Beramal hanya karena ingin mendapat pujian dari orang lain berarti

Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Syarah

Riya’ berasal dari kata رَاءى – يُرَائِي – مُرَاءاةً ، رِئَاء ، رِيَاءً yang artinya memperlihatkan. Apa yang diperlihatkan? Yaitu memperlihatkan amal saleh kepada orang lain agar mendapat pujian atau pengakuan mereka. ([1])

Hukum-hukum yang berkaitan dengan riya’

A. Hukum riya’

Riya’ hukumnya dosa besar. Riya’ disebut sebagai dosa besar ditinjau dari 2 sisi :

Pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut riya’ dengan syirik. Kita tahu bahwa syirik merupakan dosa besar, baik dia syirik kecil atau syirik besar. Maka semua yang dinamakan dengan syirik atau kekufuran adalah dosa besar.

Kedua, Hadits-hadits yang mengancam orang yang riya’ dengan neraka. Di antara hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diingatkan kepadanya kenikmatan-Nya hingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat tersebut? Orang tersebut menjawab: ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid’. Allah berfirman: ‘Kamu berdusta, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani, dan kamu telah menyandang gelar tersebut’. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya diseret di atas wajahnya, kemudian dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang ‘alim yang belajar Alquran dan mengajarkannya, lalu diingatkan kepadanya kenikmatan hingga ia mengingatnya dengan jelas, maka Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat dengan nikmat tersebut?’ Orang tersebut menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Alquran demi Engkau’. Allah berfirman: ‘Kamu berdusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Alquran agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kamu telah dikatakan seperti itu’. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia diseret di atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang di beri keluasan rezeki oleh Allah dengan semua jenis rezeki, lalu diingatkan kepadanya kenikmatan tersebut hingga ia mengingatnya dengan jelas. Allah bertanya: ‘Apa yang telah kamu perbuat dengan nikmat tersebut?’ Orang tersebut menjawab, ‘Saya tidak meninggalkan jalan apa pun yang Engkau suka melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan tersebut’. Allah berfirman: ‘Kamu berdusta, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kamu telah dikatakan seperti itu’. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia diseret di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.”([2])

Ini dalil bahwasanya ketiga jenis orang yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang riya’ dengan amalan-amalan mereka, akan tetapi kenyataannya amalan mereka tersebut menjerumuskan mereka ke dalam neraka Jahannam. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa riya’ adalah dosa besar. Dan akan kita sebutkan pula yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam khawatir akan menimpa umatnya adalah syirik kecil yang di antaranya adalah riya’.

B. Amalan yang terkontaminasi dengan riya’

Untuk mengetahui hukum-hukum berkaitan dengan amalan yang terkontaminasi dengan riya’, maka kita bisa membaginya dengan tiga bentuk,

1, Riya’ sejak awal

Ada orang yang sejak awal sebelum beramal sudah meniatkan untuk riya’. Di antaranya mungkin orang yang berangkat ke masjid karena ingin riya’, ingin jadi imam karena riya’, dan yang lainnya. Orang yang riya’ sejak awal, maka tidak ada khilaf di kalangan para ulama bahwa amalnya tersebut tertolak dan tidak ada pahala yang didapatkan sama sekali, bahkan orang tersebut mendapatkan dosa. ([3])

Oleh karena itu, bagian yang paling menyedihkan dari orang yang riya’ sejak awal adalah mereka tidak hanya sekadar tidak mendapat pahala, akan tetapi lebih dari itu seseorang yang riya’ sejak awal juga mendapatkan dosa dari riya’ tersebut. Andai kata riya’ ini hanya sekadar tidak mendatangkan pahala maka akan lebih mudah urusannya, akan tetapi keyantaannya riya’ ini juga mendatangkan dosa.

Ibnul Qoyyim membagi riya’ yang datang di awal amalan menjadi dua:

  • Jika ibadah itu adalah amalan yang akhirnya dibangun di atas yang awalnya, dan tidak mungkin bisa dikatakan sah, kecuali jika awalnya dan akhirnya sah, maka batallah semua amalannya.
    Contoh : orang shalat subuh karena riya’, dan di rakaat kedua ia sadar dan merubah niatnya, maka shalat subuhnya tidak sah sama sekali. Karena tidak mungkin bisa dipisah antara rakaat pertamanya dari rakaat keduanya, dan begitu juga sebaliknya.
  • Jika amalan itu tidak termasuk ibadah yang akhirnya dibangun di atas yang awalnya, dan yang belakangan bisa dikatakan sah meskipun yang awal batal. Maka yang batal adalah yang dihinggapi riya’, dan yang tidak dihinggapi riya dianggap sah. ([4])

2. Riya’ yang muncul di tengah-tengah beramal([5])

Orang yang beramal, kemudian di tengah-tengah amalannya muncul sifat riya’, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah riya’ tersebut berhasil diusir, dan kemungkinan kedua adalah dia menikmati riya’ tersebut hingga selesai beramal.

Sebuah contoh, ada orang yang berhaji yang awalnya ikhlas, akan tetapi kemudian di pertengahan ibadah haji dia pun riya’. Maka ketika dia sadar akan hal itu, dan dia memilih untuk mengusir riya’ tersebut, berhasil atau tidak dia dalam mengusir riya’ tersebut maka dia tetap mendapat pahala karena dia telah berusaha. Bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)

Akan tetapi yang menjadi masalah adalah ketika riya’ di tengah-tengah amalan itu dia biarkan terus ada hingga selesai ibadah yang dia lakukan. Ibnu Rajab Al-Hambali menyebutkan bahwa ada dua pendapat mengenai hukum orang yang seperti ini. ([6]) Pendapat pertama dipilih oleh Imam Ahmad dan Ibnu Jarir Ath-Thabari yang dinukil oleh Hasan Al-Bashri rahimahumullah bahwasanya orang yang membiarkan riya’ terus ada hingga ibadah selesai tetap mendapatkan pahala karena yang menjadi patokan adalah niat awal seseorang dalam ibadah. Pendapat kedua menyebutkan bahwa hukumnya tergantung jenis amal tersebut, jika amal tersebut merupakan satu kesatuan, maka riya’ yang muncul di tengah-tengah akan menyebabkan ibadah tersebut batal dan tidak berpahala. Contoh dalam hal ini adalah shalat, jika riya’ muncul di dalam rakaat ketiga atau, kemudian dia biarkan riya’ hingga ibadahnya selesai maka tetap saja seluruh pahala shalatnya gugur. Akan tetapi jika amalan tersebut bukanlah satu kesatuan, maka hanya amalan yang tercampur riya’ saja yang gugur pahalanya. Contoh dalam hal ini adalah sedekah, jika seseorang awalnya bersedekah lima ratus ribu rupiah ikhlas, kemudian bersedekah lagi satu juta rupiah dengan riya’, maka amalan yang tertolak adalah sedekah yang satu juta rupiah, adapun sedekah awal yang jumlahnya lima ratus ribu rupiah tetap berpahala karena belum terkontaminasi dengan riya’.

Wallahu a’lam tentang pendapat mana yang lebih kuat tentang menikmati riya’ atau membiarkan riya’ hingga ibadah selesai, akan tetapi kita berharap bahwa pendapat pertama yang lebih kuat, karena hal itu lebih mudah bagi kita. Namun yang lebih utama adalah seseorang harus selalu berusaha menghindarkan dirinya dari riya’, dan melawan jika riya’ tersebut muncul di tengah-tengah ibadah.

3. Riya’ yang muncul setelah beramal – sum’ah

Terkadang ada orang yang riya’ muncul di dalam dirinya setelah dia beramal. Pada dasarnya, seseorang itu tahu bahwa dirinya sedang ujub dan riya’ atau tidak. Akan tetapi karena hawa nafsu yang menguasai dirinya sehingga akhirnya membuat dia menceritakan perihal amalannya kepada orang lain, hingga akhirnya menjadi riya’. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebut rasa ingin diakui dengan sebutan syahwat yang tersembunyi. Kemudian banyak orang yang tidak bisa menahan syahwat tersebut, sehingga akhirnya dia pun menceritakan amalannya kepada orang lain.

Sebenarnya, orang yang kemudian menceritakan amalanya karena riya’ setelah amalan tersebut selesai bukanlah riya’ secara bahasa, melainkan sum’ah (memperdengarkan). Akan tetapi riya’ dan sum’ah hukumnya sama, yaitu memperlihatkan atau memperdengarkan kepada orang lain suatu amalan agar diakui atau dipuji.

Contoh, ada seseorang yang sudah selesai membangun masjid dan dia ikhlas tatkala itu, akan tetapi di kemudian hari dia bertemu dengan kawan-kawannya dan mulai menceritakan perihal amalannya dalam membangun masjid tersebut dengan niat riya’ (sumáh). Lantas bagaimana hukum amalan yang seperti ini? para ulama khilaf tentang bagaimana hukumnya, dan setidaknya terbagi menjadi dua pendapat. Pendapat pertama menyebutkan bahwa amalannya tetap berpahala, ([7]) akan tetapi sum’ah yang dia lakukan di kemudian hari itulah yang menyebabkan dosa, karena sum’ah yang dilakukan merupakan amalan tersendiri yang terpisah dengan amalan sebelumnya. Pendapat kedua menyebutkan bahwa amalan yang pernah dia lakukan tetap gugur, karena sum’ah yang dilakukan di kemudian hari itu yang menggugurkan amalnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al-Wabilush Shayyib condong kepada pendapat kedua. ([8]) Beliau menyebutkan bahwa betapa banyak amal bisa gugur meskipun bukan karena kekufuran, akan tetapi karena dosa. Contohnya adalah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 264)

Artinya, seseorang yang bersedekah kepada orang lain, kemudian menceritakan amalan sehingga menyakiti orang yang diberi sedekah, maka sebab-sebab seperti ini bisa menggugurkan pahala sedekahnya karena menyakiti orang lain. Meskipun orang tersebut sebelumnya ikhlas beramal, akan tetapi kemudian dia melakukan suatu perbuatan yang akhirnya membatalkan amalannya tersebut. Oleh karena itu, ini merupakan dalil bahwasanya dosa bisa membatalkan suatu amalan yang berkaitan dengan dosa tersebut. Contoh yang lain juga seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurat : 2)

Ayat ini menjelaskan bahwa mengangkat suara di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menggugurkan amalan seseorang. Mengangkat suara di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah perkara kekufuran, melainkan dia merupakan sebuah dosa yang ternyata bisa menggugurkan amalan-amalan seseorang sebelumnya. Demikian juga contoh dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ العَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

“Barangsiapa meninggalkan shalat ashar maka sungguh telah gugur amalannya.”([9])

Sebagian ulama menjelaskan bahwa amalan seseorang dalam suatu hari bisa gugur seluruhnya karena meninggalkan shalat ashar. Demikian pula dalam sebuah riwayat, dimana ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dikabarkan tentang jual-beli ‘inah yang dilakukan oleh seorang sahabat, maka dia mengatakan,

بِئْسَ مَا اشْتَرَيْتِ وَبِئْسَ مَا اشْتَرَى أَبْلِغِي زَيْدًا أَنَّهُ قَدْ أَبْطَلَ جِهَادَهُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ لَمْ يَتُبْ

“Sungguh tidak bagus cara engkau berjualan dan cara engkau membeli. Katakan kepada Zaid([10]), bahwa ia telah membatalkan pahala jihadnya bersama Rasulullah, kecuali kalau ia bertaubat.”([11])

Dengan dalil-dalil ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa ada dosa-dosa yang bisa menggugurkan amal seseorang sebelumnya. Oleh karena itu, Ibnul Qoyyim condong berpendapat bahwa jika seseorang telah beramal saleh dan ikhlas, lalu di kemudian hari dia riya’ atau sum’ah, maka amalannya yang sebelumnya menjadi bermasalah.

Adapun penulis lebih condong kepada pendapat kedua, yaitu bahwasanya amalan yang ikhlas itu tetap berpahala, adapun riya’ atau sum’ah yang muncul di kemudian hari itu merupakan dosa tersendiri yang tidak menggugurkan amalan sebelumnya, wallahu a’lam.

C. Hukum bertaubat dari riya’

Berkaitan hukum orang yang bertaubat dari riya’, maka yang menjadi pertanyaannya adalah apakah pahala amalnya bisa kembali? Para ulama khilaf akan hal ini. Pendapat pertama menyebutkan bahwa seseorang yang bertaubat dari riya’ tidak akan mendapatkan kembali pahala, karena pada asalnya dia tidak memiliki amal saleh, melainkan yang dia lakukan adalah riya’ yang merupakan syirik. Adapun jika dia bertaubat dari riya’ tersebut, maka yang hilang hanyalah dosanya([12]). Pendapat kedua menyebutkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kembali pahala amalnya,  dan ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah ([13]) karena dalil menunjukkan akan hal tersebut, yaitu hadits dari Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu, ketika dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang amalan yang dia lakukan ketika masih kafir. Hakim bin Hizam berkata,

أَيْ رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ أُمُورًا كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، مِنْ صَدَقَةٍ، أَوْ عَتَاقَةٍ، أَوْ صِلَةِ رَحِمٍ، أَفِيهَا أَجْرٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang beberapa perkara, berupa sedekah, atau pembebasan budak, atau silaturahmi, yang pernah aku lakukan zaman jahiliah dahulu? Apakah aku mendapatkan pahala padanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kamu masuk Islam dengan kebaikan yang kamu lakukan di masa dahulu’.”([14])

Seandainya di zaman jahiliah seseorang berzina, membunuh, dan melakukan maksiat lainnya, dan di sisi lain dia berbakti kepada orang tuanya dan berbuat baik kepada tetangganya, maka ketika dia berhijrah atau masuk Islam dosa-dosa dari maksiatnya terampuni dan kebaikannya tetap dinilai sebagai pahala. Kalau Hakim bin Hizam saja masih mendapatkan kembali amal kebaikannya setelah masuk Islam (bertaubat) meskipun dilakukan dalam keadaan berbuat syirik besar, maka tentu riya’ yang merupakan syirik kecil bisa saja mendapatkan kembali pahalanya jika dia bertaubat.

Wallahu a’lam bishshawwab tentang pendapat mana yang lebih kuat. Intinya seseorang harus berhati-hati agar jangan sampai terjatuh dalam riya’. Jika sekiranya seseorang terjatuh dalam riya’, maka dia tetap harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

D. Perkara yang dikira riya’ akan tetapi bukan riya’

Beberapa perkara yang dikira riya’ oleh kebanyakan orang namun hakikatnya bukan riya’ di antaranya adalah,

  1. Seseorang yang dipuji karena ketahuan amalannya oleh orang lain

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya oleh seseorang tentang pujian orang atas amalnya. Orang tersebut berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ، وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ؟ قَالَ: تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ

“Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang beramal kebaikan lalu orang-orang pun memuji kepadanya?” Beliau menjawab: ‘Itulah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin’.”([15])

Terkadang ada orang yang beramal dengan ikhlas dan tidak mengharap pujian orang lain, akan tetapi orang-orang mengetahui amalannya dan kemudian memujinya, maka kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah kabar gembira yang Allah Subhanahu wa ta’ala segerakan bagi seorang mukmin. Yang terpenting bagi orang yang mendapat pujian tersebut adalah tidak ujub dan bangga diri dengan pujian orang lain.

  1. Menampakkan amal shaleh agar dicontoh

Perkara ini penting untuk diketahui oleh setiap orang Da’i atau seorang yang menjadi contoh oleh orang banyak. Terkadang seseorang di masjid dengan sengaja maju ke bagian depan untuk melaksanakan shalat sunnah qabliyah agar bisa dicontoh oleh orang lain, atau orang bersedekah agar untuk diikuti oleh orang lain, maka yang demikian tidak mengapa. Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk bersedekah kepada orang Arab Badui, maka tiba-tiba adalah salah seorang sahabat dari kaum Anshar memberikan sedekahnya, akhirnya para sahabat yang lain ikut bersedekah untuk Arab Badui tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang dan memuji sahabat Anshar tersebut secara tidak langsung dengan berkata,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”([16])

Oleh karena itu, memperlihatkan amalan agar orang lain mencontoh amalan tersebut bukan termasuk riya’. Akan tetapi perlu untuk diingatkan bahwa riya’ dan memperlihatkan untuk dicontoh sangat beda tipis, sehingga rawan sekali orang terjatuh untuk kedalam riya’. Maka penulis mengingatkan bahwa seseorang tidak perlu untuk memperlihatkan amalannya untuk dicontoh orang lain kecuali benar-benar terlihat padanya maslahatnya yang sangat besar.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al-Wabilush Shayyib menyebutkan bahwa orang yang telah beramal saleh dan menyembunyikan amal saleh tersebut maka dia akan mendapat pahala yang sangat besar, karena kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ خَبِيءٌ مِنْ عَمَلٍ صَالِحٍ فَلْيَفْعَلْ

“Barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk memiliki amal saleh yang tersembunyi maka lakukanlah.”([17])

Akan tetapi kemudian syaithan akan datang kepada seseorang dan membisikkannya agar menceritakan amalannya tanpa ada unsur riya’, maka ketika dia menceritakan amalannya maka pahalanya akan berkurang, dari pahala amal yang tersembunyi menjadi amalan yang tampak. Lalu kemudian, setelah beberapa waktu syaithan datang lagi kepadanya dan membisikkannya untuk menceritakan amalannya dengan maksud pamer, maka jadilah amalannya menjadi amalan yang riya’, dan sebagaimana telah kita sebutkan bahwa Ibnul Qayyim berpendapat bahwa amal yang tercampur riya’ meskipun datangnya belakangan tetap membuat pahala amal tersebut gugur. ([18]) Oleh karena itu, hendaknya kita berhati-hati dengan tipu daya syaithan, jangan kemudian semua amalan kita tampakkan, akan tetapi jika ada maslahat dalam menampakkan amalan tersebut maka tampakkanlah sebagian kecil saja.

  1. Seseorang terpacu beramal saleh karena melihat orang lain atau ada suasana baru

Contoh dalam hal ini adalah seseorang yang tidak terbiasa shalat malam di rumahnya, akan tetapi kemudian keluarga atau teman-temannya yang menginap di rumahnya dan melakukan shalat malam, akhirnya dia pun terpaku untuk ikut shalat malam. Apakah yang seperti ini adalah riya’? Wallahu a’lam bishshawwab, sungguh orang yang mengalaminya lebih mengetahui hatinya. Jika sekiranya dia berniat pamer kepada teman-temannya bahwa dia juga shalat malam meskipun itu bukan kebiasaannya, maka itu adalah riya’. Akan tetapi jika dia ikut shalat malam karena terpaku melihat teman-temannya yang shalat malam dan tidak ada unsur pamer di dalamnya, maka itu bukan
riya’, dan hal itu tidaklah mengapa.

E. Cara menghindarkan diri dari riya’

Cara-cara untuk menghindarkan diri dari riya’ antara lain:

Terdapat dua doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bisa kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar kita bisa terhindar dari sifat riya’. Doa yang pertama,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan (syirik) yang menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa (kesyirikan) yang tidak aku ketahui.”([19])

Doa yang kedua,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ، وَالْفُسُوقِ، وَالشِّقَاقِ، وَالنِّفَاقِ وَالسُّمْعَةِ، وَالرِّيَاءِ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran, kefasikan, kedurhakaan, kemunafikan, sum’ah, dan riya’.”([20])

Oleh karena itu, yang terpenting adalah kita meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dari riya’.

  1. Melatih diri untuk menyembunyikan amalan

Melatih diri untuk bisa menyembunyikan amal saleh adalah di antara cara untuk menghindarkan diri dari sifat riya’. Dan sebagaimana kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ خَبِيءٌ مِنْ عَمَلٍ صَالِحٍ فَلْيَفْعَلْ

“Barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk memiliki amal saleh yang tersembunyi maka lakukanlah.”([21])

Seseorang harus melatih dirinya untuk memiliki amalan yang tersembunyi, baik itu baktinya kepada orang tuanya, atau kebaikannya terhadap istri dan anak-anaknya, atau bentuk amalan lainnya. Abu Hazim berkata,

اكْتُمْ حَسنَاتِكَ كَمَا تَكتُمُ سَيِّئَاتِكَ

“Sembunyikan amal kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amal keburukanmu.”([22])

Sebagaimana kita berusaha untuk menutupi amal keburukan kita serapat mungkin agar tidak ada orang yang tahu, maka lakukanlah hal yang sama dengan amal kebaikan kita, sembunyikan dan jangan sampai ada orang lain yang tahu. Ketahuilah bahwa hati itu selalu gatal untuk menceritakan amalan saleh seseorang, akan tetapi jika kita berhasil untuk menepisnya maka itu adalah di antara keselamatan yang kita dapatkan terhadap amal saleh kita.

  1. Merenungkan tentang nasib orang yang riya’ di dunia dan di akhirat

Orang yang riya’ di dunia akan merasakan kesengsaraan. Mereka akhirnya menggantungkan kebahagiaannya kepada jumlah orang yang mengakui dan memuji amalannya. Semakin banyak orang yang mengetahui dan memuji amalannya, maka dia akan merasa semakin bahagia, akan tetapi jika ternyata tidak ada yang mengakui dan memuji amalnya maka dia akan merasa sengsara dan gelisah. Oleh karena itu, janganlah menggantungkan kebahagiaan kita kepada orang lain, ketahuilah bahwa kebahagiaan kita yang sesungguhnya di tangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka penulis juga mengingatkan bahwa orang yang paling bahagia adalah orang yang paling ikhlas, dimana mereka menggantungkan kebahagiaannya hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Selain itu, Nasib orang yang riya’ di akhirat adalah dibongkar aibnya dan dihinakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ

“Pada hari ditampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq : 9)

Dan kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ

“Barangsiapa yang memperdengarkan (amalannya di dunia), Allah akan memperdengarkan tentangnya (keburukannya), dan barangsiapa yang memperlihatkan, Allah akan memperlihatkan tentang dia.”([23])

Artinya orang yang di dunia senantiasa menyebut-nyebut amalannya dan riya’ dengan amalannya, maka di akhirat Allah Subhanahu wa ta’ala akan mempermalukannya. Dan tentunya hal terburuk bagi orang yang riya’ di akhirat adalah di masukkan ke dalam neraka Jahannam.

Oleh karena itu, jika seseorang merenungkan akan nasib orang yang riya’ di dunia dan di akhirat, maka dia akan menjauhi segala hal yang bisa mengantarkannya kepada riya’.

  1. Merenungkan hakikat orang yang dia harapkan pujiannya

Jika sekiranya kita beramal untuk berharap pujian dari gubernur, bupati, orang kaya, raja atau presiden, maka cobalah renungkan bahwa siapakah hakikah orang-orang tersebut. Ketahuilah bahwa hakikat orang tersebut adalah manusia seperti kita, yang bisa jadi orang-orang yang diharapkan pujiannya tersebut belum tentu lebih mulia daripada kita di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Siapa pun orang yang kita harapkan pujiannya, seandainya dia mati dan jasadnya dibiarkan begitu saja maka akan mengeluarkan bau yang busuk, apakah kita masih mau berharap pujian dari orang yang akan berakhir seperti itu? Apakah pantas kita meletakkan kepala kita di tanah hanya sekadar mendapatkan pujian dari orang seperti itu? Adapun jika akhirnya orang tersebut benar-benar memuji kita, apakah itu bermanfaat untuk kita? Ketahuilah bahwa pujian manusia satu dunia tidak akan menambah derajat kita di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala sama sekali, dan jika satu dunia mencaci kita namun ternyata kita mulia di sisi Allah, maka celaan tersebut juga tidak akan memberikan pengaruh. Maka dari itu, renungkanlah bahwa untuk apa kita mengharapkan pujian dari orang tersebut? Sungguh sangat tidak pantas jika kita beribadah hanya untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang seperti mereka (manusia).

  1. Merenungkan bahwa amal yang bermanfaat hanyalah amal yang ikhlas

Ketika kita kelak telah meninggal dunia, dan dimasukkan ke dalam liang lahad, maka tidak ada yang akan tinggal bersama kita kecuali amal ibadah kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَتْبَعُ المَيِّتَ ثَلاَثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ

“Mayat diiringi tiga perkara, dua perkara akan kembali dan yang satu terus menyertainya. Ia diiringi oleh keluarganya, hartanya dan amalnya, maka harta dan keluarganya akan kembali, sedang amalnya akan terus tetap bersamanya.”([24])

Amal saleh adalah perkara yang akan tetap menyertai kita hingga kita masuk ke alam barzakh. Maka renungkanlah, bahwa dari setiap amal saleh yang pernah kita lakukan, yang akan memberikan manfaat bagi diri kita hanyalah amal saleh yang ikhlas, adapun amalan yang tidak ikhlas maka tidak bermanfaat sama sekali bagi diri kita.

Oleh karena itu, ketika seseorang merenungkan bahwa tidak ada yang amal yang bermanfaat kecuali amal yang saleh, maka dia akan benar-benar menjaga amalnya agar tidak tercampur dengan riya’.

Matan

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa’. Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi : 110)

Syarah

Melihat dari sisi pendalilan, ayat ini dibuka dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau menjelaskan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Dan sebagaimana telah pernah kita bahas pada bab-bab sebelumnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama seperti manusia lainnya yang minum dan makan, buang hajat, tidur, sakit, pernah disihir, dan yang lainnya. Intinya, beliau adalah manusia sehingga tidak berhak untuk disembah. Bahkan dalam suatu kesempatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah lupa, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّهُ لَوْ حَدَثَ فِي الصَّلاَةِ شَيْءٌ لَنَبَّأْتُكُمْ بِهِ، وَلَكِنْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي

“Sesungguhnya bila ada sesuatu yang baru dari shalat pasti aku beritahukan kepada kalian. Akan tetapi aku ini hanyalah manusia seperti kalian yang bisa lupa sebagaimana kalian juga bisa lupa, maka jika aku terlupa ingatkanlah.”([25])

Ini menunjukkan akan sifat kemanusiaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi perbedaan beliau dengan manusia pada umumnya adalah wahyu yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya. Maka dari itu, beliau hanyalah seorang Rasul yang tidak boleh diangkat derajatnya sampai kepada derajat Tuhan, karena bagaimanapun juga beliau adalah seorang manusia.

Apa yang diwahyukan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ayat ini?

Pertama, bahwasanya sembahan manusia adalah Yang Maha Esa dan hanya Dia yang berhak disembah. Ini merupakan isyarat bahwasanya segala ibadah hanya boleh diperuntukkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. maka seseorang tidak boleh beribadah untuk mencari pujian manusia.

Kedua, bahwasanya barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah Subhanahu wa ta’ala maka hendaknya dia beramal saleh. Apa yang dimaksud dengan amal saleh? Yaitu amalan yang secara dzahir dan batinnya saleh. Amalan dzahir harus saleh artinya sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, adapun amalan batin harus saleh artinya seseorang beramal harus dengan ikhlas (beramal hanya untuk Allah).

Sebagian ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa kataلِقَاءَ رَبِّهِ  (bertemu dengan Rabb-Nya) maksudnya adalah رُؤيَةُ الله (melihat wajah Allah). ([26]) Oleh karena itu, sebagian ulama berdalil dengan ayat ini bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala bisa terlihat di surga kelak, dan ini tentunya merupakan nikmat tertinggi bagi penghuni surga kelak.

Ketiga, bahwasanya tidak boleh seseorang berbuat syirik apa pun dalam beribadah kepada Allah. Kalau kita belajar bahasa Arab, maka akan kita pahami bahwa kata يُشْرِكْ dalam ayat ini mengandung masdar إِشْرَاك yang merupakan bentuk isim nakiroh (اسْمُ النَّكِرَةِ). Sehingga jika isim nakiroh datang dalam bentuk kalimat nafyi (peniadaan) maka akan memberikan faedah keumuman yaitu mencakup semua perbuatan syirik, baik syirik akbar dan syirik ashghar. ([27]) Demikian pula dengan kata أَحَداً, kata ini juga merupakan bentuk isim nakiroh, sehingga memberikan faedah keumuman bahwa tidak boleh menyekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan siapa pun, baik itu Nabi, wali, ulama, dan makhluk lainnya.

Oleh karena itu, dari sini kita pahami bahwa ayat ini mengandung keumuman dari dua sisi: Sisi pertama adalah dilarang berbuat syirik baik besar maupun kecil, dan yang di antaranya syirik kecil adalah riya’; Sisi kedua adalah tidak boleh menyekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan siapa pun dalam peribadahan. Maka dari dua keumuman inilah yang menunjukkan dilarangnya seseorang untuk berbuat riya’.

Matan

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’ bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaraka wa ta’ala berfirman: ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, Aku akan meninggalkannya dan sekutunya’.” (HR. Muslim)

Syarah

Dalam hadits qudsi ini, Allah Subhanahu wa ta’ala membuka firman-Nya dengan menyebutkan bahwa Dia tidak butuh sekutu (partner). Berbeda dengan di dunia, sekaya apa pun orang dan sehebat apa pun dia, pasti suatu saat dia akan butuh partner. Seseorang yang ingin membangun sebuah keluarga maka akan membutuhkan pasangan, orang yang ingin membangun pekerjaan maka dia membutuhkan instansi-instansi yang bisa diajak kerja sama. Intinya, makhluk di dunia tidak bisa berdiri sendiri, kalau pun dia bisa bersendirian maka dia bisa melakukan hal tersebut hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala, Dia Maha Kaya dalam segala kondisi, dia adalah Ash-Shamad yang dimana makhluk selalu membutuhkan-Nya. Maka dari itu, Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dia sangat tidak butuh dengan sekutu (partner).

Dalam hadits ini pula, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang yang beramal dengan menyekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka barangsiapa yang beramal, kemudian dia menjadikan sekutu dalam amalannya tersebut, maka Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh terhadap amalannya, dan Allah tidak menerima amalan tersebut. Pada riwayat yang lain, akhir hadits ini datang dengan lafal,

تَرَكْتُهُ وَشَرِيكَهُ

“Aku (Allah) tinggalkan dia dengan sekutunya.”

Artinya orang yang beramal dengan menyekutukan Allah, maka Allah akan meninggalkannya bersama sekutunya tersebut, sehingga dia dipersilahkan untuk meminta pahala kepada yang dia jadikan sekutu (partner).

Beramal yang dimaksud di dalam hadits ini adalah amal secara umum, baik itu amal yang berkaitan dengan lisan, amal yang berkaitan dengan anggota tubuh, atau amal yang berkaitan dengan harta. ([28]) Amalan lisan, seseorang yang berdzikir atau baca Al-Quran hendaknya selalu ikhlas kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Amalan anggota tubuh, seseorang yang membantu orang lain, ikut dalam kegiatan bakti sosial, shalat, puasa, dan yang lainnya harus ikhlas kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Amalan yang berkaitan harta seperti sedekah, haji atau umrah, harus ikhlas. Intinya, setiap amal apa pun yang kita lakukan harus ikhlas karena Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak mengharap pujian dari siapa pun. Bahkan termasuk di dalamnya adalah berbakti kepada orang tua atau perlakuan baik terhadap istri dan anak, tidak perlu kita ceritakan hal tersebut kepada orang lain kecuali untuk memberi contoh. Maka ketika seseorang mengharapkan pujian dari orang lain meskipun sangat kecil, balasannya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala akan meninggalkan kesyirikan yang dia lakukan (tidak diterima amalnya), karena mengharap pujian dari orang lain termasuk riya’ yang merupakan syirik kecil. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ: اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, ‘Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Riya`. Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat orang-orang diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dahulu kau perlihatkan (amalmu) di dunia, lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka’.”([29])

Orang-orang yang riya’ di dunia kelak akan disuruh oleh Allah Subhanahu wa ta’ala meminta pahala dari orang yang mereka harapkan pujiannya di dunia, padahal bisa jadi mereka yang diharapkan pujiannya di dunia menjadi penghuni neraka Jahannam. Kalau saja mereka penghuni surga tidak dapat dimintai pertolongan pada hari akhirat, maka terlebih lagi jika mereka adalah penghuni neraka Jahannam.

Matan

Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri secara marfu’, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِيْ مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالْ؟ قَالُوْ: بَلَى يَا رَسُوْلُ الله، قَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ: أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

“Maukah aku kabarkan sesuatu yang lebih aku takutkan atas kalian daripada Al-Masih Ad-Dajjal?” Abu Sa’id berkata, ‘Kami berkata: Tentu’. Maka beliau bersabda, ‘Syirik tersembunyi (kecil), yaitu seseorang mengerjakan shalat dan memperbagus shalatnya dengan harapan agar ada seseorang yang memperhatikannya’.” (HR. Ibnu Makan)

Syarah

A. Nama-nama riya’

Pada riwayat yang lain, diriwayatkan dari Ibnu Khuzaimah, Ahmad, Al-Baihaqi, dan yang lainnya, dari Mahmud bin Labib radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَشِرْكَ السَّرَائِرِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا شِرْكُ السَّرَائِرِ؟ قَالَ: يَقُومُ الرَّجُلُ فَيُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ جَاهِدًا لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ النَّاسِ إِلَيْهِ، فَذَلِكَ شِرْكُ السَّرَائِرِ

“Berhati-hatilah kalian dengan syirik rahasia”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa itu syirik rahasia tersebut?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu seseorang yang mengerjakan shalat, kemudian dia memperbagus shalatnya dengan bersungguh-sungguh agar orang lain melihatnya, maka itulah syirik yang rahasia (tersembunyi)’.”([30])

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa riya’ memiliki nama yang bermacam-macam. Dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri menyebutkan bahwa riya’ dinamakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Asy-syirk Al-Khafiy, adapun hadits dari Mahmud bin Labib menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut riya’ dengan Asy-Syirk As-Saraair, dan dalam riwayat yang telah kita sebutkan pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyebut riya’ dengan Asy-Syirk Al-Ashghar.

Ini semua menunjukkan bahwa riya’ adalah penyakit yang berbahaya, sehingga seseorang harus selalu waspada agar jangan sampai terkena penyakit riya’. Adapun jika seseorang merasa bahwa dirinya terkena riya’, maka dia harus segera melawan jiwanya agar amal saleh yang dia telah kerjakan tetap bernilai. Ketahuilah bahwa syaithan tidak peduli dengan berapa banyak amal saleh yang kita lakukan, akan tetapi syaithan hanya akan berusaha membuat agar bagaimana kita tidak ikhlas sehingga amal tersebut berakhir sia-sia.

B. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih takut umatnya terkana riya’

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa beliau lebih takut riya’ menimpa kaum muslimin melebihi takut beliau daripada Al-Masih Ad-Dajjal. Sebelumnya, kita akan membahas tentang Dajjal. Kenapa Dajjal disebut الْمَسِيحِ (Al-Masih)? Al-Masih di sini bisa berarti isim fa’il atau isim maf’ul. Jika dia bermakna isim fa’il, maka artinya adalah yang berjalan di bumi dengan cepat selama empat puluh hari. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa para sahabat bertanya,

يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا لَبْثُهُ فِي الْأَرْضِ؟ قَالَ: أَرْبَعُونَ يَوْمًا، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ فَذَلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي كَسَنَةٍ، أَتَكْفِينَا فِيهِ صَلَاةُ يَوْمٍ؟ قَالَ: لَا، اقْدُرُوا لَهُ قَدْرَهُ

“Wahai Rasulullah, berapa lama ia (Dajjal) tinggal di bumi?” Rasulullah menjawab, ‘Empat puluh hari, satu hari (pertama) seperti satu tahun, satu hari (kedua) seperti satu bulan, satu hari (ketiga) seperti satu pekan dan hari-hari lainnya (berikutnya) seperti hari-hari kalian’. Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana menurut Tuan tentang satu hari yang seperti satu tahun, cukupkah bagi kami shalat sehari? Rasulullah menjawab, ‘Tidak, tapi perkirakanlah ukurannya’.”([31])

Adapun jika Al-Masih bermakna isim maf’ul, maka menjadi الْمَمْسُوْح yang artinya adalah orang yang dibutakan matanya. ([32]) Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Imam Al-Bukhari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَخْفَى عَلَيْكُمْ، إِنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ وَإِنَّ المَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ العَيْنِ اليُمْنَى

“Allah tidak samar bagi kalian, Allah tidak buta sebelah, adapun Al-Masih Ad-Dajjal buta sebelah kanan.”([33])

Intinya Dajjal akan datang kelak dengan mengaku sebagai Tuhan. Pada waktu dia akan memperlihatkan kemampuannya yang luar biasa. Kalau dia berkata kepada langit untuk menurunkan hujan maka langit akan menurunkan hujan, kalau bumi telah kering dan dia ingin agar bumi kembali hijau maka akan tumbuh pepohonan tatkala itu. Maka kalau saat ini masih banyak orang yang percaya dengan dukun-dukun, maka bagaimana lagi tatkala Dajjal yang keluar? Padahal nama Dajjal sendiri berarti dusta, karena memang dia adalah pendusta besar dan fitnah yang dia bawa sangat luar biasa. Akan tetapi ternyata dalam hadits ini menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih takut terhadap fitnah riya’ daripada fitnahnya Dajjal. Apa alasannya?

Alasan yang pertama, karena Dajjal munculnya menjelang hari kiamat yang belum tentu kita bertemu dengannya. Berbeda dengan riya’ yang bisa muncul setiap saat, selama seseorang masih bernapas dan nyawa belum dicabut oleh malaikat maut, maka selama itu pula potensi riya’ selalu ada.

Alasan yang kedua, ([34]) Dajjal memiliki fitnah yang jelas yaitu orang yang jelas beriman maka akan selamat, adapun riya’ fitnahnya samar karena bisa menimpa orang-orang yang saleh (beriman). Ketika berbicara tentang riya’, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berbicara tentang para pelaku maksiat, akan tetapi beliau berbicara tentang orang-orang saleh karena riya’ hanya menimpa orang-orang saleh.

Inilah dua sisi alasan mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mengkhawatirkan umatnya terkena riya’ daripada bertemu dengan Dajjal. Wallahu a’lam

C. Contoh riya’ yang tersembunyi

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini menyebutkan bagaimana model syirik yang tersembunyi tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّي فَيُزَيِّنُ صَلَاتَهُ، لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

“Yaitu seseorang mengerjakan shalat dan memperbagus shalatnya dengan harapan agar ada seseorang yang memperhatikannya’.

Artinya orang tersebut bukan memperbagus shalatnya karena Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi karena ingin dipuji oleh orang lain.

Dalam sebuah riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada Abu Musa Al-Asy’ari tatkala dia membaca Al-Quran dengan indah,

يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ

“Wahai Abu Musa, sesungguhnya engkau telah diberi suara yang indah([35]) dari suara-suara indahnya keluarga Daud.”([36])

Dan dalam riwayat yang lain Abu Musa Al-Asy’ari membalas perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut dengan berkata,

لَوْ عَلِمْتُ لَحَبَّرْتُهُ لَكَ تَحْبِيرًا

“Jika aku tahu (bahwa Rasulullah mendengar bacaannya), maka aku akan baguskan lagi untukmu.”([37])

Perhatikan, Abu Musa Al-Asy’ari dalam hadits ini ingin membaguskan bacaannya untuk menyenangkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya tetap mencari ridha Allah, bukan untuk mencari pujian manusia. Hal ini sebagaimana kita orang Islam dituntut untuk menyenangkan hati orang lain, bukan untuk mendapat pujian, akan tetapi untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ، أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا، وَلَأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِي فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ – يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.”([38])

Artinya seseorang memasukkan kebahagiaan ke dalam hati saudara muslim lainnya bukan untuk mencari pujian, akan tetapi untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, seorang imam yang kemudian shalat dan membaca ayat-ayat Al-Quran dengan lantunan yang baik, hendaknya dia tidak memperbagus bacaannya karena sebab ingin dipuji. Kalau sekiranya dia melakukan demikian karena ingin menyenangkan makmumnya dan mencari ridha Allah, maka yang demikian tidaklah mengapa. Akan tetapi jika dia melakukan demikian karena ingin dipuji oleh makmumnya, maka dia akan binasa karena terjatuh ke dalam riya’. Sungguh perkara seperti ini sangat beda tipis, amalannya sama akan tetapi niatnyalah yang membedakan. Oleh karena perbedaan itu pula orang yang beramal karena mencari ridha Allah akan mendapat pahala, dan orang yang beramal karena ingin dipuji akan mendapat kebinasaan.

Ada beberapa contoh riya’ yang lain, yang penulis namakan dengan riya’ terselubung. Di antara contoh tersebut antara lain:

Pertama : Seseorang menceritakan keburukan orang lain, seperti pelitnya orang tersebut, malasnya orang tersebut shalat malam, dan tidak rajin menuntut ilmu, dengan maksud agar yang mendengarnya paham bahwasanya ia tidak memiliki sifat demikian. Ia ingin menunjukkan dari keburukan yang dia ceritakan bahwa dia adalah seorang yang dermawan, rajin shalat malam, dan rajin menuntut ilmu. Maka secara tidak langsung ia ingin orang yang mendengarnya mengetahui akan amal ibadahnya. Akan tetapi ketahuilah bahwa perkara semacam ini sangat berbahaya, karena orang yang melakukannya telah menggabungkan antara riya’ dan ghibah.

Kedua : Seseorang menceritakan nikmat dan karunia yang telah Allah berikan kepadanya, akan tetapi dengan maksud agar para pendengar paham bahwa ia adalah seorang yang saleh, dan bahwasanya ia berhak untuk dimuliakan oleh Allah dengan pemberian karunia yang banyak tersebut kepadanya. Kita sadar bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk menceritakan nikmat yang Dia berikan, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” (QS. Adh-Dhuha : 11)

Tentu berbeda dengan orang yang menceritakan nikmat yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan dengan niat bersyukur dengan yang niatnya untuk menunjukkan kesalehan dan kemuliaan dirinya.

Ketiga : Seseorang memuji gurunya dengan pujian yang tinggi agar ia juga terkena imbas pujian tersebut, karena ia adalah murid sang guru yang ia puji tersebut. Pada hakikatnya ia sedang berusaha untuk memuji dirinya sendiri, bahkan terkadang ia memuji secara langsung tanpa ia sadari.

Keempat : Merendahkan diri tapi dalam rangka untuk riya’, agar dipuji bahwasanya ia adalah seorang yang low profile. Inilah yang disebut dengan “Merendahkan diri demi meninggikan mutu”.

Kelima : Menyatakan kegembiraan akan keberhasilan dakwah, seperti banyaknya orang yang menghadiri pengajian, atau banyaknya orang yang mendapatkan hidayah, akan tetapi dengan niat untuk menunjukkan bahwasanya keberhasilan tersebut karena kepintaran dia dalam berdakwah.

Keenam : Ia menyebutkan bahwasanya orang-orang yang menyelisihinya mendapatkan musibah. Ia ingin menjelaskan bahwasanya ia adalah seorang wali Allah yang barang siapa yang mengganggunya akan disiksa atau diazab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini adalah bentuk tazkiyah (merekomendasi) diri sendiri yang terselubung.

Ketujuh : Ia menunjukkan dan memamerkan kedekatannya terhadap para da’i/ustaz, seakan-akan bahwa dengan dekatnya dia dengan para ustaz menunjukkan ia adalah orang yang saleh dan disenangi para ustaz. Padahal kemuliaan di sisi Allah bukan diukur dari dekatnya seseorang terhadap ustaz atau para ulama, akan tetapi dari ketakwaannya. Akan tetapi ternyata kedekatan terhadap ustaz juga bisa menjadi ajang pamer dan persaingan.

Kedelapan : Seseorang yang berpoligami lalu ia memamerkan poligaminya tersebut. Jika ia berkenalan dengan orang lain, serta-merta ia sebutkan bahwasanya istrinya ada dua atau tiga atau empat. Ia berdalih ingin menyiarkan sunnah, akan tetapi ternyata dalam hatinya ingin pamer. Ketahuilah bahwa poligami merupakan ibadah, maka mengumumkannya dengan pamer juga termasuk dalam riya’.

Penulis mengingatkan bahwa kita tidak boleh menuduh seseorang berbuat riya’, karena tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi hal ini kita ingatkan agar jangan sampai itu menimpa diri kita.

Matan

Kandungan bab ini:

  1. Penjelasan tentang ayat dalam surah Al-Kahfi.
  2. Masalah yang penting sekali, yaitu pernyataan bahwa amal saleh apabila dicampuri dengan sesuatu yang bukan karena Allah maka tidak akan diterima oleh Allah.
  3. Hal itu disebabkan karena Allah Subhanahu wa ta’ala adalah sembahan yang sangat menolak perbuatan syirik karena sifat ke-Mahacukupan-Nya.
  4. Sebab yang lain adalah karena Allah Subhanahu wa ta’ala adalah sekutu yang terbaik.
  5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat khawatir apabila sahabatnya melakukan riya’.
  6. Penjelasan tentang riya’ menggunakan contoh sebagai berikut: seseorang melakukan shalat karena Allah, kemudian ia memperindah shalatnya karena ada orang lain yang memperhatikannya.

Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab At-Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

_______________________

([1])  Maqoyis Al-Lughoh, Ibnu Faris, 2/473

([2])  HR. Muslim no. 1905

([3])  Ibnul Qoyyim berpendapat, bahwa orang yang seperti ini harus mengulang ibadahnya. Beliau berkata :

الثَّانِي: عَكْسَ هَذَا، وَهُوَ أَنْ يَكُونَ الْبَاعِثُ الْأَوَّلُ لِغَيْرِ اللَّهِ، ثُمَّ يَعْرِضُ لَهُ قَلْبَ النِّيَّةِ لِلَّهِ، فَهَذَا لَا يُحْتَسَبُ لَهُ بِمَا مَضَى مِنْ الْعَمَلِ، وَيُحْتَسَبُ لَهُ مِنْ حِينِ قَلْبِ نِيَّتِهِ؛ ثُمَّ إنْ كَانَتْ الْعِبَادَةُ لَا يَصِحُّ آخِرُهَا إلَّا بِصِحَّةِ أَوَّلِهَا وَجَبَتْ الْإِعَادَةُ، كَالصَّلَاةِ، وَإِلَّا لَمْ تَجِبْ كَمَنْ أَحْرَمَ لِغَيْرِ اللَّهِ ثُمَّ قَلَبَ نِيَّتَهُ لِلَّهِ عِنْدَ الْوُقُوفِ وَالطَّوَافِ.

“Kedua: lawan dari yang pertama: yaitu, jika motivasi awalnya untuk beramal adalah untuk selain Allah, kemudian ia terpikirkan untuk merubah niatnya menjadi karena Allah, maka amalan yang sudah berlalu (yang dibarengi riya) tidak dianggap yang sudah berlalu, namun yang setelah ia rubah niatnya dianggap. Kemudian, jika amalan itu tidak bisa sah kecuali awalnya juga harus sah, maka wajib baginya untuk mengulang ibadah tersebut. Seperti shalat (karena tidak mungkin shalat subuh itu bisa dikatakan sah jika rakaat pertamanya tidak sah). Namun, jika tidak termasuk bagian itu, maka tidak wajib mengulang. Seperti orang yang berihram karena selain Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian ia merubah niatnya untuk Allah ‘Azza wa Jalla ketika wuquf dan thowaf” (I’lam Al-Muwaqqi’in, Ibnu Al-Qoyyim, 3/436)

([4])  I’lam Al-Muwaqqi’in, Ibnu Al-Qoyyim, 3/436

([5])  Al-Qoul Al-Mufid, Ibnu ‘Utsaimin, 1/118

([6])  Lihat Jami’ Al-‘Ulum Wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, 1/82-83

([7])  Lihat Fatawa Arkan Al-Islam, Ibnu ‘Utsaimin, 1/156

([8])  Ibnu Al-Qoyyim berkata:

وَقَدْ جَاءَ فِي أَثَرٍ مَعْرُوْفٍ إِنَّ الْعَبْدَ لَيَعْمَلُ الْعَمَلَ سِراً لاَ يَطَّلِعُ عَلَيْهِ أَحَدٌ إِلاَّ اللهَ تَعَالَى فَيَتَحَدَّثُ بِهِ فَيَنْتَقِلُ مِنْ دِيْوَانِ السِّرِّ إِلَى دِيْوَانِ الْعَلاَنِيَةِ ثُمَّ يَصِيْرُ فِي ذَلِكَ الدِّيْوَانِ عَلَى حسب الْعَلاَنِيَةِ فَإِنْ تَحَدَّثَ بِهِ لِلسُّمْعَةِ وَطَلَبَ الْجَاهَ وَالْمَنْزِلَةَ عِنْدَ غَيْرِ اللهِ تَعَالَى أَبْطَلَهُ كَمَا لَوْ فَعَلَهُ لِذَلِكَ

“Telah datang dalam atsar (riwayat) yang makruf bahwasanya seorang hamba sungguh mengamalkan suatu amal (shalih) secara sembunyi-sembunyi tidak seorangpun yang mengetahuinya kecuali Allah, lalu iapun menceritakannya kepada orang lain, maka berpindahlah catatan amalnya dari catatan amal sembunyi-sembunyi ke catatan amal terang-terangan. Kemudian terus demikian berdasarkan sikap terang-terangannya. Maka jika ia menceritakan amal nya tersebut lagi namun untuk sumáh dan mengharap penghormatan dan kedudukan dari selain Allah maka hal itu membatalkan amalnya sebagaimana jika ia (sejak awal) melakukannya karena sumáh” (al-Waabil as-Shoyyib, Raafi’ al-Kalim at-Thoyyib hal 22)

Lantas bagaimana jika ia menyesal dan bertaubat dari sikapnya yang menceritakan amalnya karena sumáh?. Ibnul Qoyyim rahamimahullah berkata :

فَإِنْ قِيْلَ: فَإِذَا تَابَ هَذَا هَلْ يَعُوْدُ إِلَيْهِ ثَوْابُ العَمِلِ؟…وَإِمَّا أَنَّ عَمَلَهُ لِلَّه تَعَالَى خَالِصاً ثُمَّ عَرَضَ لَهُ عَجَبٌ وَرِيَاءً أَوْ تَحَدَّثَ بِهِ ثُمَّ تَابَ مِنْ ذَلِكَ وَنِدِمَ فَهَذَا قَدْ يَعُوْدُ لَهُ ثَوَابُ عَمَلِهِ وَلَا يُحْبَطُ. وَقَدْ يُقَاَلُ: إِنَّهُ لَا يَعُوْدُ إِلَيْهِ بَلْ يَسْتَأْنِفُ العَمَلَ.

“Jika dikatakan: “Seandainya orang itu bertaubat, apakah pahalanya akan kembali?…dan jika ia mengamalkannya ikhlash karena Allah, kemudian menghampirinya rasa ujub, dan riya’, atau dia menceritakannya kepada orang lain (dengan tujuan agar terpuji -sebagaimana yang beliau sebutkan sebelum-sebelumnya-) kemudian ia bertaubat dan menyesal, maka orang ini semoga saja pahala dari amalannya sebelumnya itu bisa kembali dan tidak dihanguskan.

Dan memungkinkan untuk dikatakan: pahalanya tidak bisa kembali kepadanya, dan ia harus mengulang amalannya” (Al-Wabil As-Shoyyib, Ibnul Qoyyim 22).

([9])  HR. Bukhari no. 553

([10])  Yaitu Zaid bin Arqam

([11])  HR. Al-Baihaqi no, 10799 dalam Sunan Al-Kubro lii Al-Baihaqi

([12])  Ibnu Al-Qoyyim berkata:

فَإِنْ قِيْلَ: فَإِذَا تَابَ هَذَا هَلْ يَعُوْدُ إِلَيْهِ ثَوْابُ العَمِلِ؟ قيل: إن كان قد عمله لغير الله تعالى وأوقعه بهذه النية فإنه لا ينقلب صالحاً بالتوبة، بل حسب التوبة أن تمحو عنه عقابه فيصير لا له ولا عليه. وَإِمَّا أَنَّ عَمَلَهُ لِلَّه تَعَالَى خَالِصاً ثُمَّ عَرَضَ لَهُ عَجَبٌ وَرِيَاءً أَوْ تَحَدَّثَ بِهِ ثُمَّ تَابَ مِنْ ذَلِكَ وَنِدِمَ فَهَذَا قَدْ يَعُوْدُ لَهُ ثَوَابُ عَمَلِهِ وَلَا يُحْبَطُ. وَقَدْ يُقَاَلُ: إِنَّهُ لَا يَعُوْدُ إِلَيْهِ بَلْ يَسْتَأْنِفُ العَمَلَ.

“Jika dikatakan: “Seandainya orang itu bertaubat, apakah pahalanya akan kembali?. Maka dikatakan, jika ia mengerjakan amal tersebut untuk selain Allah dan ia melakukannya dengan niat tersebut maka amal (yang riya) tersebut tidak akan berubah menjadi amal shalih karena taubatnya. Akan tetapi cukuplah taubatnya menghapuskan dosa/hukuman darinya, maka jadilah malnya tersebut tidak menguntungkannya dan tidak juga merugikannya” (Al-Wabil As-Shoyyib, Ibnu Al-Qoyyim 22).

Namun meskipun demikian, Ibnul Qoyyim berpendapat jika seseorang taubatnya benar-benar taubat, yang dimana taubatnya berdampak ia melakukan kebaikan yang sangat banyak maka dosa-dosa sebelumnya (riya’, sumáh, dan ujub) akan sirna dan seakan-akan tidak pernah ada sebelumnya. Dengan demikian maka amal-amal shalihnya yang tercampur riya tersebut kembali pahalanya. (Lihat penjelasan beliau di al-Waabil as-Shoyyib hal 23-25)

([13]) Lihat Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 22/21

Ibnu Taimiyyah juga berkata :

لِأَنَّ التَّائِبَ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ وَإِذَا زَالَ الذَّنْبُ زَالَتْ عُقُوْبَاتُهُ وَمُوْجِبَاتُهُ وَحُبُوْطُ الْعَمَلِ مِنْ مُوْجِبَاتِهِ

“Karena orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. Dan jika telah hilang dosa maka hilang pula hukumannya dan konsekuensi-konsekuensi dosa, dan gugurnya amal termasuk dari konseksuensi-konsekuensi dosa” (Syarh al-Úmdah (من أول كتاب الصلاة إلى آخر باب آداب المشي إلى الصلاة) hal 39, tahqiq Kholid al-Musyaiqih)

([14])  HR. Muslim no. 123

([15])  HR. Muslim no. 2642

([16])  HR. Muslim no.

([17])  Silsilah Hadits Ash-Shahihah no. 2313

([18]) Sebagaiaman telah lalu penjelasannya

([19])  HR. Bukhari no. 716 dalam Adabul Mufrad

([20])  HR. Al-Hakim no. 1994 dalam Al-Mustadrak

([21])  Silsilah Hadits Ash-Shahihah no. 2313

([22])  Siyar A’lam An-Nubala’ 6/100 Tahqiq Syu’aib Al-Arnauth

([23])  HR. Bukhari no. 6499

([24])  HR. Bukhari no. 6514 dan HR. Muslim no. 2960

([25])  HR. Bukhari no. 401

([26]) Beliau menisbatkannya kepada beberapa ahli tafsir terdahulu dan belakangan, di antaranya adalah ‘Abdullah bin Al-Mubarok. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 6/462)

([27]) At-Tamhid Syarh Kitab At-Tauhid, Sholih Alu Syaikh, 399

([28]) At-Tamhid Syarh Kitab At-Tauhid, Sholih Alu Syaikh, 401

([29])  HR. Ahmad no. 23680

([30])  HR. Ibnu Khuzaimah no. 937 dalam Shahihnya, dan HR. Al-Baihaqi no. 2872 dalam Syu’abul Iman

[31]  HR. Muslim no. 2937

([32]) Maqoyis Al-Lughoh, Ibnu Faris, 5/322

[33]  HR. Bukhari no. 7407

([34]) At-Tamhid Syarh Kitab At-Tauhid, Sholih Alu Syaikh, 401

([35])  Sebagian orang keliru dalam menjadikan hadits ini sebagai dalil bolehnya bermain musik karena kata مِزْمَارًا berarti seruling, padahal konteks hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak sedang memuji Abu Musa Al-Asy’ari yang sedang bermain musik, melainkan beliau memujinya karena sedang membaca ayat-ayat Al-Quran. Dan Mizmaar meskipun secara bahasa adalah alat yang mengeluarkan musik akan tetapi bukanlah artinya Nabi Daud atau Abu Musa al-Asyári sedang main seruling, namun karena begitu indahnya suara mereka sehingga Nabi menyamakannya seperti seruling. (Lihat : Fathul Baari 9/39)

([36])  HR. Bukhari no. 5048

([37])  HR. Al-Baihaqi no. 2366 dalam Syu’abul Iman

[38]  HR. Ath-Thabrani no. 13646 dalam Mu’jam Al-Kabiir, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 176