Bagian tubuh yang tidak layak untuk ditambahkan kepada orang lain yang bukan mahram disebut

Seorang muslim wajib untuk menyandarkan semua niat perbuatannya semata karena Allah dan benar-benar tidak melanggar larangan-Nya, karena hakikat hidupnya adalah ibadah.  Allah SWT berfirman :

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”( QS. Adz-Dzaariyat: 56).

Bagian tubuh yang tidak layak untuk ditambahkan kepada orang lain yang bukan mahram disebut
Menutup Aurat Karena Allah

Al Qurthubi dalam tafsir ayat ini menyatakan, “Makna asal dari ibadah adalah perendahan diri dan ketundukan.  Berbagai beban syariat yang diberikan kepada manusia dinamakan ibadah, karena mereka harus melaksanakannya dengan penuh ketundukan.”

Ibnu Katsir menyatakan: “Makna beribadah kepada-Nya adalah menaati-Nya dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang.”

Seorang muslim, saat berhadapan dengan apa yang diperintahkan Allah, maka tidak ada pilihan baginya kecuali tunduk patuh kepada Allah.  Allah SWT berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al Ahzab: 36).

Maka saat Allah sudah menetapkan suatu aturan, manusia tidak berhak untuk memperdebatkannya, kemudian mereka mencari alternatif yang mereka anggap lebih baik.  Baik atau buruk, hanya Allah yang mengetahuinya.  Apa yang dianggap manusia baik dan ia sukai, belum tentu baik dalam pandangan Allah.  Allah SWT berfirman:

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).

Menutup aurat merupakan bagian dari ibadah karena menjalankan perintah Allah.  Ini adalah salah satu bentuk ketaatan kepada Allah.  Karena itu, apapun bentuk dari menutup aurat, ketika jelas merupakan perintah Allah, seorang muslimah tidak layak untuk mendebat, mencari alternatif lain, mereka-reka, ataupun menyimpangkan tujuan dari perintah tersebut.

Dengan demikian, untuk kesempurnaan ibadah ini, muslimah harus mencari tahu seperti apakah menutup aurat yang diperintahkan oleh Allah, jilbab dan kerudung seperti apakah yang ditetapkan, dan untuk apa dia mengenakannya sehingga pelaksanaan dari kewajiban ini tidak menyimpang.

Banyak perempuan yang berpendapat, bahwa Allah telah menciptakan perempuan sebagai makhluk yang cantik, maka kecantikan itu harus ditampakkan.  Bahkan ada yang menyatakan bahwa tampil cantik adalah fitrah perempuan yang tak dapat ditinggalkan.  Maka, tampil cantik, berdandan dan berhias adalah lekat dengan perempuan.

Betul, perempuan suka perhiasan bahkan dia sendiri adalah perhiasan. Rasulullah saw bersabda:

“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah perempuan yang shalihah.” (HR Muslim dan Ahmad).

Namun, fitrah manusia semestinya diletakkan dalam kerangka ketundukan kepada aturan Allah.  Beragama adalah fitrah, tetapi manusia tidak diberikan kebebasan untuk mengekspresikan fitrahnya melainkan diharuskan tunduk pada aturan Allah dalam bentuk ibadah mahdhah. Begitupun kemarahan yang muncul pada seseorang ketika ada hal yang tidak disukainya adalah fitrah, namun tidak berarti ia lantas boleh meluapkan kemarahan sesukanya.

Berhias merupakan bagian dari fitrah perempuan, juga diatur sedemikian rupa bagi kemaslahatan kehidupan manusia. Allah membolehkan perempuan mengekspresikan fitrah kecantikannya di dalam rumah, di hadapan suami atau mahramnya.

“…dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur : 31).

Ayat ini membatasi kepada siapa saja perempuan boleh menampakkan perhiasannya, yaitu anggota tubuhnya yang merupakan tempat melekatnya perhiasan yang menjadi inti kecantikannya.

Oleh karena itu, aurat seorang perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan tangannya. Leher dan rambutnya adalah aurat di depan seorang pria ajnabi (non-mahram [seorang laki-laki yang boleh menikahinya]), bahkan sehelai rambut pun. Dengan kata lain, dia harus menutupi tubuhnya dari kepala sampai kaki kecuali wajah dan tangannya. Hal ini sejalan dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an:

 “…janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. an-Nuur: 31)

Bukti lain yang menunjukkan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali wajah dan kedua tangannya adalah sabda Rasulullah saw,

“Sesungguhnya anak perempuan apabila telah haidh  tidak dibenarkan terlihat darinya kecuali wajah dan tangannya sampai persendian (pergelangan tangan)”.(HR Abu Dawud)

Ayat ini kemudian diperkuat dengan ayat yang melarang tabarruj bagi perempuan. Firman Allah SWT:

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan (bertabarruj), dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nuur : 60).

Bila perempuan tua yang sudah menopause dan tidak memiliki hasrat menikah lagi saja tidak diperbolehkan tabarruj, maka apalagi para gadis atau perempuan muda, semestinya mereka lebih menjauhkan diri dari tabarruj. 

Larangan tabarruj berarti fitrah perempuan untuk tampil cantik ditempatkan oleh syara’ dalam kehidupan khususnya di hadapan suami dan mahram.

Tidak dapat diingkari bahwa kecantikan perempuan memiliki daya tarik yang besar bagi laki-laki.  Bila perempuan berlomba untuk menonjolkan kecantikannya, maka orientasi interaksi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik akan mengalami pergeseran dari apa yang dikehendaki syara’.

Syara’ menjadikan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terjadi dikehidupan umum adalah hubungan ta’awun (kerjasama) antara mereka dalam menjalankan berbagai taklif hukum syara’, misalnya dakwah, pendidikan, perdagangan, perindustrian dan sebagainya.

Ta’awun yang produktif antara laki-laki dan perempuan hanya dapat dicapai apabila pertemuan mereka dalam kehidupan umum bersih dari munculnya hasrat dan ketertarikan terhadap lawan jenisnya.  Munculnya hasrat dan ketertarikan akan menyebabkan terpecahnya konsentrasi terhadap taklif syara’, menyibukkan mereka dengan aktivitas untuk mencari perhatian, menjaga penampilan, dan seterusnya.

Dengan tujuan melangsungkan ta’awun yang produktif antara laki-laki dan perempuan inilah, Islam mensyariatkan perempuan untuk menutup aurat, menggunakan kerudung dan jilbab saat keluar rumah.

Dari penjelasan di atas, mengenakan kerudung dan jilbab agar kecantikan perempuan tidak tereksploitasi dalam kehidupan umum sehingga ta’awun laki-laki dan perempuan bisa berlangsung semata karena memenuhi apa yang telah Allah bebankan kepada mereka. Bukan sebaliknya, perempuan menonjolkan kecantikannya. Maka paradigma menutup aurat harus diubah, bukan untuk tampil cantik, tetapi menyembunyikan sebagian kecantikan tersebut.

Memang betul, Allah suka keindahan, tetapi ketika Allah menetapkan hukum, tentu Allah lebih suka hukum itu dijalankan.  Bukan mengedepankan keindahan agar disukai Allah tetapi pada saat yang sama mengabaikan hukum-hukum Allah. Sungguh Allah lebih tahu apa yang terbaik bagi perempuan dengan pensyariatan jilbab dan kerudung dan melarang mereka untuk berhias yang menampakkan kecantikannya. Allah Maha Mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya.

Dengan demikian, seorang muslimah yang mengenakan kerudung dan jilbab, harus menjadikan tujuan perbuatannya adalah semata taat kepada Allah, bukan untuk tujuan-tujuan lain seperti tampil cantik, modis dan seterusnya. Maka ia tunduk terhadap aturan bagaimana menutup aurat dengan kerudung dan jilbab yang benar.

Kewajiban Mengenakan Kerudung dan Jilbab 

Dalil wajibnya kerudung adalah al Qur’an surat An-Nuur ayat 3:

“….dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimar) mereka hingga (menutupi) dada mereka…” (QS. An-Nuur: 31).

Kerudung adalah kain yang digunakan untuk menutupi kepala sampai ke dada dengan menyisakan bagian wajah.  Kerudung ini adalah pakaian bagian atas bagi perempuan. Kerudung berbeda dengan jilbab, yang diwajibkan dengan QS. Al Ahzab ayat 59:

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab: 59)

Kata “jalaabiibihinna” dalam ayat ini adalah bentuk jamak dari “jilbaabun”. Dalam kamus Al-Muhith artinya adalah “milhaafah wa mulaa’ah”, yaitu baju yang serupa dengan mantel (menjulur), sedangkan dalam tafsir Ibnu Abbas, “jilbaabun” adalah kain penutup, atau baju luar seperti mantel (Tafsir Ibnu Abbas, hal 426). Jilbab juga berarti “baju panjang (mulaa’ah) yang meliputi seluruh tubuh wanita” (Tafsir Jalalain hal 248). Sedangkan dalam Shofwatut Tafaasir, Imam ash-Shobuni, Jilbab diartikan sebagai baju yang luas (wasi’) yang menutupi tempat perhiasan wanita (auratnya).  Hamka, ahli tafsir dari negeri kita sendiri mendefinisikan jilbab sebagai baju kurung yang panjang.

Berdasarkan penjelasan ayat ini, jelaslah bahwa makna jilbab adalah pakaian luar yang luas yang wajib digunakan oleh muslimah diluar pakaian rumahnya (mihnah), yang berbentuk seperti mantel (milhaafah atau mulaa’ah).  Jilbab ini adalah pakaian muslimah bagian bawah. Jadi jilbab bukan kerudung, karena diperintahkan untuk mengulurkannya ke tubuh, yaitu menutup bagian tubuh  ke bawah, bukan ke atas.

Ummu ‘Athiyah yang berkata:

Rasulullah saw. memerintahkan kami untuk mengeluarkan para perempuan pada Hari Idul Fitri dan Idul Adha; para perempuan yang punya halangan, perempuan yang sedang haid dan gadis-gadis yang dipingit. Adapun perempuan yang sedang haid, mereka memisahkan diri dari shalat dan menyaksikan kebaikan dan seruan kepada kaum Muslim. Aku berkata,  “Ya Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Rasul saw menjawab, “Hendaknya saudaranya memin-jami dia jilbab.” (HR Muslim)

Hadis penuturan Ummu ‘Athiyah menjelaskan secara gamblang kewajiban perempuan memiliki jilbab yang ia kenakan di atas pakaiannya ketika ia keluar. Sebab, Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasulullah saw., “Salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.” Lalu Rasul saw. menjawab, “Hendaknya saudaranya meminjami dia dari jilbab.” Artinya, jika ia tidak dipinjami maka ia tidak tidak boleh keluar. Ini adalah qarinah (indikasi) bahwa perintah dalam hadis ini adalah untuk menyatakan wajib. Artinya, wajib perempuan mengenakan jilbab di atas pakaiannya jika ia ingin keluar. Jika ia tidak mengenakan jilbab maka ia tidak (boleh) keluar.

Jilbab disyaratkan agar dijulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kaki karena Allah SWT berfirman (yang artinya): Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (QS al-Ahzab: 59). Maknanya, hendaknya mereka menjulurkan jilbab mereka. Kata “min” di sini bukan li at-tab’îdh (menyatakan sebagian), tetapi li al-bayân (untuk penjelasan). Artinya, hendaknya mereka menjulurkan jilbab hingga ke bawah. Dalam hal ini, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Rasul saw. pernah bersabda:

“Siapa yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak memandang dirinya pada Hari Kiamat.” Lalu Ummu Salamah berkata, “Lalu bagaimana perempuan memperlakukan ujung pakaiannya.” Rasul menjawab, “Hendaknya mereka menjulurkan-nya sejengkal.” Ummu Salamah berkata, “Kalau begitu tersingkap kedua kaki mereka.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaknya mereka menjulurkannya sehasta, jangan mereka lebihkan atasnya.” (HR at-Tirmidzi; ia menyatakan hadis ini  hasan-shahih).

Hadits ini dengan gamblang menjelaskan bahwa jilbab yang dikenakan di atas pakaian itu wajib dijulurkan ke bawah sampai menutupi kedua kaki. Jika kedua kaki ditutupi dengan sepatu atau kaos kaki, itu belum cukup (jika jilbabnya tidak menjulur ke bawah, red.). Jilbab tetap harus menjulur ke bawah hingga kedua kaki dalam bentuk yang menunjukkan adanya irkha’ (dijulurkan) sehingga diketahui bahwa itu adalah pakaian kehidupan umum yang wajib dikenakan perempuan di kehidupan umum. Jilbab harus tampak irkha’ sebagai realisasi dari  firman Allah: “yudnîna” yakni yurkhîna (hendaknya mereka menjulurkan).

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang hijab (tabir). Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)

Makna hijab ialah tabir yang menghalangi perempuan dari penglihatan laki-laki, dalam berpakaian disebut juga burka atau cadar. Hijab tidak wajib bagi muslimah karena dikhususkan untuk istri Rasulullah saw. Ini nampak dari ayat Al Ahzab 53 secara lengkap yang artinya sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. “

Makna hijab, yakni penghalang. Tidak tepat untuk diterapkan pada kerudung dan jilbab karena keduanya tidak menghalangi pandangan sama sekali dari laki-laki terhadap perempuan, tetapi masih menyisakan wajah dan dua telapak tangan yang boleh terlihat.

Dengan demikian, cara berpakaian muslimah yang benar adalah menggunakan jilbab dan kerudung yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan.

At-Tabarruj adalah menampakkan perhiasan dalam bentuk yg menarik pandangan tanpa menampakaan aurat. Batasan aurat ditetapkan atas dasar dahulu para wanita arab pada zaman Rasul mengenakan perhiasan di bagian tubuh tersebut. Maka hukumnya adalah haram baik terlihat oleh  pandangan ataupun tidak.

Misalnya seorang wanita menghias jari jemarinya di suatu kampung yang di sana tidak biasa menghias jari jemari wanita, maka hiasan yang di jarinya itu menarik pandangan. Hal tersebut bisa dikatakan tabarruj dan hukumnya haram meskipun jari dan telapak tangan bukan aurat.

Seandainya seorang menghentakkan kakinya ke tanah sehingga terdengar suara gemerincing gelang kakinya sehingga menarik pandangan ke perhiasan yg ada di kakinya, hingga meski seluruh kakinya tertutup, maka hal itu adalah tabarruj dan haram.

Seandainya seorang wanita mengenakan kerudung yang asing, tidak biasa, dihiasi dengan sulaman (bordiran) yang terang menyala yang menarik pandangan, maka termasuk tabarruj dan hukumnya haram hingga walaupun seluruh rambutnya tertutup.

Seandainya seorang wanita mengenakan jilbab yang terdapat tulisan (hiasan) di dadanya yang menarik pandangan, maka hal itu termasuk tabarruj dan hukumnya haram, walaupun ia mengenakan pakaian syar'iy.

Ketentuan dalam Berdandan

Berdandan adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dari seorang perempuan. Namun syara’ mengatur cara berdandan ini untuk menghilangkan fitnah yang mungkin terjadi saat perempuan keluar rumah.

Berdandan dengan hal yang dimubahkan oleh syara’ bagi seorang perempuan. Sebagai contoh, mengenakan celak, mengenakan cincin, gelang, jam tangan, atau bros yang dalam batas kewajaran. Juga menyapukan bedak secukupnya pada wajah, semua hal tersebut adalah berdandan yang diperbolehkan. Begitu pula mengenakan pakaian dengan  berbagai warna dan corak: merah, pink, biru, berbunga-bunga, batik dan sebagainya selama dalam batas tidak di luar kebiasaan umum masyarakat.

Beberapa hal yang harus dihindari ketika berdandan antara lain :

1.- Membuka sebagian aurat

Wanita yang mengenakan topi kepala tanpa berkerudung, mengenakan celana tanpa mengenakan jilbab, mengenakan kerudung yang hanya membalut kepala sedang lehernya kelihatan, mengenakan jilbab lengan pendek, menutup rambut dan badannya tetapi bila membungkuk terlihat bagian bawah punggungnya, dan sebagainya.  Hal ini haram dilakukan karena menyimpang dari aturan tentang jilbab dan kerudung yang telah dijelaskan di atas.

2.- Mengenakan pakaian tipis atau ketat yang merangsang

Wanita dilarang mengenakan pakaian tipis atau memakai busana ketat dan merangsang. Nabi saw bersabda:

“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti seekor sapi yang digunakan untuk meyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang, berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk unta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.” (HR. Imam Muslim).

Dan juga sabda Rasul saw:

“Betapa banyak wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis merangsang, dan berlenggak-lenggok. Mereka tidak akan masuk ke dalam surga dan mencium baunya.” (HR. Imam Bukhari)

Berpakaian tipis adalah berpakaian namun masih menampakkan warna kulitnya. Seperti mengenakan kerudung tipis yang masih menampakkan rambut di bawahnya. Hal yang sama hukumnya adalah berpakaian ketat sehingga membentuk lekuk tubuhnya, seperti yang banyak kita jumpai, perempuan mengenakan baju lengan panjang dan kerudung, tetapi mengenakan celana ketat yang membentuk kakinya. Bahkan ada yang mengenakan celana ketat sewarna kulit sehingga dari jauh seperti telanjang.

Begitu juga perempuan yang melilitkan kerudung atau mengenakan penutup leher yang ketat membentuk leher, dengan atau tanpa kerudung luar yang biasanya tipis.

3.- Mengenakan wewangian di hadapan lelaki yang bukan mahram

“Siapapun wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, berarti ia telah berzina.” (HR. Imam al-Nasaaiy).

Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda:

“Setiap wanita yang memakai wewangian,  janganlah ia mengerjakan solat ‘Isya’ bersama kami.” (HR. Muslim).

4. - Berdandan menor dan berlebihan

Berdandan atau bersolek tidak seperti biasanya atau berlebihan di luar rumah adalah termasuk tabarruj. Misalnya, memakai bedak tebal, eye shadow, lipstick dengan warna mencolok dan merangsang, dan lain sebagainya. Sebab, semua tindakan ini ditujukan untuk menampakkan kecantikan dirinya kepada orang yang bukan mahram.

5. - Mengenakan sesuatu di luar kelaziman dan kebiasaan

Perempuan yang mengenakan sesuatu diluar kebiasaan perempuan di lingkungannya termasuk tabarruj karena sifatnya yang dapat menarik perhatian dari lawan jenis.  Diantara yang termasuk dalam kategori ini adalah mengenakan perhiasan yang mencolok seperti bros atau cincin yang besar dan tidak lazim, memakai kerudung namun mengenakan kalung atau anting yang dikeluarkan dari kerudung, mengenakan kerudung yang dililitkan di leher dengan berbagai model seperti ujungnya dibentuk bunga, ditambahkan kepangan kerudung berbagai warna, atau mengenakan kerudung bertumpuk-tumpuk yang tidak lazim seperti gaya sebagian hijabers.

Begitu pula perempuan yang mengenakan baju merah di masyarakat yang semua perempuannya mengenakan baju hitam, mengenakan gelang kaki yang diberi lonceng sehingga berbunyi, atau mengenakan tindik hidung dan sebagainya.

Semata menutup aurat belum cukup untuk keluar rumah, melainkan ia harus melengkapinya dengan jilbab dan kerudung yang syar’i. Tinggalkan keinginan untuk tampil cantik dan modis di hadapan umum, gantikan dengan keinginan untuk cantik kelak di hadapan Allah, saat kita menemui-Nya di surga sebagai balasan ketaatan dan ketundukan kita pada aturan-Nya. [www.visimuslim.com]

Sumber : Booklet "Menutup Aurat Karena Allah" DPD II HTI Kota Bogor

  1. Abu Rasytah, 'Atha' bin Khalil (2014). Ensiklopedi Jawab Soal Amir Hizbut Tahrir. Bogor: Al Azhar Fresh Zone.
  2. Abu Rasytah, 'Atha' bin Khalil (2013). From http://hizbut-tahrir.or.id/2014/04/25/busana-muslimah-syari, 16 Desember 2014.
  3. Amar, Sumayyah (2014). From http://hizbut-tahrir.or.id/2014/11/03/kemana-tren-budaya-hijab-ini-menuju, 16 Desember 2014.
  4. Retnaningsih, Arini (2013). From http://hizbut-tahrir.or.id/2013/09/18/gaya-hijabers-dalam-menutup-aurat, 16 Desember 2014.