Berlakunya hukum rimba siapa yang kuat akan menang dan menguasai yang lemah disebabkan oleh

Berlakunya hukum rimba siapa yang kuat akan menang dan menguasai yang lemah disebabkan oleh
Refleksi Idul Fitri Mohammad Nurfatoni: Kita Disentil Allah agar Tak Lupa Diri. (Dketsa foto oleh Atho’ Khoironi/PWMU.CO)

Refleksi Idul Fitri: Kita Disentil Allah agar Tak Lupa Diri, ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO.

PWMU.CO – Gemuruh takbir, tahlil, dan tahmid yang dikumandangkan umat Islam sejagat pada Idul Fitri, membahana ke seluruh penjuru semesta raya. Bersenyawa dan bersahut-sahutan dengan tasbihnya seluruh komponen semesta yang lain. Malaikat, gunung, petir, burung, pohon dan seluruh bagian semesta lainnya—baik makrokosmos, maupun mikrokosmos seperti bakteri, virus, jamur—selalu bertasbih kepada Allah.

“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, yang Maha Suci, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Jumuah 1).

Takbir, tahlil, dan tahmid adalah ungkapan akan keagungan, ketinggian, kesucian, kebesaran, kekuasaan, dan keesaan Allah, sekaligus menjadi pengakuan atas kekerdilan, kelemahan, dan keringkihan kita.

Kita hanyalah bagian kecil dari semesta kebesaran Allah. Jangankan kita, bumi tempat berpijak ini hanyalah bagian kecil dari semesta yang luasnya tak terjangkau nalar. Diperkirakan, tidak kurang dari 250 miliar gugusan bima sakti yang ada di semesta ini.

Manusia Superingkih

Bukan hanya kecil, manusia juga lemah dan ringkih di hadapan Allah. Di balik kekar otot-ototnya, berjajar pori-pori yang bisa tembus oleh gigitan nyamuk Aeides Aegepty yang membawa virus dengue (demam berdarah). Ternyata manusia yang kekar bisa ambruk olehnya.Bahkan virus SARS CoV-2 yang berukuran mikro itu, belakangan ini mampu menghentikan nafas dunia dengan pandemi Covid19-nya. Jantung dunia seolah terhenti sementara oleh keganasannya. Semua tatanan kehidupan mampu diporak-porandakan: agama, sosial, ekonom, dan budaya. Manusia yang cemerlang dengan karya-karya yang spektakuler, kadang lupa bahwa ada potensi ringkih dalam dirinya, juga dalam karya-karyanya. Pesawat terbang yang menjadi representasi kecemerlangan manusia untuk mengatasi kelemahaan tak bisa terbang, bukan tanpa cela. Pesawat Boeing yang gagah itu berkali-kali jatuh tersudut. Juga kapal karam dan kereta api bertabarakan.Manusia memang lemah. Sebutir debu cukup membuat mata kita kesakitan. Sebulir batu membuat ginjal tergelepar. Sebiji paku karat menyebabkan sekarat. Begitulah manusia, di balik gagah tubuhnya, juga ayu parasnya, terselip bau busuk kotorannya. Di balik citra diri yang kokoh, ternyata tersimpan potensi rapuh.Jadi sesungguhnya manusia itu super-ringkih di hadapan semesta kekuasaan Allah. Maka, bagi yang beriman, tidak ada ruang dan waktu bagi berseminya rasa angkuh dalam dirinya. Sebab tiada daya dan kekuatan, kecuali dari Allah.Di tengah keringkihan itulah, manusia butuh pegangan, butuh tempat bergantung dan berlindung. Yang semua itu hanya bisa diserahkan kepada Allah yang Akbar, sebab hanya Allah-lah tempat bergantung yang sejati, Allahu ash-shomad.

Adalah sebuah keanehan jika ada manusia yang bersandar pada sesama manusia; bergantung sepenuhnya pada harta, ilmu, atau teknologi. Adalah sebuah keganjilan jika ada mansuia yang bergantung pada komponen alam lainnya, baik yang kasat mata seperti pohon-pohonan tua maupun yang tak tampak seperti jin. Sebab mereka sama-sama tak berdaya di hadapan Allah.

Antara Qadha Tasyri’i dan Qadha Takwini

Untuk menunjukkan kemahabesaran-Nya, Allah menurunkan ayat-ayatnya, baik yang tertulis dalam Kitab Suci maupun yang tak tertulis di alam semesta. Kedua ayat-ayat ini saling berkaitan, integral, dan tak bisa dipisahkan.

Ayat-ayat yang tertulis disebut pula qadha tasyri’i yang memiliki ciri yang khas. Di antaranya kita tidak bisa mengubahnya. Terhadap hukum-hukum Allah yang telah disyariatkan, kita tidak bisa mengubahnya. Namun begitu kita diberi kebebasan untuk taat atau melanggarnya.

Ambil contoh hukum pernikahan. Dapatkan kita mengganti hukum pernikahan dengan perkawinan sejenis? Tentu tidak bisa. Hukum pernikahan sudah qath’i. Tidak bisa diubah misalnya karena dianggap sudah ketinggalan zaman. Tapi mari kita perhatikan, banyak yang taat untuk mengikuti hukum itu, tapi banyak pula yang melanggarnya.

Sementara itu, ayat-ayat tak tertulis disebut qadha takwini. Kebalikan dari qadha tasyri’i, kita tidak bisa melanggar qadha takwini. Kita terseret oleh ketentuan ini, mau tidak mau. Tidak ada pilihan taat atau melanggar. Hukum-hukum Allah pada alam semesta sudah pasti, terukur, dan objektif.

Misalnya api itu membakar atau air akan mendidih dalam suhu 100 derajat celsius dalam tekanan 1 atm. Namun begitu, kita bisa “memengaruhi” Allah untuk mengubah qadha takwini.

Ketataan atau pelangaran kita terhadap qadha tasyri’ akan memengaruhi baik tidaknya qadha takwini dalam kehidupan kita. Inilah yang kita imani dari al-Quran:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (at-Taubah 96)

Beriman dan bertakwa adalah cermin ketaatan pada qadha tasyri’i, yang akan berbuah pada qadha takwini yang baik berupa limpahan berkah dari langit dan bumi.

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'” (Ibrahim 7)

Bersyukur adalah tanda ketaatan pada qadhah tasryi’i, dia akan menyebabkan tambahan nikmat. Sebaliknya kufur adalah pelanggaran terhadap qadha tasyri’i, dan dia akan menyebabkan datangnya adzab.

Sejarah Kehancuran Peradaban Manusia

Nah, mari kita perhatikan bagaimana sejarah peradaban umat-umat terdahulu yang hancur oleh pelanggaran-pelanggaran terhadap qadha tasyri’i. Kaum Nabi Luth yang melangar syariat pernikahan dengan melakukan perkawinan sejenis, maka Allah mengadzab mereka.“Sesungguhnya Kami akan menurunkan azab dari langit atas penduduk kota ini karena mereka berbuat fasik.” (al-Ankabut/29:34)Demikian juga kaum Madyan yang Allah telah mengutus Nabi Syu’aib. Tetapi karena mereka mendustakannya, maka Allah memberi adzab berupa gempa.“Maka mereka mendustakan Syu’aib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka.” (al-Ankabut 37).

Kaum Aad dan Tsamut juga mengalami nasib yang serupa. Mereka melanggar qadha tasyri’i, mereka melanggar hukum-hukum syariat, maka Allah akan mengubah qadha takwini, yaitu hukum-hukumnya di alam, yang semula serasi menjadi bencana.

Tentu ini menjadi pelajaran bagi kaum beriman, bahwa ketataan atau pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah yang tertulis dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw dalam as-Sunnah akan sangat berpengaruh pada baik buruknya kehidupan kita.

Dalam perspektif ini, kita bisa berkaca diri, jangan-jangan pandemi Civid-19 yang melumpuhkan dunia ini adalah akibat ketidaktaatan kita pada qadha tasyr’i.

Ingat Kesejatian Diri

Di sinilah pentingnya ditegakkan dan dijalankannya nilai-nlai Islam dalam kehidupan baik pribadi, keluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bertatanegara.Dengan tuntunan melantunkan kalimat-kalimat takbir, tahlil, dan tahmid sesungguhnya kita pun disadarkan untuk kembali ingat kepada Allah. Sebab dengan mengingat Allah, kita menjadi ingat terhadap diri kita sendiri. Sebaliknya jika kita melupakan Allah, maka Allah pun akan lupa pada kita.“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (at-Taubah 67)Dalam rentang perjalanan waktu selama setahun—akibat kecintaan terhadap dunia atau kelelahan dalam mempertahankan hidup—kita mungkin lupa kepada Allah. Karena lupa kepada Allah, maka Allah membuat kita lupa pada diri sendiri, yaitu lupa pada sisi kemanusiaan kita.Lupa pada diri sendiri itu membuat kita kadang berubah menjadi “binatang buas”, yang memakan segala. Jika jadi penguasa maka kita akan “memakan” rakyat dengan kekuasaan politik.

Jika jadi pengusaha kita akan “memakan” rakyat dengan kekuatan monopoli; jika jadi pejabat kita akan “memakan” rakyat dengan perilaku korupsi. Jika jadi buzzer, maka kita akan memangsa siapapun yang tak sejalan dengan ide dan afliasi politik kita.

Sementara pola makan-memakan rakyat yang lemah dan tak berdaya adalah sifat kebinatangan yang hanya mengenal hukum rimba: siapa yang kuat dialah yang menang.

Lupa pada diri sendiri kadang membuat manusia menjadi binatang tanpa nilai. Makan dan minum tanpa terhambat rambu halal-haram. Atau apapun tindakan bebas nilai lainnya.

Idul Fitri yang Membebaskan

Maka Idul Fitri datang untuk membebaskan manusia dari segala belenggu yang mengungkung kemanusiaannya. Apakah itu egoisme, kebendaan, atau kekuasaan. Idul Fitri mengingatkan bahwa semua itu pada dasarnya tidak bermakna apa-apa. Tidak merupakan sesuatu yang besar, tidak pula sesuatu yang agung, bukan segalanya, dan bukan yang terpenting. Kebesaran, keagungan, kesucian, dan kekuasaan mutlak, hanyalah milik Allah.Oleh karena itu sesungguhnya yang berhak mengatur, menjajah, menekan, dan memain-mainkan kita—baik dalam arti kiasan maupun sesungguhnya—hanyalah Allah. Sebaliknya hubungan kita dengan yang lain akibat relasi harta, pangkat, jabatan, atau gender seperti: penguasa-rakyat, atasan-bawahan, majikan-buruh, tuan-pembantu, pedagang-pembeli, pria-wanita adalah hubungan kemanusiaan dan menajemen belaka.

Dalam relasi tersebut tidak lagi berlaku hukum tekan-menekan, mati-mematikan, kuasa-menguasai, atau hambat-menghambat. Sebab itu semua adalah ciri hukum rimba atau hak sewajarnya relasi Tuhan-manusia.

Makluk Pencari Kebenaran

Dengan terbebas dari segala belenggu anti-kemanusiaan tersebut, manusia akan menemukan jati dirinya masing-masing. Penemuan jati diri yang terpenting pada Idul Fitri adalah bahwa manusia itu makhluk (pencari) kebenaran.Seperti kita ketahui, manusia lahir dalam keadaan suci, tanpa dosa. Namun perlu dicatat, bahwa lahir tanpa dosa itu bukan berarti sama dengan kertas putih kosong, sebab sesungguhnya kelahiran manusia membawa potensi kebenaran. Itu terjadi setelah manusia pada suatu kesempatan asali penciptaan, pernah mengadakan perjanjian dengan Allah tentang ketuhanan Allah.“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”, (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (al-A’raf 172)Pengakuan terhadap Allah adalah puncak dari seluruh kebenaran, sehingga seluruh kebenaran itu sendiri juga berasal dari Allah.“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (al-Baqarah 147).

Karena itu kembalinya manusia pada kesejatiannya disebut Idul Fitri (id berarti kembali, fithr berarti kesucian, agama yang benar, atau asal kejadian). Dengan demikian, maka Idul Fitri mengajarkan manusia untuk melepaskan dirinya dari kejahiliahan, kedunguan, kebegoan, atau kebodohan.

Idul Fitri: Keluar dari Sistem Gelap

Implikasinya, ldul Fitri menuntut keberanian kita untuk menolak kebatilan, melawan penipuan, menentang manipulasi, dan melawan pusat-pusat struktur pembodohan. Lebih jauh Idul Fitri mengajak kita untuk keluar dari sistem yang gelap menuju sistem yang jelas.“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah 257)Idul Fitri, menuntut kita untuk membebaskan diri dari kungkungan sistem yang bobrok, sistem yang carut-marut, sistem yang tidak adil, sistem yang penuh dengan kesewenang-wenangan; sistem yang dibangun atas dasar nafsu kekuasaan, dan bukannya atas dasar kebenaran. Idul Fitri mengajak membangun sistem yang benar, sistem yang adil, sistem yang demokratis, sistem yang membuka peluang selebar-lebarnya untuk dilaksanakannya seluruh hukum kebenaran.Selamat Idul Fitri. Pesan penting Idul Fitri: bebaskan segala belenggu anti-kemanusiaan. Suarakan selalu kebenaran! Semoga Allah menerima segala amal kebajikan kita.

Taqaballahu minna waminkum.

Doa Ampunan

Akhirnya marilah kita berdoa mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosa kita, mengangkat kita pada derajat kemuliaan takwa.“Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya, beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”Ya Tuhan Kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.

Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” (*)

Materi ini pernah disampaikan pada Khutbah Idul Fitri 1430 di Lapangan Masjid Al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.