Bagaimanakah dampak dari hasil tanam paksa tersebut bagi pemerintahan Belanda?

Dipublikasikan oleh Eka Mandala ∙ 13 May 2014 ∙ 3 menit membaca

Sejarah Negara Com – Istilah tanam paksa berasal dari bahasa Belanda, yaitu “cultuur stelsel”. Pencetusan ide dan pelaksanaan tanam paksa di Indonesia yaitu Johannes Van den Bosch, seorang gubernur jenderal Belanda pada tahun 1830 sampai 1833.

Dalam tanam paksa diterapkan aturan-aturan yang tentunya dimaksudkan untuk menguntungkan pihak belanda. Pelaksanaan tanam paksa di Indonesia diserahkan kepada pamong praja, sedangkan pengawasannya dilakukan oleh pegawai-pegawai bangsa Belanda. Pelaksana dan pengawas memperoleh semacam upah yang disebut cultuur procenten.

Besarnya upah tergantung dari persentase hasil tanaman yang dapat dikumpulkan dan diserahkan. Semakin banyak hasil yang dikumpulkan dan diserahkan, maka semakin besar pula persentase yang mereka dapatkan. Akibatnya, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan persentase yang besar. Cara-cara kotor inilah yang merupakan penyebab dan dari adanya penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa.

Penyebab tanam paksa, aturan, penyimpangan dan dampak

1. Pemerintah Belanda banyak mengeluarkan biaya dalam perang Diponegoro, Perang Padri, dan perang di berbagai daerah.
2. Pemerintah Belanda dililit hutang luar negeri sehingga perlu biaya besar untuk membayarnya.

1. Penduduk diharuskan menyediakan sebagian dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang dapat dijual di pasaran Eropa.2. Tanah pertanian yang disediakan oleh penduduk tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa.3. Waktu yang diperlukan untuk memelihara tanaman tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk memelihara tanaman padi.4. Bagian dari tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran pajak.5. Apabila nilai hasil tanaman dagangan itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.6. Jika panen gagal dan kegagalan itu tidak disebabkan oleh kesalahan petani, segala kerugian dibebankan pada pemerintah.

7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah mereka di bawah pengawasan kepala desa atau bupati, sedangkan pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan pembajakan tanah, panen dan pengangkutan tanaman. Selengkapnya baca: 7 aturan pokok tanam paksa

1. Rakyat lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga dan waktunya untuk tanaman berkualitas ekspor sehingga tidak sempat mengerjakan sawah dan ladang.2. Rakyat yang tidak memiliki tanah harus bekerja melebihi waktu yang ditentukan.3. Jatah tanah untuk tanaman berkualitas ekspor melebihi seperlima dari lahan garapan.4. Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib tetap dikenal pajak tanah.5. Setiap kelebihan hasil panen tidak dikembalikan lagi kepada petani.

6. Kegagalan panen tanaman wajib tetap menjadi tanggung jawab rakyat.

1. Rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
2. Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang berorientasi ekspor.

1. Kemiskinan serta penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.2. Beban pajak yang berat.3. Pertanian khususnya padi, banyak mengalami kegagalan panen.4. Kelaparan dan kematian terjadi di banyak tempat, seperti di Cirebon tahun 1843, sebagai akibat dari pemungutan pajak tambahan dalam bentuk beras, serta di Demak tahun 1848 dan di Grobogan tahun 1849 sampai 1850 sebagai akibat dari kegagalan panen.

5. Jumlah penduduk Indonesia mengalami penurunan.

Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel merupakan kebijakan yang diterapkan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch pada rentang tahun 1830-1835. Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengisi kekosongan kas Belanda akibat peperangan melawan Perancis dan membayar hutang-hutang VOC. Tanaman kopi dan rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa membawa dampak positif dan dampak negatif bagi bangsa Indonesia, yaitu:

  • Dampak positif: masyarakat Indonesia mengenal teknik pertanian baru di Indonesia.
  • Dampak negatif: rakyat Indonesia mengalami penderitaan yang cukup panjang karena harus bekerja keras memenuhi target tanam paksa.

Jadi, jawaban yang tepat adalah:

  • Dampak positif tanam paksa: Dikenalnya teknik pertanian baru di Indonesia.
  • Dampak negatif tanam paksa: Penderitaan bagi rakyat Indonesia yang harus bekerja keras memenuhi target tanam paksa.

tirto.id - Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch (1830-1833). Pemberlakuan tanam paksa menjadi salah satu periode kelam dalam sejarah Indonesia dan menuai kritik keras dari sejumlah kalangan.

Kebijakan Sistem Tanam Paksa ini dicetuskan pada 1830 atau ketika van Den Bosch mulai menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ketentuannya, setiap desa wajib menyisihkan 20 persen tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor yang ditentukan pemerintah kolonial, seperti kopi teh, tebu, dan nila.

Pada dasarnya, sistem ini adalah cara baru yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial untuk dapat mengeksploitasi sumber daya alam Hindia Belanda (Indonesia) demi kepentingan penjajah atau Kerajaan Belanda.

Cultuurstelsel dikeluarkan karena kebijakan sistem sewa tanah (landrente) yang diberlakukan pada masa Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811-1816) gagal memenuhi kebutuhan ekspor. Secara garis besar, tujuan dari Cultuurstelsel ialah untuk mengatasi krisis keuangan Belanda.

Kebijakan Cultuurstelsel ini akhirnya dihentikan setelah menuai protes keras dari berbagai kalangan yang melihat bahwa telah terjadi banyak penyelewengan dari pelaksanaan dari sistem tanam paksa.

Baca juga:

  • Sejarah Perang Diponegoro: Sebab, Tokoh, Akhir, & Dampak
  • Kronologi Sejarah Perang Padri: Tokoh, Latar Belakang, & Akhir
  • Sejarah Perang Aceh: Kapan, Penyebab, Proses, Tokoh, & Akhir

Latar Belakang & Tujuan Tanam Paksa

Dikutip dari Agnes Dian dalam penelitiannya berjudul "Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Jawa Tahun 1830-1870" (2006), kebijakan sewa tanah yang diterapkan pada era Raffles tak berjalan sebagaimana mestinya.

Alih-alih memperoleh keuntungan besar, sistem ini malah menimbulkan kerugian dengan turunnya pendapatan dari hasil pertanian.

De Klerck dalam History of the Netherlands East Indies (1987: 58), menuliskan bahwa sistem sewa tanah yang dikeluarkan Raffles gagal memberikan keuntungan bagi pemerintah dan rakyat.

Inilah yang kemudian menjadi dasar van Den Bosch mencetuskan sistem tanam paksa sejak ia mulai menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1830.

Selain itu, kebijakan tanam paksa dikeluarkan sebagai upaya untuk mengatasi krisis keuangan yang dialami Hindia Belanda maupun Kerajaan Belanda.

Wulan Sondarika dalam penelitian bertajuk "Dampak Cultuurstelsel (Tanam Paksa) Bagi Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870" dalam Jurnal Artefak, menyebutkan bahwa krisis keuangan itu terjadi dikarenakan untuk pemenuhan biaya Perang Jawa (Perang Diponegoro) tahun 1825-1830.

Kebijakan Cultuurstelsel pada dasarnya bertujuan untuk mengembalikan kondisi keuangan Belanda menjadi pulih selepas krisis usai perang Jawa. Selain itu, juga bertujuan untuk memberikan keuntungan yang besar bagi pemerintah kolonial.

Baca juga:

  • Penyebab Sejarah Pemberontakan DI/TII Daud Beureueh di Aceh
  • Sejarah Pemberontakan Andi Azis: Penyebab, Tujuan dan Dampaknya
  • Sejarah Pemberontakan DI/TII Amir Fatah di Jawa Tengah

Aturan Tanam Paksa

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo dalam Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial-Ekonomi (1991) yang dikutip dari Lembar Negara (Staatsblad) No. 22 Tahun 1834 menyebutkan Sistem Tanam Paksa dijalankan dengan aturan sebagai berikut:

  • Melalui persetujuan, penduduk menyediakan sebagian tanahnya untuk penanaman tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
  • Tanah yang disediakan untuk penanaman perdagangan tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
  • Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang dibutuhkan untuk menanam padi.
  • Bagi tanah yang ditanami tanaman perdagangan dibebaskan dari pajak tanah.
  • Apabila nilai hasil tanaman perdagangan melebihi pajak tanah yang harus dibayar, maka selisih positifnya harus diberikan kepada rakyat.
  • Kegagalan panen menjadi tanggung jawab pemerintah.
  • Penduduk desa mengerjakan tanah mereka dengan pengawasan kepala-kepala yang telah ditugaskan.

Baca juga:

  • Sejarah Penyebab Keruntuhan Kerajaan Samudera Pasai
  • Sejarah Proses Masuknya Agama Kristen Katolik ke Indonesia
  • Arti Gold, Glory, Gospel (3G): Sejarah, Latar Belakang, & Tujuan

Penyimpangan Tanam Paksa

Dalam prakteknya, terjadi banyak penyelewengan dalam pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, antara lain:

  • Tanah yang harus diserahkan rakyat melebihi ketentuan.
  • Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap terkena pajak.
  • Rakyat yang tidak punya tanah garapan harus bekerja di pabrik atau perkebunan milik kolonial selama lebih dari 66 hari.
  • Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak tidak dikembalikan.
  • Kerugian akibat gagal panen ditanggung oleh petani.

Salah satu penyebab terjadinya banyak praktek penyimpangan ini adalah para pejabat lokal yang tergiur janji dari pemerintahan kolonial yang menerapkan cultuur procenten.

Cultuur procenten (prosenan tanaman) adalah sistem pemberian hadiah oleh pemerintah kolonial kepada kepala pelaksana tanam paksa (penguasa lokal dan kepala desa) di daerah yang mampu menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan.

Baca juga:

  • Pemberontakan Sadeng vs Majapahit: Dendam Kematian Nambi
  • Sejarah Kabupaten Tuban Bermula dari Ronggolawe vs Majapahit
  • Kontroversi Sejarah Pemberontakan Ra Semi di Kerajaan Majapahit

Dampak Tanam Paksa

Robert Van Niel dalam Warisan Sistem Tanam Paksa Bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya (1988) menyebutkan, beberapa dampak dari Sistem Tanam Paksa.

Selain mempengaruhi tanah (kemudian dikaitkan dengan sistem ekonomi pedesaan) dan munculnya tenaga buruh yang murah, Cultuurstelsel juga berdampak terhadap munculnya pembentukan modal di desa.

Sistem tanam paksa juga telah menghancurkan desa-desa di Jawa karena telah memaksa mengubah hak kepemilikan tanah desa menjadi milik bersama dan dengan demikian merusak hakhak perorangan yang lebih dulu atas tanah.

Selain dampak negatif, Tanam Paksa juga menghasilkan dampak yang positif. M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) memaparkan bahwa terjadi penyempurnaan fasilitas, seperti jalan, jembatan, pelabuhan, pabrik dan gudang untuk hasil budidaya.

Baca juga:

  • Sejarah Kejayaan Kesultanan Mataram Islam Masa Sultan Agung
  • Sungai Citarum dan Banjir Jakarta dalam Sejarah Kerajaan Sunda
  • Sejarah Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara: Sebab, Peninggalan, Raja

Secara garis besar, dampak Cultuurstelsel dapat dikategorikan dalam beberapa aspek sebagai berikut:

Bidang Pertanian

  1. Penanaman tanaman komoditas di Hindia Belanda menjadi lebih massif dan luas, di antaranya kopi, teh, tebu, dan lain-lain.
  2. Meningkatkan kesadaran pemerintah kolonial untuk meningkatkan produksi beras.
Bidang Sosial

  1. Terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
  2. Terjadi bencana kelaparan di berbagai daerah.
  3. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat, namun justru menghambat perkembangan desa itu sendiri.
  4. Terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduk di desa-desa.
  5. Timbulnya kerja rodi, yakni kerja paksa bagi penduduk tanpa upah yang layak.
Bidang Ekonomi

  1. Pekerja mulai mengenal sistem upah. Sebelumnya, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotong royong terutama.
  2. Terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa.
  3. Hasil produksi tanaman ekspor bertambah dan mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian rakyat di kemudian hari.

Baca juga:

  • Sejarah Perundingan Roem-Royen: Latar Belakang, Isi, Tokoh
  • Sejarah Demokrasi Parlementer: Ciri-ciri, Kekurangan, & Kelebihan
  • Macam Teori Kekuasaan Negara Menurut John Locke & Montesquieu

Akhir dan Tokoh Tanam Paksa

Tokoh utama Sistem Tanam Paksa tentu saja adalah Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch yang merupakan pencetus kebijakan ini sejak 1830.

Selain itu, ada beberapa tokoh intelektual Belanda yang memprotes Cultuurstelsel karena terjadi banyak penyelewengan, seperti Eduard Douwes Dekker, Baron van Hoevell, Fransen van de Putten, dan lainnya.

Eduard Douwes Dekker, misalnya, merilis buku berjudul “Max Havelar" dengan nama samaran Multaltuli. Buku yang diterbitkan pada 1830 ini mengungkap berbagai penyelewengan tanam paksa dan penindasan pemerintah kolonial di Jawa.

Sedangkan Fransen van de Putte menerbitkan artikel bertajuk “Suiker Contracten" atau "Perjanjian Gula" yang amat merugikan kaum petani atau masyarakat lokal di Hindia Belanda.

Banyaknya protes dan reaksi yang muncul membuat pemerintah Belanda mulai menghapus Sistem Tanam Paksa secara bertahap. Cultuurstelsel resmi dihapuskan sejak 1870 berdasarkan Undang-Undang Agraria atau UU Landreform.

Baca juga:

  • Peninggalan Sejarah Kerajaan Majapahit: Situs Prasasti dan Candi
  • Sejarah Raden Wijaya Sang Raja Pertama Majapahit
  • Fitnah Pemberontakan Lembu Sora dalam Sejarah Majapahit

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Alhidayath Parinduri
(tirto.id - hdy/isw)


Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Alhidayath Parinduri

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA