih mewakili etnis Cina. Sedangkan gula merah yang berwarna coklat sering disebut gula jawa, mewakili etnis Jawa. Sebutan ini hanya berlaku di daerah Jawa.


(19)

Kondisi yang dialaminya ternyata membawa dampak pada kehidupan di dalam keluarganya. Dia mengakui memiliki kecenderungan lebih dekat dengan etnis ayahnya yang Cina. Banyak kepercayaan, nilai dan norma yang diwariskan kepadanya merupakan representasi budaya Cina. Hal inilah yang semakin mendorong peneliti untuk melihat sejauh mana budaya menjadi sebuah topik yang terjadi dalam kehidupan keluarga kawin campur Jawa-Cina di Surakarta.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian dalam latar belakang tersebut di atas, terdapat beberapa pokok permasalahan yang perlu dikaji lebih dalam:

1. Bagaimana komunikasi antarbudaya dalam keluarga kawin campur? 2. Bagaimana latar belakang personal pasangan kawin campur?

3. Bagaimana nilai sosial dan nilai budaya dalam keluarga kawin campur?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisa komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam keluarga kawin campur Cina-Jawa.

2. Menganalisa latar belakang personal setiap individu yang menjadi pasangan dalam perkawinan campur Cina-Jawa.

3. Menganalisa nilai sosial dan nilai budaya dalam sebuah keluarga kawin campur.


(20)

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memudahkan bagi para pembaca untuk memahami persepsi yang muncul dalam benak masing-masing individu terhadap pasangannya yang berbeda etnis dalam kehidupan keluarga kawin campur. Sekaligus penelitian ini juga hendaknya dapat menjadi masukan bagi para pelaku pasangan kawin campur untuk melihat beberapa alternatif dalam menerapkan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya dalam kehidupan keluarga kawin campur. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pasangan kawin campur ketika menemui persoalan benturan budaya, sehingga perkawinan dapat selalu terjaga keharmonisannya. Penelitian ini hendak menunjukkan, bahwa komunikasi sangat penting, terutama untuk menjembatani segala persoalan antaretnis yang dihadapi oleh manusia, termasuk persoalan perbedaan prinsip sehingga tercapai sebuah kompromi yang melegakan kedua belah pihak.

Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih memantapkan para peneliti untuk melihat beragamnya persoalan komunikasi antarbudaya, terutama yang memiliki kaitan dengan komunikasi interpersonal. Melihat perkembangan sosial budaya yang semakin kompleks, berarti permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari semakin beragam, terutama yang terkait dengan persoalan komunikasi.


(21)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

1. Kepercayaan, Nilai dan Norma dalam Komunikasi Antarbudaya

Persepsi adalah inti dari komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti dari persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi (Mulyana, 2003: 167). Menurut Gamble dan Gamble (Samovar, dkk., 1998: 56), persepsi adalah proses seleksi, organisasi dan interpretasi data yang memungkinkan seseorang memahami apa yang ada dan terjadi di dunia. Cohen (Mulyana, 2003: 167) mendefinisikan persepsi sebagai interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representasi objek eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di dunia.

Mekanisme persepsi pada setiap orang hampir sama; sensor panca indera mampu menangkap rangsangan lingkungan, rangsangan yang diterima akan diteruskan melalui sistem saraf menuju otak untuk diinterpretasi dan dimaknai dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah pengenalan dan identifikasi; tahap dua merupakan interpretasi dan evaluasi terhadap rangsangan yang telah diidentifikasi. Hasil dari proses tersebut pada setiap orang tidak selalu sama, karena proses ini merupakan sesuatu yang dipelajari dan karenanya dipengaruhi oleh pengalaman seseorang pada masa lalu.

Persepsi disebut sebagai inti dari komunikasi, karena jika persepsi seseorang tidak akurat, tidak mungkin akan mampu berkomunikasi dengan efektif.


(22)

Persepsilah yang nantinya akan menentukan seseorang memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan lainnya. Hal ini memberikan pemahaman, bahwa semakin tinggi derajat kesamaan persepsi individu satu dengan individu lain, maka akan semakin mudah dan semakin sering mereka melakukan komunikasi, dan konsekuensinya semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas.

Lustig dan Koester (2003: 84) menjabarkan budaya ke dalam tiga macam pola, yaitu kepercayaan, nilai dan norma. Kepercayaan merupakan ide-ide yang berkaitan dengan situasi dunia yang diasumsikan sebagai sebuah kebenaran oleh manusia. Karena itu, kepercayaan merupakan sekumpulan interpretasi yang dipelajari dan membentuk dasar budaya, sehingga setiap anggota dapat memutuskan apa yang logis dan apa yang benar dan tidak benar. Dalam budaya, nilai-nilai menganut tentang apa yang baik dan buruk, adil dan tidak adil, wajar dan tidak wajar, indah dan tidak indah, sesuai dan tidak sesuai, serta baik dan jahat. Karena nilai adalah karakteristik atau tujuan sebuah budaya yang diinginkan, nilai budaya tidak menggambarkan tingkah laku dan karakteristik aktual. Namun demikian, nilai seringkali menawarkan penjelasan atas cara manusia berkomunikasi. Manifestasi dari kepercayaan dan nilai, oleh Lustig dan Koester disebut sebagai norma. Secara umum norma menekankan pada ekspektasi dari tindakan yang sesuai. Norma ada karena sangat beragamnya tingkah laku manusia, termasuk rutinitas sosial.

Komunikasi antarbudaya dalam pandangan DeVito (2001: 53) merupakan komunikasi yang secara budaya memiliki perbedaan kepercayaan, nilai dan cara


(23)

bertindak. Semua pesan berawal dari konteks budaya yang unik dan spesifik, dan konteks tersebut akan mempengaruhi isi dan bentuk komunikasi. DeVito juga menyatakan, bahwa budaya akan mempengaruhi setiap aspek pengalaman manusia dalam berkomunikasi. Seseorang melakukan komunikasi dengan cara-cara seperti yang dilakukan oleh budayanya. Hal inilah yang disebut oleh Lustig dan Koester (2003: 84) sebagai sebuah mindset yang secara tidak sadar akan menuntun seseorang ketika menilai suatu situasi ataupun mempersepsi suatu keadaan. Seseorang juga akan menerima pesan yang telah disaring oleh konteks budayanya. Konteks tersebut akan mempengaruhi apa yang akan diterima dan bagaimana menerimanya.

Budaya merujuk pada kepercayaan akan supremasi keberadaan, sikap terhadap kesuksesan dan kebahagiaan, dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam persahabatan, hubungan cinta, keluarga atau uang. Sejalan dengan pemikiran DeVito, Rogers dan Steinfatt (1999: 79) menyatakan, bahwa budaya memberikan pengaruh besar pada perilaku individu, termasuk didalamnya perilaku berkomunikasi. Karena informasi yang diperoleh seseorang dan pengetahuan seseorang tentang dunia fisik dan sosial diperoleh melalui proses perceptual, persepsi merupakan hal pokok dalam studi komunikasi antarbudaya.

Ketika melakukan komunikasi, fungsi pola budaya (kepercayaan, nilai dan norma) dapat diterapkan oleh semua budaya. Kluckhon dan Strodtbeck (dalam Lustig & Koester, 2003: 91) mengklasifikasikan alasan-alasan perlunya menerapkan pola budaya. Pertama, setiap manusia dari budaya yang berbeda menghadapi masalah yang umumnya sama dan mereka harus menemukan


(24)

penyelesaiannya. Kedua, jumlah pilihan untuk menyelesaikan problematika budaya sangat terbatas. Ketiga, di dalam satu budaya, solusi permasalahan yang tersedia akan dipilih yang sesuai dengan budaya tersebut tetapi anggotanya bisa jadi akan lebih memilih solusi yang lain. Dan keempat, seiring berjalannya waktu, solusi yang telah dipilih akan membentuk asumsi-asumsi budaya yang berhubungan dengan kepercayaan, nilai dan norma.

Brian H. Spitzberg (dalam Samovar & Porter, 2000: 375) mengungkapkan, komunikasi dalam konteks antarbudaya dikatakan berhasil jika tujuan komunikator tercapai dan cara yang digunakan sesuai dengan konteks. Konteks yang dimaksud meliputi budaya, hubungan, tempat dan fungsi. Budaya merupakan aspek penting dalam memanfaatkan dan mengevaluasi perilaku. Kemampuan perilaku juga tergantung pada bentuk hubungan antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Apa yang sesuai dilakukan dalam hubungan dengan pasangan tidak selalu berlaku dalam hubungan pertemanan atau hubungan kerja.

Perilaku merupakan suatu bentuk reaksi terhadap persepsi seseorang mengenai kondisi di sekitarnya. Perilaku (behavior) merupakan hasil dari mempelajari dan kondisi budaya (Samovar, dkk., 1998: 58). Kepercayaan, nilai dan norma berbeda yang dimiliki oleh masing-masing budaya, akan memberikan pengaruh pada persepsi dan cara berkomunikasi. Dengan memahami perbedaan kepercayaan, nilai dan norma budaya lain, seseorang akan mampu mendefinisikan komunikasi yang dilakukan oleh orang lain dan mampu menyesuaikan perilaku dengan definisi tersebut.


(25)

2. Komunikasi Antarbudaya dalam Keluarga Kawin Campur

Perkawinan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik, dengan membawa sistem keyakinan masing-masing berdasarkan latar belakang budaya serta pengalamannya (Ati, 1999: 15). Perbedaan-perbedaan yang ada perlu disesuaikan satu sama lain untuk membentuk sistem keyakinan baru bagi sebuah keluarga. Proses inilah yang seringkali menimbulkan ketegangan.

Perkawinan oleh R. Verderber dan K. Verderber (1998: 382) dikelompokkan sebagai salah satu bentuk relasi intim, yang disebut sebagai relasi pasangan. Perkawinan dianggap sebagai puncak dari hubungan kedekatan yang paling baik. Meskipun begitu, tidak ada satu pun tipe perkawinan yang ideal. Anna Fitzpatrick (dalam Littlejohn, 2002: 253) mengatakan, bahwa perkawinan dapat dikarakteristik dengan bagaimana pasangan memanfaatkan ruang, waktu dan energi mereka serta meningkatkan ekspresi perasaan, menggunakan kekuasaan dan membagi filosofi perkawinan.

Anna Fitzpatrick (Verderber & Verderber, 1998: 383) mengidentifikasi tiga dimensi yang dapat membedakan tipe-tipe perkawinan. Pertama, tipe ketergantungan, yaitu adanya kebutuhan untuk berbagi rasa satu sama lain. Kedua, tipe ideologi, yaitu perkawinan berjalan sesuai dengan kepercayaan tradisional dan nilai-nilai yang dianut oleh pasangan. Dan ketiga, tipe komunikasi, yaitu cara yang dilakukan oleh pasangan untuk mengatasi konflik dalam perjalanan perkawinan.

Selanjutnya R. Verderber dan K. Verderber (1998: 383-387) menyoroti tentang persoalan yang dapat muncul dalam sebuah relasi intim. Menurut mereka,


(26)

terdapat beberapa elemen yang menjadi persoalan dalam hubungan yang dikategorikan sebagai relasi intim:

1. Elemen verbal

Tidak setiap orang memiliki pemahaman yang sama terhadap kata-kata yang terucap. Setiap orang berasumsi, bahwa orang yang diajak bicara memiliki pengertian yang sama tentang satu hal, juga bahwa manusia cenderung mengungkapkan ekspresi berbeda meskipun dengan maksud yang sama.

2. Elemen nonverbal

Seringkali manusia mengalami kesulitan dalam mengirim dan menterjemahkan kode pesan nonverbal. Dalam kehidupan perkawinan, kebanyakan mengandalkan pesan visual dalam menentukan perasaan pasangan.

3. Kecemburuan

Dapat dimaknai sebagi bentuk kecurigaan akan munculnya ketidaksetiaan. Kecemburuan bisa dipicu adanya ketidakpercayaan diri, sehingga justru bisa menyebabkan pasangannya tidak setia.

4. Perbedaan pria dan wanita

Pria dan wanita memiliki peran yang terus menerus melekat, dapat dimaknai sebagai stereotip. Komunikasi dalam perkawinan dapat terjalin harmonis, jika masing-masing keluar dari peran stereotip tersebut dan


(27)

memiliki keinginan yang sama untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain.

Proses penyatuan akan lebih sulit jika berada dalam konteks perkawinan campuran. Menurut Cohen (dalam Hariyono, 1993: 102) perkawinan campuran dimaksudkan sebagai sebuah perkawinan yang berlangsung antara individu dalam kelompok etnis yang berbeda, atau dengan istilah lain disebut amalgamasi. Amalgamasi ini merupakan peristiwa bertemunya sepasang suami isteri yang berlainan etnis, yang sama-sama bermaksud membentuk suatu rumah tangga (keluarga) berdasarkan kasih sayang, yang disahkan secara resmi dengan upacara tertentu.

Oleh Hariyono (1993: 17), perkawinan campuran dikatakan sebagai puncak dari bentuk asimilasi, yang diistilahkan sebagai asimilasi perkawinan. Asimilasi perkawinan memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis. Segala apa yang ada pada pasangan hidupnya, dengan segala latar belakang yang berbeda dapat diterima untuk kemudian berjalan bersama-sama secara serasi menjadi teman hidup untuk selamanya dalam satu wadah rumah tangga yang sama.

Dugan Romano (1988) dalam penelitiannya mengenai perkawinan antaretnis, atau antarbudaya, mengidentifikasikan empat kelompok dalam tipe perkawinan antaretnis tersebut, yaitu patuh/tunduk, kompromi, eliminasi dan konsensus. Perkawinan dalam tipe patuh, individu bersedia menerima budaya


(28)

pasangannya. Dan tipe inilah yang sering dijumpai dalam pasangan yang menikah antarbudaya, banyak diantaranya yang berhasil. Tipe perkawinan kedua, yaitu kompromi, lebih bermakna negatif. Hal ini dikarenakan salah satu akan mengorbankan kepentingannya, prinsip-prinsipnya demi pasangannya. Tipe eliminasi, berarti pasangan perkawinan antarbudaya tidak mau mengakui budaya masing-masing, sehingga pasangan ini dapat dikatakan sangat miskin budaya. Tipe terakhir, konsensus, memuat persetujuan dan kesepakatan dalam perkawinan antarbudaya, sehingga tidak ada nilai-nilai yang disembunyikan.

Young Yun Kim (Wiseman, ed.; 1995: 181) berpendapat, bahwa proses adaptasi budaya meliputi dua dimensi yang saling berkaitan, yaitu komunikasi personal yang menyangkut hal-hal kognitif, afektif dan operasional; yang kedua adalah komunikasi sosial yang merupakan partisipasi individu dalam aktivitas komunikasi interpersonal dan massa budaya baru. Berarti dalam sebuah hubungan perkawinan, perbedaan budaya harus disikapi secara aktif tidak hanya oleh salah satu pihak, tetapi kedua belah pihak. Komitmen yang muncul dalam hubungan perkawinan antaretnis salah satunya adalah kesepakatan untuk saling mendukung bentuk komunikasi personal maupun komunikasi sosial.

Melihat pentingnya sebuah budaya yang menjadi latar belakang seseorang ketika berkomunikasi, dalam penelitiannya Turnomo Rahardjo (2005: 70) antara lain menyoroti tentang faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan dalam pertemuan antarbudaya, yang disebut sebagai komponen komunikasi antarbudaya. Faktor-faktor tersebut adalah motivasi, pengetahuan dan kecakapan. Lustig dan Koester (2003: 105) menyebut faktor-faktor tersebut


(29)

sebagai kompetensi budaya. Kompetensi sebuah budaya tergantung pada pengetahuan, motivasi dan tindakan yang terjadi dalam suatu konteks dengan pesan yang sesuai dan efektif.

Motivasi merujuk pada seperangkat perasaan, kehendak, kebutuhan dan dorongan yang diasosiasikan dengan antisipasi atau keterlibatan dalam komunikasi antarbudaya. Faktor-faktor seperti kecemasan, jarak sosial yang dipersepsikan, etnosentrisme dan prasangka dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain. Jika ketakutan, ketidaksukaan dan kecemasan yang lebih menonjol, maka seseorang akan mempunyai motivasi yang negatif, dan ia akan menghindari interaksi dengan orang lain. Sedangkan pengetahuan merujuk pada kesadaran atau pemahaman terhadap informasi yang diperlukan dan tindakan-tindakan supaya seseorang memiliki kompetensi secara antarbudaya. Komunikator yang berpengetahuan membutuhkan informasi tentang orang, aturan-aturan komunikasi, konteks, harapan-harapan normatif yang mengatur interaksi dengan anggota dari budaya lain. Dan kecakapan merujuk pada kinerja perilaku yang sebenarnya yang dirasakan efektif dan pantas dalam konteks komunikasi.

Studi tentang pasangan antarbudaya, menurut Dodd (1998: 70), memunculkan tema seputar pengalaman pasangan kawin campur dalam usaha untuk saling menyesuaikan diri ketika menghadapi persoalan perkawinan pada umumnya dan penyesuaian diri ketika menghadapi persoalan yang menyangkut budaya.


(30)

Beulah Rohrlich (Dodd, 1998: 71) menyatakan, bahwa dalam keluarga kawin campur komunikasi merupakan isu utama yang lazim muncul. Karena itu, Rohrlich memberikan beberapa alternatif dalam upaya penyesuaian:

1. Penyesuaian satu arah (one way adjustment): salah satu mengadopsi pola budaya pasangannya

2. Penyesuaian alternatif (alternative adjustment): pada satu kesempatan salah satu budaya diterapkan, tapi pada kesempatan lain budaya lainnya diterapkan

3. Kompromi midpoin (midpoint compromise): kedua pihak sepakat untuk menentukan posisi masing-masing sebagai jalan keluar

4. Penyesuaian campuran (mixing adjustment): kombinasi dari dua budaya yang sepakat untuk diadaptasi

5. Penyesuaian kreatif (creative adjustment): kedua pihak memutuskan untuk tidak mengadopsi budaya masing-masing tetapi mencari pola perilaku yang baru

Dalam upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi oleh beragam kondisi. Dodd (1998: 70-71) menggolongkannya ke dalam delapan kategori:

1. Efek Romeo dan Juliet

Konsep ini merujuk pada pasangan kawin campur yang saling tertarik, meskipun keluarga masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan menemui beragam persoalan, seperti tidak


(31)

diterima oleh komunitas, munculnya kritik dari orang-orang terdekat, orangtua melakukan intervensi. Hal ini akan menurunkan kepercayaan individu terhadap pasangannya.

2. Peran yang diharapkan

Beberapa studi memperlihatkan, bahwa para isteri merasa dipaksa untuk menerima budaya suaminya. Para isteri yang seringkali mengalami tekanan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap budaya para suami. Hal ini mengakibatkan turunnya kepuasan dalam berkomunikasi.

3. Gangguan dari keluarga besar

Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu budaya.

4. Budaya kolektif-individualistik

Beberapa budaya menganut pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung jawab dalam kelompok (keluarga besar). Tetapi terdapat pula budaya yang lebih memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik.

5. Bahasa dan kesalahpahaman

Ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga kawin campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol


(32)

rumah tangga. Sebagai catatan, jika seorang anak dipaksa untuk memilih identitas kulturalnya, cenderung akan memilih budaya ibunya.

6. Model konflik

Perbedaan dalam cara memecahkan konflik juga merupakan poin penting kehidupan pasangan kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks rendah, monokronik-polikronik dan jarak kekuasaan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur.

7. Cara membesarkan anak

Perilaku terhadap anak dan cara mendidik anak merepresentasikan perbedaan budaya yang lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan yang ketat dibandingkan budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang berbeda, sekaligus perbedaan cara nilai-nilai tersebut dikomunikasikan dan diberlakukan kepada anak-anak.

8. Pandangan negatif dari komunitas

Bizman (dalam Dodd, 1998: 71) mengajukan pertanyaan kepada 549 orang tentang perkawinan orang Yahudi; Yahudi Barat dengan Yahudi Barat, Yahudi Timur dengan Yahudi Timur dan Yahudi Barat dengan Yahudi Timur. Hasilnya, 25 persen beranggapan, bahwa perkawinan antara orang Yahudi Barat dengan Yahudi Timur tidak akan berhasil dalam perkawinannya.


(33)

Penelitian Dugan Romano (1988) mampu mengidentifikasi persoalan-persoalan yang muncul dalam perkawinan antaretnis, antara lain persoalan-persoalan nilai, selera makan dan minum, cara mendidik anak, peran pria dan wanita, pilihan tempat untuk tinggal, persepsi tentang waktu, seks, hubungan dengan teman-teman, keuangan, hubungan dengan kerabat, kelas sosial, agama, bahasa/komunikasi, menyikapi tekanan yang muncul, dalam kondisi sakit dan menderita, etnosentrisme.

Kebanyakan ahli setuju, bahwa salah pengertian mengenai ekspektasi budaya merupakan latar belakang munculnya sejumlah konflik. Dengan mengidentifikasi konflik-konflik budaya, akan dapat meningkatkan kewaspadaan dan kemampuan diri dalam berkomunikasi. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengelola konflik antarbudaya (Dodd, 1998: 189-193). Pertama, menggunakan komunikasi untuk mengurangi ketidaksepahaman dalam konflik tersebut. Kedua, menggunakan model-model kepemimpinan dan model-model komunikasi untuk mengelola konflik. Ketiga, menggunakan metafora untuk mencegah konflik antarbudaya. Keempat, menggunakan sistem yang proaktif untuk mencegah konflik. Kelima, memahami lebih dalam nilai-nilai yang dianut sebuah budaya. Keenam, mempraktikkan hubungan yang berdasarkan empati.

Martin dan Nakayama (2004: 372) berpendapat, bahwa memahami konflik antarbudaya sangat penting karena konflik dan budaya memiliki hubungan yang erat. Perbedaan budaya dapat menyebabkan konflik, dan ketika konflik terjadi latar belakang budaya dan pengalaman dapat berpengaruh pada bagaimana seseorang mencari solusi. Menurut Wilmot dan Hocker (dalam Martin &


(34)

Nakayama, 2004: 376-378), konflik dapat dilihat sebagai sebuah kesempatan, yang dianggap sebagai ketidaksesuaian tujuan, nilai-nilai, harapan, proses ataupun hasil di antara dua atau lebih individu maupun kelompok.

Konflik merupakan sebuah proses yang rumit, tetapi menawarkan kesempatan untuk lebih menguatkan relasi. Meskipun kebanyakan orang tidak menikmati adanya konflik, tetapi konflik dapat memunculkan aspek positif yang potensial. Dengan melihat konflik sebagai sebuah kesempatan, berarti seseorang dapat memperoleh informasi baru mengenai orang lain, menyebarkan isu-isu serius dan meingkatkan rasa kebersamaan. Dengan mengalami konflik, seseorang dapat dipaksa untuk berpikir kreatif, bahkan berpikir jauh ke depan, untuk mencari solusi. Dalam proses ini, konflik dapat dianggap sebagai sebuah representasi dari negosiasi ulang atas kesepakatan dua pihak.

Sebagian budaya memandang konflik sebagai sesuatu yang jelas tidak produktif bagi sebuah hubungan (Martin & Nakayama, 2004: 378-380). Karena konflik dapat mengganggu suasana damai dan ketenangan anggota suatu kelompok budaya. Seharusnya sistem sosial tidak perlu selalu berusaha mengakomodasi kepentingan setiap anggota kelompok, sebaliknya yang perlu melakukan penyesuaian adalah anggota kelompok. Konfrontasi antarindividu akan menumbuhkan perasaan sakit hati dan kondisi yang tidak efektif.

Menurut Rahim dan Magner (dalam Martin & Nakayama, 2004: 382-385), paling tidak terdapat lima model bagaimana mengelola konflik: (1) dominating; (2) integrating; (3) compromising; (4) obliging; dan (5) avoiding. Tipe dominasi merefleksikan perhatian yang besar terhadap diri sendiri dibandingkan terhadap


(35)

pasangan. Solusi yang ditawarkan adalah orientasi win-lose dan pemaksaan kehendak untuk menang dari pasangannya. Tipe integrasi memberikan perhatian besar kepada diri sendiri dan pasangan dalam situasi penuh keterbukaan. Keduanya akan saling bertukar informasi dalam usaha untuk memperoleh solusi yang diterima oleh kedua pihak. Tipe kompromi merupakan pemecahan sebuah konflik ketika satu pihak mencapai tingkat keputusasaan sehingga menyerahkan penyelesaian pada pasangannya. Pada tipe ini kebanyakan individu kurang memiliki komitmen terhadap solusi, karena merasa ada unsur keterpaksaan. Tipe obliging berorientasi pada satu pihak yang merasa lebih menaruh perhatian pada keberlangsungan hubungan, dibandingkan pasangannya. Hal ini dikarenakan pihak tersebut merasa memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan mencari solusi konflik. Tipe avoiding akan diterapkan pada pasangan yang memiliki perhatian rendah pada diri sendiri dan pasangannya. Pada budaya tertentu, cara ini justru dapat menghasilkan hubungan yang harmonis karena hampir tidak ada konflik yang dijumpai.

3. Nilai Sosial dan Nilai Budaya Etnis Cina dan Jawa

Yang dimaksud dengan kebudayaan Jawa di sini adalah kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa yang hidup di Kota Surakarta, dengan sentranya pada keraton Yogyakarta dan keraton Surakarta. Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan Cina di sini adalah kebudayaan yang dianut oleh masyarakat


(36)

Cina yang banyak tersebar di pulau Jawa khususnya mereka yang lahir atau cukup lama di pulau Jawa.

Untuk membicarakan sistem nilai budaya antara kebudayaan Jawa dan Cina, akan digunakan kerangka kajian yang pernah dikembangkan oleh Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1984: 435) (dalam Soelaeman, 2001: 42), yang secara universal membagi nilai-nilai budaya dari semua bangsa di dunia ke dalam lima kategori berdasarkan lima masalah universal terpenting di dalam kehidupan kelompok manusia, yaitu (1) masalah hakekat hidup; (2) masalah mengenai hakekat dari kerja serta usaha manusia; (3) masalah mengenai hubungan antara manusia dan alam; (4) masalah persepsi manusia tentang waktu; dan (5) masalah mengenai hubungan antara manusia dan sesamanya.

Kelima masalah ini sering disebut juga orientasi nilai budaya. Sistem orientasi nilai budaya Jawa oleh Koentjaraningrat (1984: 443) dikatakan sebagai berikut:

1. Hakekat hidup

Orang Jawa pada dasarnya menganggap hidup sebagai rangkaian peristiwa yang penuh kesengsaraan, yang harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka menerima keadaannya sebagai nasib. Tetapi orang hidup senantiasa berikhtiar untuk memperbaikinya.

2. Hakekat kerja

Rakyat kecil biasanya akan mengatakan, bahwa mereka bekerja agar mereka dapat makan, sehingga muncul ungkapan aja ngaya, aja ngangsa dalam menempuh hidup. Sedangkan kalangan pelajar dan priyayi


(37)

memandang masalah tujuan akhir serta terpengaruhinya daya upaya manusia dihubungkan dengan pahala, sesuatu hal yang baru akan mereka peroleh di dunia akhirat kelak.

3. Hubungan antara manusia dengan alam

Terhadap alam, mereka memilih untuk berusaha hidup selaras dengan alam, bahkan berkewajiban memperindah keindahan dunia. Konsep selaras ini mereka hubungkan dengan ide-ide mistis mengenai manunggalnya alam dengan Tuhan, atau dengan konsep-konsep religio-magi mengenai kekuatan-kekuatan alam.

4. Persepsi mengenai waktu

Pada masyarakat Jawa umumnya rencana-rencana, keputusan-keputusan serta orientasi tingkah laku mereka tunjukkan pada persepsi waktu masa kini. Sedangkan kehidupan orang priyayi selain persepsi waktu masa kini, juga mempunyai persepsi waktu masa lalu, berkenaan dengan nostalgianya akan benda-benda pusaka, kegemarannya untuk mengusut sisilah, sejarah kepahlawanan, karya pujangga-pujangga kuno, dan sebagainya.

5. Hubungan antara manusia dan sesamanya.

Tingkah laku dan adat sopan santun orang Jawa terhadap sesamanya sangat berorientasi secara kolateral. Bahwa mereka hidup tidak sendiri di dunia, maka mereka hidup saling tolong menolong, saling memberikan bantuannya. Mereka mengembangkan sikap tenggang rasa (tepa salira), dan berlaku conform dengan sesamanya. Mereka juga mengintensifkan solidaritas antara para anggota suatu kelompok kerabat.


(38)

Sedangkan sistem orientasi nilai budaya Cina seperti yang diungkapkan oleh Hariyono (1993: 35-44) dapat dilihat sebagai berikut:

1. Hakekat hidup

Ahli filsafat Cina mengatakan, tingkat tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah kedudukan sebagai orang yang arif bijaksana, yaitu suatu tingkat pencapaian diri pribadinya sudah sama dengan alam semesta (identification of the individual with universe). Pada etnis Cina, baik melalui pengaruh filsafat Konfusius maupun filsafat Budha, dapat dikatakan bahwa hakekat hidup itu adalah sengsara, dukkha; tetapi manusia dapat berikhtiar membebaskan diri dari penderitaan itu melalui kesempurnaan hubungan sosial.

2. Hakekat kerja

Masyarakat etnis Cina menganggap keluarga sangat penting. Sedemikian penting perhatiannya pada keluarga, sehingga etos kerja pun dihubungkan dengan keluarga. Salah satu bentuk penghormatan kepada orang tua adalah apabila seseorang dapat menunjukkan hasil kerjanya dengan baik. Ajaran tentang kerja dalam falsafah Cina memberikan pengaruh kepada keluarga, seperti kerja untuk bakti, kebahagiaan dan kesetiaan keluarga. Jadi, etos kerja pada masyarakat etnis Cina terletak pada keinginan untuk bakti kepada keluarga serta memperoleh pahala kelak di akhirat.


(39)

Sebagian besar ajaran masyarakat etnis Cina mengajarkan bagaimana manusia harus hidup menurut hukum alam. Manusia harus hidup mengikuti gerak hukum alam, yaitu memilih kesederhanaan, mencontoh sifat air yang selalu memilih tempat rendah yang terlemah dari semua benda, tetapi dapat menembus batu-batuan. Pada kultur Cina juga dikenal kehidupan yang selaras dengan alam semesta, dan dihubungkannya dengan dunia ide-ide mistis, yang berkaitan dengan konsep religio-magi.

4. Persepsi mengenai waktu

Bagi masyarakat etnis Cina, ada keajaiban hidup yang hanya bisa ditanamkan oleh usia. Usia memberikan nilai, martabat dan keutamaan kepada semua hal, baik itu mengenai suatu objek, lembaga maupun kehidupan pribadi. Budaya Cina juga gemar menghormati benda-benda kuno/pusaka, mengusut silsilah mereka, sejarah, karya-karya pujangga kuno dan sebagainya. Selain itu, kultur Cina cenderung lebih berani mengorbankan atau merubah sesuatu demi kelangsungan hidup di masa yang akan datang, meskipun tampak sebagai suatu hal yang belum pasti. Jadi, etnis Cina selain memiliki orientasi waktu masa lalu dan masa kini, ada kecenderungan memiliki orientasi waktu masa yang akan datang juga. 5. Hubungan antara manusia dan sesamanya

Dalam ajaran kultur Cina, manusia harus melakukan atau berbuat murah hati yang terwujud dalam sikap suka menolong. Karena murah hati merupakan difusi dari pengetahuan dan kebajikan. Dalam kehidupan pribadi mampu bersikap hormat, tidak mementingkan diri sendiri dan


(40)

dikaruniai kemampuan merasakan perasaan orang lain melalui perasaannya sendiri. Apabila ada orang yang merasa membutuhkan pertolongan, dia mampu merasakannya dan siap memberikan bantuan.

Dengan membandingkan kedua sistem nilai budaya Jawa dan Cina yang telah dipaparkan di atas, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Hakekat hidup

Keduanya sama-sama menganggap, bahwa hidup itu penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan yang harus diterima oleh setiap manusia. Tapi keduanya juga optimis, bahwa kondisi ini dapat diperbaiki dengan cara berusaha atau berikhtiar, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri. Perbedaan upaya ini tampak pada pemahamannya tentang kerja. 2. Hakekat karya dan etos kerja

Ada perbedaan anggapan mengenai etos kerja di antara kedua sistem budaya ini. Pada kultur Jawa hampir tidak ada motivasi yang kuat untuk bekerja. Mereka bekerja sekedar untuk dapat hidup, mereka lebih suka mengosongkan hidup ini untuk menanti hidupnya di dunia akhirat kelak. Sedangkan pada budaya Cina, meskipun kehidupan di dunia akhirat pada akhirnya juga akan dikejar, tetapi disertai dengan motivasi kuat untuk bekerja. Mereka bekerja untuk bakti dan menjaga nama baik orang tua serta menunjukkan kesetiaannya kepada keluarga, agar kebahagiaan di akhirat dapat dicapai.


(41)

Keduanya sama-sama berusaha untuk hidup selaras dengan alam, yang menjadi bagian tak terpisahkan dengan alam makro kosmos dan dunia religio-magi.

4. Persepsi mengenai waktu

Keduanya sama-sama mempunyai orientasi waktu masa kini dan masa lalu, tetapi kultur Cina ada kecenderungan memiliki orientasi waktu yang akan datang.

5. Hubungan antara manusia dan sesamanya

Keduanya memiliki nilai suka tolong menolong dan solidaritas yang tinggi pada sistem kekerabatan. Hanya bedanya, pada kultur Cina penekanan kepentingan keluarga lebih utama daripada individu dan masyarakat. sedangkan pada kultur Jawa hubungan antara individu, keluarga dan masyarakat cukup seimbang. Hal ini tampak pada kultur Jawa yang cenderung conform dengan masyarakat, serta dikembangkan sikap solidaritas di antara para anggota suatu kelompok masyarakat.

Selain nilai budaya Cina dan Jawa, juga terdapat nilai-nilai sosial yang biasa berlaku dalam kehidupan bermasyarakat masing-masing etnis. Beberapa nilai sosial etnis Jawa yang diungkap Hariyono (1993: 45-52) sebagai berikut:

1. Nilai kerukunan

Masyarakat etnis Jawa biasa hidup secara rukun. Tujuan dari prinsip kerukunan adalah untuk mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis. Atas nama prinsip kerukunan, masyarakat etnis Jawa berusaha


(42)

untuk menghilangkan tanda-tanda ketegangan masyarakat atau antarpribadi, sehingga hubungan sosial tetap tampak harmonis dan baik, meskipun harmonis ini relatif sifatnya. Magnis-Suseno (1997: 42-62) berdasarkan penemuan Hildred Greetz, menyebutnya sebagai prinsip menghindari konflik. Konflik yang muncul disebabkan melibatkan emosi dalam setiap kepentingan. Karena itu masyarakat etnis Jawa mengembangkan norma-norma yang menjadi panduan untuk mencegah konflik agar tidak menimbulkan emosi.

2. Prinsip hormat

Setiap orang dalam berbicara dan membawakan diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya dalam masyarakat. Prinsip hormat ini didasarkan pada pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis. Magnis-Suseno (1997: 62-71) memaparkan, bahwa strata sosial dibuat berdasarkan kedudukan dan jenis pekerjaan anggota masyarakat, sehingga keragaman bagian-bagian masyarakat daoat tercakup seluruhnya. Mereka yang berada pada posisi lebih tinggi harus mendapatkan hormat. Kehormatan sedemikian penting bagi masyarakat Jawa, segala perbuatan aib akan dipendam sedalam-dalamnya, bahkan kalau perlu adakalanya aib itu dilihat sisi positifnya atau dicari jalan tengah yang dapat mengembalikan kehormatan, sekalipun itu akan bertentangan dengan etika.


(43)

Orang yang bijaksana menganggap, bahwa yang paling baik baginya adalah hidup sesuai dengan peraturan-peraturan moral, bahkan apabila itu berarti ia harus memenuhi semua kepentingan jangka pendek. Dengan demikian konsep etika kebijaksanaan etnis Jawa didasarkan pada etika moral.

4. Jalan tengah

Dalam kultur Jawa, segala sesuatu menjadi relatif dan tidak mutlak. Mencari jalan tengah atas suatu kondisi dirasa lebih nyaman, akan memudahkan seseorang untuk berhubungan dengan berbagai pihak serta menambah persahabatan, karena ia bisa merangkul kedua pihak yang saling berjauhan.

5. Perkawinan

Geertz (dalam Hariyono, 1993: 46) mengatakan, bahwa pada masyarakat etnis Jawa perkawinan merupakan suatu peristiwa yang harus terjadi pada kehidupan seseorang. Perkawinan tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua jaringan keluarga yang luas. Tetapi yang dipentingkan adalah pembentukan sebuah rumah tangga sebagai unit yang berdiri sendiri. Karena itu tradisi Jawa kawin cerai merupakan kejadian yang biasa.

Sedangkan nilai-nilai sosial pada masyarakat etnis Cina, Hariyono (1993: 47-51) menuturkan sebagai berikut:


(44)

Konsep kerukunan menunjukkan pada pengertian anti kekerasan dan hidup saling tolong menolong. Anti kekerasan pada etnis Cina termasuk dalam konsep pemerintahan yang menolak kekerasan fisik. Menunjukkan bahwa kultur Cina berpegang pada sifat suka akan perdamaian, anti kekerasan, mengalah dalam menghadapi konflik, suka melayani orang lain. Apabila mengalami konflik, faham mengalah akan diterapkan.

2. Prinsip hormat

Konsep yang berlaku adalah adat kesopanan, salah satunya adalah pengorbanan terhadap usia. Sebagai akibatnya, penghormatan harus selalu mengarah ke atas, kepada mereka yang telah maju dan berdiri di depan. Tampak, bahwa bentuk penghormatan diberikan berdasarkan atas usia dan hubungan kekeluargaan.

3. Etika kebijaksanaan

Ajaran yang dianut etnis Cina, yaitu membangun masyarakat menjadi seideal mungkin. Yang diutamakan untuk mewujudkannya adalah melalui kebijaksanaan, yang hanya dapat dicapai melalui terciptanya manusia yang ideal, yaitu melalui pendidikan moral. Jelas di sini etika kebijaksanaan dikaitkan dengan moral.

4. Jalan tengah

Jalan tengah, diartikan sebagai jalan yang tetap di tengah, yaitu di antara ujung-ujung kehidupan, dengan asas penuntuk yang berbunyi tidak boleh ada yang berlebihan. Hasrat dan keinginan tidak boleh dibiarkan tumbuh.


(45)

Kenikmatan tidak boleh dipenuhi seluruhnya. Mengikuti jalan tengah akan membawa keselarasan dan keseimbangan.

5. Perkawinan

Perceraian dalam masyarakat etnis Cina merupakan kejadian aib. Perkawinan yang melibatkan keluarga besar pada tradisi etnis Cina menyebabkan orang tua terlibat dalam pengaturan. Oleh karena itu, masalah keluarga atau perceraian dianggap sebagai perbuatan yang menentang orang tua, sehingga pasangan tersebut dianggap tidak berbakti.

Perlu juga dilakukan pembandingan sistem nilai sosial Jawa dan Cina, sesuai dengan yang telah dipaparkan di atas:

1. Prinsip kerukunan

Meskipun dengan ungkapan yang berbeda, prinsip nilai kerukunan pada etnis Jawa maupun Cina, tidak jauh berbeda. Inti yang terkandung di dalamnya adalah dihindarkannya konflik dan didambakannya perdamaian, yang semua itu terdapat dalam kultur Jawa maupun Cina.

2. Prinsip hormat

Baik pada masyarakat etnis Jawa maupun Cina mempunyai nilai hormat. Hanya bedanya, pada etnis Jawa rasa hormat diberikan oleh karena konsekuensi dari adanya susunan hirarkis pada suatu masyarakat. Sedangkan pada kultur Cina, istilah ini dipakai untuk menghormati saudara tua/orang tua oleh saudara muda/anak. Karena penghormatan berdasarkan atas usia dan hubungan keluarga.


(46)

3. Etika kebijaksanaan

Keduanya sama-sama menganggap, bahwa sikap kebijaksanaan hanya dapat dicapai melalui sikap hidup yang didasarkan pada aturan-aturan moral.

4. Jalan tengah

Keduanya memiliki anggapan, bahwa dua hal yang ekstrim yang bersifat dikotomis harus dihindari. Tidak boleh ada sesuatu hal yang berlebihan. Mengikuti jalan tengah akan membawa keseimbangan dan keselarasan. 5. Perkawinan

Terdapat perbedaan nilai tentang perkawinan di antara etnis Jawa dan Cina. Pada kultur Jawa, perkawinan dimaksudkan untuk membentuk suatu rumah tangga yang berdiri sendiri. Pemilihan calon pasangan merupakan urusan pribadi. Keluarga, lebih-lebih keluarga besar tidak memegang peran penting dalam pemilihan calon pasangan. Sedangkan pada kultur Cina, perkawinan dianggap untuk melanjutkan kelangsungan hidup klan. Sehingga pemilihan pasangan lebih banyak melibatkan keluarga atau keluarga besarnya.

Dalam penelitiannya, Hariyono (1993) tidak menunjukkan proses penyatuan kedua tradisi tersebut dalam ikatan perkawinan. Lebih jauh Hariyono membahas mengenai interaksi yang dilakukan oleh pasangan kawin campur dengan lingkungan sosialnya dan penerimaan lingkungan terhadap pasangan kawin campur. Berkaca pada penelitian yang dilakukan oleh Hariyono, perlu


(47)

untuk lebih jauh melihat bagaimana perkembangan nilai-nilai sosial budaya Jawa dan Cina ketika bersatu dalam sebuah perkawinan antar kedua etnis tersebut.

4. Penelitian Sebelumnya

1. Penelitian Turnomo Rahardjo (2005)

Turnomo Rahardjo dalam bukunya Menghargai Perbedaan Kultural: Mindfulness dalam Komunikasi Antaretnis (2005) didasarkan pada sebuah penelitian komunikasi antaretnis yang terfokus pada bagaimana setiap individu dari dua kelompok etnis yang berbeda (etnis Cina dan etnis Jawa) melakukan negosiasi identitas kultural mereka dalam sebuah ruang sosial yang memungkinkan mereka bisa bertemu, berkomunikasi dan saling mempengaruhi.

Lebih lanjut studi yang dilakukan oleh Rahardjo berusaha mengembangkan pemikiran teoretik tentang bangunan komunikasi antarbudaya yang sesuai bagi relasi antara etnis Cina dengan etnis Jawa. Bangunan komunikasi antarbudaya yang dimaksud tersebut adalah apakah dalam wujud pemikiran teoretik tentang budaya ketiga (third culture) atau multikulturalisme.

Dalam penelitiannya, Rahardjo menetapkan sebuah kawasan pemukiman yang memungkinkan individu-individu dari kelompok etnis Cina dan etnis Jawa dapat berkomunikasi dengan intensitas yang relatif tinggi. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa komunikasi yang berlangsung dalam intensitas yang relatif tinggi akan dapat menciptakan situasi mindfulness. Berdasarkan alasan tersebut, maka Rahardjo berasumsi bahwa lokasi yang


(48)

memenuhi kriteria adalah wilayah pemukiman di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Surakarta.

Unit analisis dari penelitian tersebut adalah individu-individu dari masing-masing kelompok etnis yang mempersepsikan pengalaman mereka dalam komunikasi antaretnis yang berlangsung selama ini. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penggunaan instrumen indepth interview, serta questionnaire dan show card. Penelitian yang dilakukan oleh Rahardjo ini merupakan usaha menerapkan prinsip trianggulasi, yaitu penggabungan metoda kuantitatif dengan metoda kualitatif. Analisis terhadap data hasil survei tentang efektivitas komunikasi antara etnis Cina dengan etnis Jawa dilakukan dengan membandingkan nilai rata-rata hitung (mean). Sedangkan analisis untuk data kualitatif mengacu pada metoda fenomenologi.

Dari penelitian tersebut didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu:

1) Warga masyarakat dari kedua kelompok etnis di Sudiroprajan telah mampu menciptakan situasi komunikasi antaretnis yang mindful, karena telah memiliki kecakapan atau kompetensi komunikasi yang memadai. Perbedaan-perbedaan yang membentuk identitas budaya tidak menjadi penghalang bagi interaksi sosial. Sudiroprajan dikatakan sebagai miniatur dari penerapan bangunan atau model multikulturalisme yang berupaya menciptakan komunikasi yang setara (equal), dan dengan sendirinya mengakui adanya perbedaan (difference).

2) Persoalan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) tidak dipahami sebagai murni persoalan akibat adanya perbedaan primordialistik


(49)

(etnisitas) oleh warga masyarakat Sudiroprajan. Tetapi persoalan SARA dipahami sebagai realitas akibat adanya heterogenitas etnisitas dan hal ini tidak berpengaruh dalam kehidupan bertetangga di antara kedua kelompok etnis.

3) Terciptanya integrasi sosial di wilayah Sudiroprajan tidak semata-mata karena masyarakat menyadari, bahwa perbedaan etnisitas harus mendapatkan toleransi yang mencukupi. Namun, lingkungan perumahan atau bangunan perumahan yang dihuni oleh masing-masing keluarga memberikan kemungkinan bagi warga etnis Cina dan warga etnis Jawa untuk melakukan komunikasi antarbudaya dengan baik.

4) Komunikasi yang setara antara warga etnis Cina dengan etnis Jawa tercermin di Sudiroprajan yang ditandai oleh adanya penghargaan terhadap perbedaan karakteristik kultural yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnis. Bangunan multikulturalisme terlihat dengan jelas ciri-cirinya.

Terdapat kelemahan-kelemahan dalam penelitian Turnomo Rahardjo, yaitu perlunya mencermati pemilihan Kelurahan Sudiroprajan sebagai lokasi penelitian. Kelurahan Sudiroprajan merupakan sebuah wilayah yang asalnya adalah perkampungan Cina yang dibangun sejak jaman Kompeni dan berlanjut pada masa kolonial. Tetapi sejak tahun 1910, wijkenstelsel dan passenstelsel yang membatasi ruang gerak orang Cina dihapuskan sehingga mereka tidak diwajibkan untuk bertempat tinggal di perkampungan Cina (Nurhadiantomo, 2006: 15).


(1)

(suami) Kami maunya yang simpel-simpel saja. Yang penting restu dari orang tua sudah kami dapat, jadi segalanya lebih lancar.

15. Lalu dalam perjalanan perkawinan apakah menemukan hal-hal di luar dugaan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan konflik?

(suami) Kalau penyesuaian antara dua pribadi yang berbeda jelas itu ada. Tapi saya rasa wajar-wajar saja. Dan itu dialami oleh semua pasangan. Tapi, kalau menurut saya sih, bukan berlatarbelakang budaya. Apalagi kalau sampai terjadi konflik, tidak ada. Yang jelas kami mencegah sampai pada tahap itu. Sebelum semuanya jelas, tidak perlu dibahas lebih lanjut. Buat kami, agama tidak pernah mengajarkan untuk membuat konflik. Jadi karena agama pijakan kami, ya, sebelum sampai pada konflik, kami sudah saling berusaha untuk memecahkan persoalan dengan kepala dingin tanpa emosi yang berlebihan.

(istri) Buat saya pribadi, saya ingin membuktikan bahwa suami saya yang orang Cina tidak seperti anggapan yang pernah terlontar dalam keluarga saya. Meskipun anggapan itu menurut mereka berlaku pada orang-orang Cina, yang penting saya ingin menunjukkan pada mereka suami saya adalah suami yang sangat bertanggung jawab. Dan itu memang sudah terbukti. Suami saya justru adalah seorang pekerja keras, tetapi tidak mementingkan sudut materi saja. Juga suami saya sangat menghargai hasil keringat dan tidak suka berfoya-foya. Jadi semuanya betul-betul tidak seperti gambaran yang diberikan pada saya sebelumnya mengenai orang Cina. Suami saya juga seorang yang sangat dermawan karena sering terlibat dalam acara-acara sosial.

16. Kalau muncul kesalahpahaman, kira-kira siapa yang lebih sering menunjukkan atau mengarahkan jalan keluar yang terbaik, bapak atau ibu?

(suami) Siapa saja bisa. Kalau memang istri saya memberikan masukan yang baik supaya dapat keluar dari persoalan, kenapa tidak masukan itu diterima. Tidak ada masalah siapa saja yang memiliki pemikiran lebih dulu.yang penting, setiap persoalan harus dibicarakan secara terbuka satu sama lain. Namanya sudah suami istri.

(istri) Kalau menghadapi persoalan, kadang pemikiran berdua lebih dapat melihat dari berbagai sudut. Jadi ya kadang suami yang memberikan jalan keluar, kadang saya juga memberikan jalan keluar. Mungkin karena kami memiliki dasar yang kuat, jadi agama bisa dijadikan pegangan. Lagian kami berdua memiliki latar belakang pendidikan dengan tingkat yang sama, jadi bisa menganalisa persoalan dengan lebih jernih. Itulah yang terjadi.

17. Bagaimana dengan sifat masing-masing, apakah bapak & ibu bisa memberikan penilaian?

(istri) Suami saya cenderung agak tertutup orangnya. Memang sedikit emosional juga, mungkin karena tekanan pekerjaan. Tapi sekarang sudah jauh berkurang. Makanya saya sering ajak suami saya ikut kegiatan sosial supaya agak rileks. Soalnya dia tipe pekerja keras, jadi waktunya lebih banyak di pekerjaan. Tapi dia orangnya apa adanya, tidak banyak menuntut dari saya atau dari anak-anak. Dia lebih banyak memberikan contoh.

(suami) Kalau istri saya mungkin kebalikan dari saya, orangnya sangat sabar. Yang saya tahu dia sangat tidak mementingkan diri sendiri, karena itu jiwa sosialnya sangat tinggi. Istri saya tidak suka berdiam diri, dia selalu mengisi waktu-waktunya dengan berbagai kegiatan sosial, karena itu mudah bergaul tapi tetap sederhana.

18. Kalau dengan keluarga besar masing-masing bagaimana. Adakah persoalan yang muncul?


(2)

(suami) Pada awalnya kami memang lebih sering berkumpul dengan keluarga istri saya, apalagi karena kami memilih untuk tinggal di Solo. Tetapi lama kelamaan, kurang lebih enam tahun kemudian kami sudah lebih leluasa berhubungan dengan keluarga saya di Magelang. Apalagi kemudian saya juga ikut mengurusi bisnis keluarga di Magelang sepeninggal ayah ibu saya.

(istri) Keluarga saya sebagian besar memang di Solo. Acara yang biasa kami adakan Lebaran dan arisan keluarga. Kami berdua juga ikut ambil bagian. Keluarga saya sangat menerima kami berdua dan anak-anak kami dengan tangan terbuka. Kalau dengan keluarga suami saya, pada saat Imlek kami tidak selalu bisa datang ke Magelang. Malah kadang tanpa bermaksud merayakan apa pun kami juga datang untuk sekedar berkunjung dan bersilaturahmi. Semua menyambut kami dengan tangan terbuka. Apalagi suami saya juga ikut mengurusi bisnis kelaurganya.

19. Bagaimana dengan anak, apakah ada perbedaan tentang cara yang ditempuh untuk membesarkan anak?

(suami) Tidak ada perbedaan, buat kami yang penting penanaman agama yang harus menjadi dasar kuat dalam mendidik anak. Tidak ada cara lain yang menurut kami lebih baik dari itu. Untuk memilih tempat pendidikan, kami pilih yang terbaik dan sesuai dengan kemampuan anak-anak kami.

(istri) Karena dari kecil anak-anak sudah dikenalkan pada agama, jadi sehari-hari kehidupan kami sudah sangat dekat dengan keyakinan ini. Budaya kami masing-masing bahkan sudah seperti tidak terlalu nampak.

20. Lalu menurut bapak & ibu, penting tidak anak-anak mengetahui akar budayanya? (istri) Penting. Tapi kami tidak memberikan kepada mereka pemahaman yang mendasar sekali tentang falsafah Jawa atau Cina. Karena kami sendiri juga tidak terlalu paham.

(suami) Ada keinginan supaya anak memahami akar budayanya, ya Jawa ya Cina. Karena menurut kami itu juga penting.

21. Sejauh mana yang selama ini dilakukan oleh bapak & ibu?

(istri) Paling kami berusaha mengenalkan keluarga besar kami masing-masing. Kebiasaan, atau tata krama yang berlaku dalam keluarga. Misalnya kalau bertemu dengan keluarga yang lebih tua harus mencium tangan sebagai ucapan salam dan hormat. Juga memberitahu bagaimana memanggil yang tepat kepada mereka. Karena kalau memanggil saudara-saudara dari ayah mereka ya seperti panggilan dalam budaya Cina, tapi kalau untuk keluarga saya, saudara-saudara kandung saya menggunakan panggilan Jawa. Di rumah kami menggunakan bahasa Indonesia. Kalau bahasa Jawa karena pergaulan di lingkungan di luar rumah. Sedangkan bahasa Cina, suami saya hanya bisa sedikit-sedikit.

22. Tanggapan anak-anak seperti apa? Apakah mereka masa bodoh, ingin tahu lebih banyak kedua budaya, atau mungkin lebih cenderung pada salah satu budaya?

(suami) Mereka tidak terlalu mempersoalkannya.

(istri) Menurut kami anak-anak tidak cenderung salah satunya. 23. Lalu, apa yang bapak & ibu lakukan menanggapi hal ini?

(istri) Kalau keinginan supaya anak-anak lebih paham, kami rasa harus dilakukan pelan-pelan. Karena sepertinya buat mereka tidak ada perbedaan yang berarti kalau ayah dan ibunya dari budaya yang berbeda. Memang kami tidak terlalu mempersoalkan tentang perbedaan itu, jadi anak-anak mungkin tidak merasakan dua budaya dalam satu rumah.


(3)

(istri) Kami ambil saja yang terbaik di antara budaya Jawa dan budaya Cina. Tapi kalau saya melihatnya, kedua budaya ini tidak terlalu jauh berbeda. Falsafahnya sama saja, bagaimana menghargai orang lain, bagaimana menghormati orang tua, bagaimana memandang hidup, dan bagaimana membangun hubungan dengan Tuhan.

(suami) Sebenarnya, yang selama ini beredar tentang orang Jawa seperti ini, orang Cina seperti itu hanya generalisasi saja. Mereka asal pukul rata, semua orang Jawa seperti itu, orang Cina semua seperti ini. Padahal manusia tidak persis sama. Harus dilihat pribadinya masing-masing. Sepertinya yang paling penting, anak-anak kami harus mampu melihat dengan lebih bijaksana. Tidak hanya mendengar orang berbicara sesuatu lalu langsung percaya dan mengambil sikap. Harus belajar untuk mencerna dengan baik setiap informasi yang ada.

25. Adakah keinginan terpendam dari bapak atau ibu untuk anak-anak nantinya, semacam keinginan pribadi?

(suami) Tidak ada. Yang penting anak-anak harus mempersiapkan masa depan dengan lebih baik.

(istri) Kalau saya sih, tidak masalah. Yang penting buat saya nantinya anak-anak bisa lebih menghargai perbedaan. Dan mereka sudah mengalami kalau di rumah dengan dua budaya ternyata tidak terlalu terasa pebedaannya. Jadi saya pribadi berharap, anak-anak lebih paham, kalau Indonesia memiliki budaya yang banyak sekali. Ketika berhubungan dengan orang lain jangan melihat budayanya, tetapi cukup pribadi orang tersebut, baik atau buruk bukan budayanya yang perlu disalahkan, tapi pribadinya.

26. Bagaimana hubungan bapak & ibu dengan teman-teman dan lingkungan masing-masing?

(suami) Kalau saya kebetulan menjadi Ketua Asosiasi Pengusaha Komputer di Solo. Dan semua menerima dengan baik. Saya merasakan mereka tidak melihat saya sebagai orang Cina atau orang Cina yang kemudian menjadi Islam, kalau itu yang dimaksud. Saya merasakan hubungan yang baik antara saya dengan lingkungan sekitar.

(istri) Kebetulan memang kami berdua aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Jadi kami merasakan lingkungan kami menerima kami dengan tangan terbuka. Selama ini juga tidak ada yang menanyakan, ‘suamimu orang mana’ atau ‘dia agamanya apa’ atau apa pun yang berkaitan dengan pembedaan.

(suami) Saya banyak belajar dari istri saya untuk aktif dalam kegiatan sosial. Dia memiliki peran yang besar, sehingga saya bisa memiliki relasi yang luas. Bisa lancar untuk bisnis.

(istri) Dulunya suami saya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ya mengurusi usaha yang di Solo, lalu juga masih mengurusi usaha keluarga yang di Magelang. Tetap harus pengertian, yang jelas saya selalu mendukung.

27. Kira-kira apa yang paling melekat dari budaya masing-masing?

(istri) Kebetulan bapak & ibu saya orang-orang Jawa yang tidak kolot. Mereka termasuk orang-orang yang berpikiran modern. Tapi yang paling ditekankan sejak kecil tentang persaudaraan. Kami bersaudara harus selalu rukun, saling membantu dan saling menghormati, terutama kepada yang lebih tua. Hidup jangan terlalu mewah dan mau membantu sesama, perduli pada sesama. Hal itu mungkin yang membuat saya selalu bersemangat untuk mengajak siapa saja untuk memiliki jiwa sosial, termasuk suami saya.

(suami) Kalau kami memang sejak kecil yang paling ditanamkan bagaimana berusaha untuk menghidupi diri sendiri dengan kerja keras yang tidak ada


(4)

putusnya. Kalau semua dijalani dengan kesungguhan dan kerja keras nantinya kita pasti meraih kesuksesan seperti yang kita impikan. Jangan berhenti kalau belum merasa sukses.

Transkrip wawancara peneliti dengan responden 7

Responden 7 adalah pasangan yang menikah dua tahun. Istri (26 tahun) seorang etnis Cina, dan suami (30 tahun) berasal dari etnis Jawa. Keduanya memiliki latar belakang pendidikan menengah dan pasangan ini memiliki status sosial ekonomi bawah.

Wawancara selama kurang lebih satu minggu dan dilakukan di rumah responden 1. Sudah berapa lama bapak & ibu menikah, putra berapa?

(istri) Kami menikah baru dua tahun, anak kami masih bayi perempuan. 2. Kembali ke masa lalu, bagaimana bapak & ibu saling mengenal?

(suami) Kami sama-sama dari kampung ini (Kampung Mbalong). Meskipun bukan tetangga dekat, tapi kami sudah kenal lama waktu masih sekolah.

3. Pada saat dekat satu sama lain apakah semuanya berjalan mulus tidak ada pertentangan dari keluarga?

(suami) Kalau dari keluarga saya tidak masalah, karena semua terserah saya. (istri) Kalau orang tua saya sempat melarang. Justru karena sudah kenal dan tahu calon suami saya, mereka tidak memperbolehkan.

4. Kira-kira alasan mereka menentang dihubungakan dengan etnis atau kepribadian atau lainnya?

(istri) Karena dia orang Jawa, tapi juga karena pribadinya.

5. Tapi kan bapak dan ibu berasal dari kampung yang sama, yang terkenal dengan pembaurannya. Sudah paham mengenai orang Jawa dan orang Cina itu seperti apa.

(istri) Ya itu justru membuat mereka menentang. Alasannya sih kebanyakan karena sudah tahu kebiasaan orang-orang di kampung ini seperti apa. Seperti mereka tidak punya pekerjaan tetap, kurang bekerja keras. Jadinya orang tua saya takut nanti setelah menikah saya tidak bisa hidup lebih bahagia. Karena waktu menikah memang suami saya tidak punya pekerjaan tetap. Dan kaluarga saya bilang, suami itu harus memiliki usaha atau pekerjaan. Karena suami adalah tulang punggung keluarga. Istri hanya menyokong usaha suami. Ibu saya yang paling sering bilang.

6. Apakah waktu dulu selama tumbuh dari lingkungan keluarga yang seperti ini bapak & ibu pernah mendengar atau diberitahu oleh keluarga, siapa saja, tentang orang Jawa & orang Cina seperti ini seperti itu?

(suami) Paling omongan-omongan biasa. Tapi tidak betul juga. Soalnya kami sudah hidup bersama-sama di kampung ini, Jawa dan Cina, sudah puluhan tahun. Leluhur kami hidup di sini. Omongan-omongan itu tidak ada. Kalaupun ada paling sebutan pemalas. Tapi orang Cinanya sendiri juga sama saja, di sini juga banyak orang Cina yang malas.

(istri) Katanya orang-orang kalau orang Cina itu kaya-kaya. Tidak juga, di sini orang Cinanya biasa-biasa saja, malah cenderung kekurangan. Pemalas juga seperti yang orang bilang tentang orang Jawa. Katanya lagi kalau orang Cina itu pekerja keras, ulet. Di sini sama saja, orang lebih senang kumpul-kumpul saja. Ngobrol di depan rumah. Tapi yang ditakutkan orang Jawa itu terkenal, katanya, suka kawin-cerai. Jadi keluarga takut kalau saya ditelantarkan.

7. Lalu, waktu bapak & ibu dekat sebelum memutuskan untuk menikah, ada kekhawatiran tidak kalau nanti ternyata pasangan seperti yang digambarkan orang-orang itu?


(5)

(istri) Begini ini yang terjadi. Lingkungan kami seperti ini. Saya sudah memilih dia jadi suami saya. Sudah, mau bilang apa lagi. Saya terima suami saya seperti apa, dia kan pilihan saya.

(suami) Saya yakin istri saya orang baik. Yang penting buat saya itu saja.

8. Bagaimana bapak meyakinkan orang tua calon istri dengan dugaan-dugaan dari keluarga yang sepertinya negatif?

(suami) Ya nekad ajalah. Nikah ya nikah saja. Waktu itu kami tidak terlalu memikirkan. Dia juga tidak terlalu memikirkan. Jadi ya jalan saja. Akhirnya juga menikah. Pokoknya bisa nikah bagaimana caranya.

(istri) Saya berusaha meyakinkan orang tua saya, kalau dia adalah laki-laki yang saya pilih. Memang orang tua saya menyayangkan saya menikah dengan keadaan yang suami saya belum punya pekerjaan. Tapi karena kami tetap pada pendirian, akhirnya kami bisa menikah.

9. Setelah keluarga tidak masalah, lalu ketika merencanakan untuk masuk ke jenjang pernikahan ada kekhawatiran tidak nanti muncul persoalan yang dilatarbelakangi dua budaya yang berbeda?

(suami) Tidak khawatir. Karena kami juga sudah tidak terlalu memiliki tradisi budaya kami masing-masing. Paling kalau di kampung sini yang dirayakan cuma Imlek.

(istri) Tidak ada, karena kami sudah terbiasa dengan lingkungan di kampung ini yang juga campur-campur. Tidak ada masalah.

10. Berarti kemudian tidak ada masalah ya dalam perjalanan menuju jenjang perkawinan. Dengan tradisi yang berbeda, pilihan untuk melangsungkan perkawinan dengan tradisiyang bagaimana, lalu apa yang diangankan dari perkawinan ini

(istri) Biasa saja. Tradisi Cina dimasukkan, seperti memberi penghormatan pada orang tua dengan menyajikan teh. Ya itu saja, lalu di gereja. Suami saya kan pindah jadi Kristen dulu sebelumnya. Sudah, tidak ada yang mewah-mewah. Pakaian juga nasional saja.

(suami) Mengundang tetangga-tetangga yang juga saudara-saudara kami. Tidak terlalu istimewa. Buat kami yang penting resmi dan sah. Itu saja.

11. Lalu dalam perjalanan perkawinan apakah menemukan hal-hal di luar dugaan yang dapat menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan konflik?

(suami) Konflik, paling tentang urusan dapur. Saya tidak punya penghasilan tetap, kerja serabutan. Ributnya sering karena itu.

(istri) Persoalan dapur sebenarnya bukan persoalan kami saja. Banyak juga keluarga lain yang mengalami masalah ini. Yang saya rasakan itu bukan karena saya Cina suami saya Jawa. Soalnya kan itu masalah semua orang. Kalau di kampung ini begitu, rasanya, semua mengalami.

12. Kalau muncul kesalahpahaman, kira-kira siapa yang lebih sering menunjukkan atau mengarahkan jalan keluar yang terbaik, bapak atau ibu?

(suami) Sama-samalah.

(istri) Mana yang bisa memberi jalan ke luar tidak masalah. Yang penting cepat teratasi. Pusing juga memikirkan kalau ada persoalan-persoalan. Terutama kalau sudah menyangkut nafkah. Kadang saya mengadu ke orang tua saya. Mau ke mana lagi?

13. Bagaimana sifat bapak & ibu masing-masing yang diketahui?

(istri) Bisa dilihat, kalau suami saya memang bukan tipe yang tidak terlalu suka bicara, agak pendiam. Tapi juga kurang berjiwa pekerja keras, agak emosional juga. Seperti umumnya orang Jawa di lingkungan ini kayaknya.


(6)

(suami) Kalau istri saya lebih tidak memiliki pendirian dan mengeluh tentang materi. Dia tergantung sama orang lain kalau akan mengambil keputusan, terutama keluarganya. Dia sangat terbuka dan suka bertemu dengan banyak orang.

14. Setelah bapak pindah agama, apakah agama menjadikan perkawinan semakin kuat, atau hanya supaya bisa resmi menikah?

(suami) Tidak sempat berpikir ke sana. Waktu itu pindah agama supaya perkawinan bisa cepat dilaksanakan saja. Kalau sekarang setelah menikah ya, tidak terlalu berpikir tentang agama.

15. Kalau dengan keluarga besar masing-masing bagaimana. Adakah persoalan yang muncul?

(istri) Karena keluarga saya mayoritas tinggal di sini, jadi kalau kami sedang ada masalah larinya ya ke keluarga saya. Terutama masalah nafkah. Selain itu tidak ada masalah lain. Saya kan juga punya salon di sini, meskipun kecil tapi lumayan juga untuk penghasilan, yang penting untuk anak.

(suami) Kami sudah kenal lama, jadi hubungan baik-baik saja. Tidak ada masalah, mereka juga sudah tahu kebiasaan di kampung ini.

16. Bagaimana dengan anak, apakah ada perbedaan tentang cara yang ditempuh untuk membesarkan anak?

(istri) Yang paling banyak mungkin saya yang ngasuh. Anak saya kan masih bayi juga. Lebih banyak saya titipkan ke ibu saya kalau saya sedang kerja. Sepertinya tidak mungkin saya titipkan suami saya.

17. Lalu menurut bapak & ibu, penting tidak anak-anak mengetahui akar budayanya? Peran orang tua kira-kira ada di mana?

(suami) Di kampung ini kan semua budaya sama saja. Jadi anak bisa saja nanti kalau sudah besar melihat lingkungannya, lama-lama juga akan paham sendiri. (istri) Asal tahu siapa saudara-saudaranya, seperti apa. Kayaknya sudah cukup. 18. Adakah keinginan terpendam dari bapak atau ibu untuk anak-anak nantinya,

semacam keinginan pribadi?

(istri) Tidak ada. Belum terpikirkan. Mau anak seperti apa, terserah anaknya saja. (suami) Yang penting anaknya bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Supaya tidak salah jalan nantinya.

(istri) Tapi yang jelas harus lebih baik dari orang tuanya. 19. Apa yang masih diingat tentang ajaran budaya masing-masing?

(suami) Wah, kalau berkaitan dengan masalah Jawa, saya tidak banyak mengingat karena tidak ada yang terlalu mengingatkan. Saya tidak pernah diajari apapun yang berbau tradisi Jawa oleh orang tua saya. Yang penting hidup tidak mudah, ya dijalani saja.

(istri) Kalau keluarga saya juga tidak terlalu mengajarkan yang berbau tradisi. Kalau seperti tradisi Imlek, saya sendiri sudah tidak tahu artinya. Pokoknya seperti hari besar lain. Soalnya di kampung sini juga sering dirayakan bersama-sama.tapi kalau ajaran lain, ya tidak ada. Bahasa Cina saya juga tidak bisa.


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA