Ceritakan dengan singkat tentang Sejarah berdirinya pemerintahan Bani Ayyubiyah

Ceritakan dengan singkat tentang Sejarah berdirinya pemerintahan Bani Ayyubiyah
Dinasti Ayyubiyah adalah sebuah daulah besar yang berbentuk dinasti atau kerajaan, berkuasa di Timur Tengah antara abad ke-12 sampai abad ke-13. Namun daulah ini mungkin asing bagi umat Islam bahkan nama Daulah ini kalah tenar dibandingkan sultan mereka sendiri.

Dinasti Ayyubiyah sejak awal hingga akhir, adalah dinasti penakluk dalam jihad. Pendiri sekaligus penguasa pertamanya adalah Salahuddin al-Ayyubi dan penguasa Terakhirnya adalah Turansyah. Sultan dari kerajaan ini sangat berperan dalam upaya mematahkan gempuran musuh dalam perang Salib. Andai saja tidak ada Dinasti Ayyubiyah yang menghalau gempuran Kristen-Eropa, Islam pasti sudah tercerabut dari bumi Syam, Jazirah, Mesir dan Afrika Utara. Begitu juga dengan keluarga Zangki yang menjadi guru pertama dalam mengusir pasukan Salib.

Adanya kesempatan dan kemampun yang dimiliki oleh pemimpinnya, Salahuddin menunjukkan eksistensinya sebagai Sultan sekaligus penakhluk yang cakap hingga dapat mendirikan Dinastinya sendiri. Kedudukannya sebagai seorang Sultan menandai bertambahnya tantangan yang harus ia hadapi. Tidak hanya itu, problematika selepas meninggalnya Salahuddin menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Dari penjelasan di atas, termuat beberapa pembahasan yang terangkum dalam rumusan masalah di barah ini.

Latar Belakang berdirinya Dinasti Ayyubiyah

Ayyubiyah berasal dari keturunan Kurdi dari Azerbaijan yang melakukan migrasi ke Irak. Pendiri pemerintahan ini adalah Salahuddin al-Ayyubi. Ia lahir di Tikrit 532 H/1137 M dan meninggal 589 H/1193 M, ia dikenal sebagai seorang sultan yang adil, toleran, pemurah, zuhud, dan memiliki sifat qana’ah. Ayahnya Najmuddin Ayyub adalah gubernur Tikrit yang kemudian pindah ke Moshul, lalu ke Damaskus. Setelah itu Najmuddin dan saudaranya Asaduddin Syirkuh menjadi panglima Nuruddin Mahmud atau dikenal dengan Nuruddin Zangi di Mesir. Setelah Asaduddin Syirkuh meninggal, ia digantikan oleh keponakannya yang yaitu Salahuddin al-Ayyubi. Dengan demikian, ia menjadi menteri untuk Khalifah al-Adid yang menganut Syiah dan dan wakil dari Nuruddin Mahmud yang beraliran Sunni.[1]

Salahuddin memiliki dua ambisi besar dalam hidupnya, yaitu menggantikan Islam Syiah di Mesir dengan Sunni, serta memerangi orang-orang Franka dalam perang suci.[2] Keberhasilannya dalam mendirikan dinastinya sendiri tidak terlepas dari peran Dinasti Zangkiyah yang telah mendidik Salahuddin sampai menjadi seorang tokoh pejuang panji Islam di timur tengah.

Penaklukkan Dinasti Fatimiyah

Periode pertama berawal dari konflik internal antara khalifah Fatimiyah yang terakhir, al-Adid, dengan menterinya Sawar yang berhasil menjatuhkan kekuasaan al-Adid. Tindakan ini membawa kebencian pihak lain yang juga mengincar kedudukan wazir. Dirgham bersama pendukungnya berhasil menjatuhkan Sawar. Dirgham menjadi wazir dan Sawar melarikan diri ke Syiria (557 H/1163 M). Kepada Nuruddin Zangi, penguasa Saljuk di Syiria pada waktu itu, Sawar menawarkan kerjasama untuk merebut kedudukannya kembali. Ia berjanji jika usahanya berhasil, ia akan membayar upeti dan membagi hasil. Nuruddin memerintahkan panglima perangnya, Asaduddin Syirkuh untuk berangkat ke Mesir dan merebut kekuasaan Dirgham. Dengan bantuan ini Sawar berhasil menjadi wazir. Setelah kedudukannya aman, ia berusaha menghianati perjanjiannya dengan Nuruddin dan mengadakan konspirasi baru dengan Meric dalam upaya mengusir Asaduddin Syirkuh dari Mesir dengan janji yang sama. Usahanya pun berhasil mengusir Syirkuh. Tindakan Sawar inilah yang membawa kehancuran bagi Dinasti Fatimiyah.[3]

Bermula dari sini tentara salib menjarah Mesir. Nuruddin segera mengirim tentaranya ke Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Pada akhirnya, terjadilah pertempuran antara pihak Islam dan Salib untuk merebut Mesir. Pada 564 H/1169 M, Syirkuh dan pasukannya dapat mengalahkan tentara Salib sekaligus dapat menguasai Mesir dan diangkat sebagai wazir. Syirkuh memegang jabatan hanya selama dua bulan karena meninggal dunia dan jabatannya digantikan oleh keponakannya yaitu Salahuddin al-Ayyubi.[4] Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564 H/1169 M, akan tetapi baru dapat menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567 H/1171 M. Dalam masa tiga tahun itu, ia telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui kekhalifahan Daulah Fatimiyah.[5]

Perlawanan Sultan Ismail Malik Syah

Periode kedua atau periode orang-orang Syiria (1174-1186) mulai dengan wafatnya Nuruddin dan digantikan oleh anaknya Sultan Ismail Malik Syah yang masih berusia belia, sehingga amir-amirnya saling berebut pengaruh yang menyebabkan timbulnya krisis politik internal. Kondisi demikian ini memudahkan bagi pasukan Salib untuk menyerang Damaskus dan menundukannya. Setelah beberapa lama tampillah Salahuddin berjuang mengamankan Damaskus dari pendudukan pasukan Salib. Lantaran hasutan Gumusytag, sang sultan belia Malik Syah menaruh kemarahan terhadap sikap Salahuddin ini sehingga menimbulkan konflik antara keduanya. Sultan Malik Syah menghasut masyarakat Alleppo berperang melawan Salahuddin, Kekuatan Malik Syah di Alleppo dikalahkan oleh pasukan Salahuddin. Merasa tidak ada pilihan lain, Sultan Malik Syah meminta bantuan pasukan Salib. Semenjak kemenangan melawan pasukan Salib di Alleppo ini, terbukalah jalan bagi tugas dan perjuangan Salahuddin di masa-masa mendatang sehingga ia berhasil mencapai kedudukan sultan. Semenjak tahun 578 H/1182 M, Kesultanan Saljuk di pusat mengakui kedudukan Salahuddin sebagai Sultan.[6]

Tantangan yang dihadapi Dinasti Ayyubiyah

Pada Sultan yang pertama sekaligus pendiri dinasti, tantangan yang dihadapi Salahuddin pasca menjadi Sultan adalah memusatkan perhatiannya untuk menyerang Yerusalem, yang mana ribuan rakyat muslim dibantai oleh pasukan Salib-Kristen. Setelah mendekati kota ini, Salahuddin segera menyampaikan perintah agar seluruh pasukan Salib di Yerussalem menyerah. Perintah Salahuddin sama sekali tidak dihiraukan, sehingga Salahuddin berjanji untuk membalas dendam atas pembantaian ribuan warga muslim. Setelah terjadi beberapa kali pengepungan, pasukan salib kehilangan semangat tempurnya dan memohon damai dengan Salahuddin. Karena kemurahan hati sang sultan permintaan damai pun diterima. Akhirnya Yerussalem dapat direbut kembali dan warga muslim dan non muslim hidup berdampingan dengan damai.[7]

Jatuhnya Yerusalem dalam kekuasaan kaum Muslimin, menimbulkan keprihatinan besar kalangan tokoh-tokoh Kristen. Seluruh penguasa negeri Kristen di Eropa berusaha menggerakkan pasukan Salib lagi. Ribuan pasukan Kristen berbondong-bondong menuju Tyre untuk berjuang mengembalikan kekuasaan mereka yang hilang. Seluruh kekuatan salib berkumpul di Tyre, mereka segera bergerak mengepung Acre.[8]

Segera Salahuddin menyusun strategi untuk menghadapi pasukan Salib. Ia menetapkan strategi bertahan di dalam negeri dengan mengabaikan saran para amir dan mengambil sikap yang kurang tepat sehingga Salahuddin terdesak dan kepayahan oleh pasukan Salib dan akhirnya Salahuddin mengajukan tawaran damai. Namun sang raja yang tidak mempunyai balas budi ini menolak tawaran Salahuddin dan membantai pasukan muslim secara kejam.[9]

Setelah berhasil merebut Acre, pasukan Salib bergerak menuju Ascalon dipimpin oleh Jenderal Richard. Bersama dengan itu, Salahuddin sedang mengarahkan operasi pasukannya dan tiba di Ascalon lebih awal. Ketika tiba di Ascalon, Richard mendapatkan kota ini sudah dikuasai pasukan Salahuddin. Merasa tidak berdaya mengepung kota ini, Richard mengirimkan delegasi perdamaian menghadap Salahuddin, atas kemurahan hati sang sultan tawaran damai tersebut diterima dengan kesepakatan bahwa antara pihak muslim dan pasukan Salib, wilayah kedua belah pihak saling tidak menyerang dan menjamin keamanan. Jadi perjanjian damai yang menghasilkan kesepakatan di atas mengakhiri perang Salib ketiga. Kemudian Salahuddin meninggal pada tahun 1193.[10]

Sebelum wafat, Salahuddin memberikan berbagai bagian dari Dinasti Ayyubiyah kepada berbagai anggota keluarganya. Anaknya yang tertua, al-Malik al-Afdal, menguasai Damaskus dan Syam Selatan. Anaknya yang lain, al-Aziz, menguasai Mesir, dan al-Zahir menguasai Aleppo. Saudara Salahuddin, al-Adil, menguasai Irak dan Diyarbakr. Sementara itu keluarganya yang lain menguasai Hama, Balbek dan Yaman.[11]

Setelah Salahuddin wafat, kendali Dinasti Ayyubiyah dipegang al-Aziz Imaduddin. Tetapi al-Aziz berkonflik melawan saudaranya, al-Afdal, penguasa Damaskus. Jabatan al-Afdal lalu diberikan kapada al-Adil Syaifuddin Mahmud (saudara Salahuddin). Pada tahun 595 H, al-Aziz wafat, kemudian kekuasaan berpindah ke tangan putranya, al-Manshur. Al-Adil segera datang ke Mesir mengalahkan dan melengserkan al-Manshur ibn al-Aziz yang masih berusia belia dari kursi kesultanan dan menggantikannya sebagai sultan. Pada tahun 615 H, Sultan al-Adil wafat dan digantikan oleh anaknya, Sultan al-Kamil. Pada masa awal kekuasaan al-Kamil, serangan Salib kelima dilancarkan guna memenuhi seruan Paus Innocent III. Serangan diarahkan ke Mesir. Setelah mengalami pertempuran yang sengit, pasukan Salib bisa menguasai Dimyath dengan mengandalkan jumlah, pasukan Salib terus bergerak dan berniat menyerang Kairo pada 619 H. Karena kesalahan mereka dalam mengambil rute, kapal-kapal perang pasukan Islam mengambil posisi di sungai Nil untuk menutup jalan mereka. Alhasil, pasukan Salib terkepung dan terpaksa mengajukan tawaran damai. Al-Kamil bersedia menerima, tapi dengan syarat mereka harus memberikan jaminan bahwa Dimyath kembali ke tangan umat Islam. Akhirnya kota Dimyath dapat direbut kembali.[12]

Pada 625 H, Federick II (Raja Jerman) mengiginkan kekuasaan atas Baitul Maqdis. Di lain tempat, Sultan al-Kamil terlibat konflik sengit dengan saudaranya, al-Asyraf, dan hampir berujung pada perang saudara. Melihat posisinya yang semakin kritis, al-Kamil menekan perjanjian dengan melepaskan Baitul Maqdis, membersihkan jalan bagi kaum Kristen menuju Akkad dan Haifa, dan membebaskan seluruh kaum Franka yang ditawan. Dengan gencatan senjata yang yang dibuatnya bersama Federick II, al-Kamil menyatukan kekuatan untuk menyingkirkan para penguasa daerah-daerah sekitar, al-Kamil berhasil. Tidak ada lagi keluarga Ayyub yang berani menentangnya dan tidak ada pasukan Salib yang memeranginya.[13]

Dinasti ini berkuasa selama 90 tahun, mempunyai sepuluh orang sultan:

  1. Salahuddin Yusuf (1174-1193)
  2. Al-Aziz ibn Salahuddin (1193-1198)
  3. Mansur ibn al-Aziz (1198-1199)
  4. Al-Adil I Ahmad ibn Ayyub (1199-1218)
  5. Al-Kamil I (1218-1238)
  6. Al-Adil II (1238-1240)
  7. Malik al-Shalih Najmuddin (1240-1249)
  8. Muazzam Tauransyah ibn Shalih (1249)
  9. Syajarah al-Durr, istri Malik Saleh (1249)
  10. Asyraf ibn Yusuf (1249-1250)[14]

Kemajuan Peradaban Pada Dinasti Ayyubiyah

  1. Bidang Pendidikan dan Arsitektur

Penguasa Ayyubiyyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan. Ini ditandai dengan dibangunnya Madrasah al-Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai pusat pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga madrasah. Selama pemerintahannya, masyarakat Hijaz juga bisa merasakan pendidikan di sekolah yang seperti madrasah gagasan Salahuddin. Di samping mendirikan sejumlah sekolah, Salahuddin juga membangun dua rumah sakit di Kairo. Sedangkan dalam bidang arsitektur dapat dilihat pada monumen bangsa Arab, bangunan masjid di Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai gereja.

  1. Bidang Filsafat dan Keilmuan

Bukti konkritnya adalah Adelard Of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang kedokteran telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.

Kemajuan di bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain, dan pabrik gelas. Di samping itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan di bidang industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.

Selain memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, Salahuddin juga memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Ia juga membina kekuatan militer yang tangguh dan perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa muslim di kawasan lain. Ia juga membangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam. Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika.

Dalam hal perekonomian, dinasti bekerja sama dengan penguasa muslim di wilayah lain. Di samping itu, ia juga menggalakkan perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Pada bidang perdagangan, dinasti ini membawa pengaruh bagi Eropa dan negara-negara yang dikuasainya. Di Eropa terdapat perdagangan arikultur dan industri. Hal ini menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu dunia ekonomi dan perdangan sudah menggunakan sistem kredit bank.[15]

Kemunduran Dinasti Ayyubiyah

Setelah al-Kamil meninggal pada tahun 635 H/1238 M, Dinasti Ayyubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan internal. Serangan Salib keenam dapat diatasi dan pemimpinnya, Raja Perancis St Louis, ditangkap. Namun segera setelah meninggalnya al-Salih, pasukan budak Bahri Turki merebut kekuasaan di Mesir dan menjadikan pemimpin mereka, Aybak, mula-mula sebagai Atabeg dan kemudian sebagai Sultan pada tahun 648 H/1250 M.[16]

            Pada pemerintahan al-Malik al-Salih, lebih dari 100.000 orang pasukan Salib yang dipimpin Louis IX bertolak menuju Dimyath dan berhasil menguasainya. Saat itu, al-Malik al-Salih tengah sakit keras. Istrinya Syajarah al-Durr, mengirim surat kepada anaknya, (Turansyah) agar pulang ke Mesir. Ketika al-Malik al-Salih wafat, Syajarah al-Durr merahasiakan dan menerbitkan sejumlah perintah resmi dengan memalsukan tanda tangan al-Malik. Ia lalu mengumpulkan semua petinggi militer, pemerintahan untuk segera membaiat Turansyah. Setelah kokoh duduk di kursi kekuasaan, dan berhasil mengusir pasukan Salib, Turansyah memaksa ibunya untuk menyerahkan harta peninggalan al-Malik al-Salih. Turansyah juga mengancam eksistensi kaum Mamalik, ini membuat kaum Mamalik marah besar dan membunuhnya setelah tujuh tahun menjabat. Mereka lalu menunjuk Syajarah al-Durr sebagai pengganti Turansyah. Namun kekuasaan Syajarah hanya berlangsung tiga bulan setelah ia mengudurkan diri secara suka rela. Kaum Mamalik sepakat mengangkat al-Asyraf Musa sebagai pengganti baru. Waktu itu al-Asyraf masih berumur delapan tahun. Oleh karena itu, mereka menunjuk Izzudin Aybak al-Turkumani menjadi wakil al-Asyraf untuk menjalankan urusan pemerintahan. Pada kemudian hari, Izzudin Aybak menikahi Syajarah dan tak lama kemudian Izzudin Aybak menggulingkan al-Asyraf dan merebut kekuasaan pusat. Dengan demikian, berakhirlah era Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Tak lama kemudian Dinasti Ayyubiyah di Syam juga tunduk di bawah kekuasaan kaum Mamalik.[17]

PENUTUP

Ayyubiyah berasal dari keturunan Kurdi dari Azarbaijan yang melakukan migrasi ke Irak. Pendiri pemerintahan ini adalah Salahuddin al-Ayyubi. lahir di takriet 532 H/1137 M. dan meninggal 589 H/1193 M. pada perjuangan dan proses berdirinya Dinasti Ayyubiyah ini meliputi faktor intern dan ekstern. Faktor intern antara lain perjuangan Salahuddin sebagai seorang panglima dari Nuruddin yang berhasil menakhlukkan Dinasti Fatimiyah kemuian berhasil mengalahkan perlawanan dari anak Nuruddin yaitu Sultan Ismail Malik Syah. Periode berikutnya masuk dalam permasalahan ekstern ketika Salahuddin menjadi seorang Sultan. Kemuian yaitu perang Salib atas perebutan Yerussalem yang dimenangkan oleh pasukan Salahuddin.

          Tantangan setip Sultan memang berbeda-beda namun ada tiga tokoh Sultan yang menonjol pada Dinasti Ayyubiyah yaitu Salahuddin al-Ayyubi, al-Adil I, dan al-Kamil. Pada masanya banyak memberikan pengaruh besar terhadap perang salib serta perkembangan dan kemajuan peradaban islam pada bidang pendidikan dan arsitektur, ilmu pengetahuan, filsafat, sastra, pertanian dan industri hingga bidang militer.

Adapun penyebab dari keruntuhan Dinasti Ayyubiyyah adalah selain dari faktor intern juga karena faktor ekstern. Faktor intern dari keruntuhan Ayyubiyyah ini adalah adanya perselisiah dikalangan keluarga yang memperebutkan wilayah kekuasaan. Sedangkan faktor ekstern keruntuhan Ayyubiyyah adalah karena serangan bangsa Mongol dan Dinasti Mamluk.

DAFTAR PUSTAKA

 Abdullah, dkk.Taufik.Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Jilid II. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Ali, K. Sejarah Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996.

Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media, 2013.

Bosworth,C. E.Dinasti-Dinasti Islam.terj. Ilyas Hasan. Mizan: Bandung, 1993.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Karim, M. Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Publiser.2009.

Ibrahim, Qasim dan Muhammad A. Saleh. Buku Pintar Sejarah Islam. Jakarta: Zaman, 2014.

Susanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Prenada Media, 2004.

[1] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media, 2013), hlm. 295-296

[2] Philip K. Hitti, History Of The Arabs (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 824

[3] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta:Bagaskara, 2014), hlm. 208

[4] Ibid.,

[5] Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopeia Tematis Dunia Islam Jilid II (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 137

[6] K. Ali, Sejarah Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1996), hlm. 146

[7] Ibid.,

[8] Ibid.,

[9] Ibid.,

[10]Ibid.,

[11] Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopeia.., hlm. 138

[12] Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar Sejarah Islam (Jakarta: Zaman, 2014), hlm. 622-625

[13]Ibid. ,hlm. 626-627

[14] Musyrifah Susanto, Sejarah Islam Klasik (Jakarta: Prenada Meia, 2004), hlm. 146

[15] Ibid.,

[16] C. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti Islam, terj. Ilyas Hasan, (Mizan: Bandung, 1993), hlm. 87

[17] Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh, Buku Pintar.., hlm, 628-630

Similar Posts:

  • Konflik Utsmani dan Safawiyah Abad XVI-XVIII M.
  • Dinasti Tughluq di Gujarat (1320-1394)
  • Dinasti Mamluk (1250-1517 M)