Benda yang dihibahkan harus milik sendiri hal tersebut merupakan salah satu

Ilustrasi hibah. Foto: Unsplash.com/Kira auf der Heide

Hibah, secara sederhana dapat diartikan sebagai hadiah. Namun, secara bahasa berarti pemberian secara sukarela kepada orang lain ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya pula dilakukan pada waktu penghibah masih hidup pula. Inilah mengapa hibah berbeda dengan warisan.

Dalam hukum negara, hibah adalah pemberian yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hibah juga diatur dalam syariat Islam. Nah, karena hibah memiliki ketetapan hukum, maka hibah adalah aktivitas yang tidak boleh dilakukan sembarangan. Itu artinya, hibah harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Hibah dapat diwujudkan berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak. Seperti, uang, rumah, tanah, atau barang berharga lainnya.

Dalam Islam sendiri, hibah berasal dari bahasa Arab الهِبَةُ yang artinya pemberian yang dilakukan seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pamrih atau imbalan apa pun.

Dapat dikatakan, hibah adalah perbuatan untuk mendekatkan diri kepada sesama umat.

"Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai." (HR Al-Bukhari)

Karena hibah harus dilakukan sesuai aturan, dirangkum dari almanhaj.or.id, mayoritas ulama memandang hibah memiliki empat rukun. Simak penjelasannya berikut ini, yuk.

Dalam hibah, diisyaratkan al-waahib beberapa syarat berikut:

- Pemberi adalah seorang yang merdeka, bukan budak. Pemberian yang dilakukan oleh seorang budak dianggap tidak sah, karena dia dan semua miliknya adalah milik tuannya.

- Pemberi adalah seorang yang berakal dan tidak sedang dilikuidasi (al hajr) karena kurang akal atau gila.

- Pemberi telah mencapai usia baligh.

- Pemberi adalah pemilik sah barang yang dihibahkan (diberikan). Tidak boleh menghibahkan harta orang lain tanpa izin karena si pemberi tidak memiliki hak kepemilikan pada barang yang bukan miliknya.

2. Penerima pemberian (Al Mauhub lahu)

Tidak ada persyaratan tertentu bagi pihak yang menerima hiah. Sehingga, hibah dapat diberikan kepada siapa pun, dengan beberapa pengecualian.

Apabila hibah terdapat anak di bawah umur atau orang yang tidak waras akal pikirannya, maka harus diserahkan kepada wali atau pengampu yang sah dari mereka.

3. Barang yang dihibahkan (al-Mauhuub)

Terdapat beberapa syarat berkenaan dengan harta yang dihibahkan, yaitu

- Barangnya jelas ada pada saat dihibahkan

Akad hibah suatu barang dinyatakan tidak sah, jika saat hibah barang yang dihibahkan tidak ada. Misalnya, menghibahkan buah kebun yang akan ada dan berbuah tahun depan atau janin yang belum ada. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah, Hanabilah dan Syafi’iyah.

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, 'Tidak sah hibah janin yang ada dalam perut dan susu yang masih belum diperas. Inilah pendapat Abu Hanîfah rahimahullah, asy-Syâfi’i rahimahullah dan Abu Tsaur rahimahullah, karena sesuatu yang dihibahkan itu belum ada dan tidak bisa diserahkan.

- Barang yang dihibahkan sudah diserah terimakan. inilah pendapat mayoritas ulama

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, "Orang yang diberi hibah tidak bisa memiliki hibah tersebut kecuali setelah serah terima." (Al-Majmu', Syarhul Muhadzdzab, 16/351)

- Benda yang dihibahkan adalah milik orang yang memberi hibah

Ketika ingin menghibahkan sesuatu kepada orang lain, kta tidak boleh menghibahkan milik orang lain tanpa izin pemiliknya. Syarat ini adalah syarat yang telah disepakati para ulama.

Menurut para ulama fikih, terdapat dua jenis shighat, yaitu shighat perkataan (lafaz) yang dinamakan ijab dan qabul, dan shighat perbuatan, seperti penyerahan tanpa ada ijab dan qabul.

Para ulama sepakkat, ijab dan qabul dalam hibah itu mu'tabar (diperhitungkan). Namun, mereka pula berselisih tentang shighat perbuatan (al-mu’athah) dalam dua pendapat.

Mayoritas ulama juga mensyaratkan adanya ijab dan qabul dalam hibah, sedangkan mazhab Hanabilah memandang al mu’athah (serah terima tanpa didahulu kalimat penyerahan dan penerimaan, red) dalam hibah itu juga sah selama menunjukkan adanya serah terima, dengan alasan Rasulullah SAW dan para sahabat beliau pada zaman dahulu juga memberikan hibah dan menerimanya. Namun, tidak dinukilkan dari mereka adanya syarat ijab dan qabul dan sejenisnya, sehingga tetap diberlakukan semua bentuk shighat boleh dalam hibah. Inilah pendapat yang dirajihkan penulis Kitab al Fiqhul Muyassar. (Lihat halaman 296)

Ketika kita sudah menghibahkan sesuatu, maka hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali. Seperti yang dikatakan dalam hadis berikut,

العائِدُ في هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُوْدُ فِي قَيْئِهِ

Artinya: Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya. (HR Al-Bukhari)

Nah, itulah empat rukun hibah yang harus kamu ketahui. Jadi, jangan asal melakukan hibah, ya. Karena hibah punya aturannya sendiri, baik dalam Islam, maupun hukum negara.

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA