Bagaimanakah cara penanganan kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU 26/2000”), yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia (“HAM”) yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sedangkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (“KKR”) yang Anda tanyakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (“UU 27/2004”).  Pasal 1 angka 3 UU 27/2004 menjelaskan sebagai berikut:

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang selanjutnya disebut Komisi, adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi.

Adapun yang dimaksud dengan rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.[1]

KKR ini dibentuk untuk menegakkan kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu (sebelum berlakunya UU 26/2000) di luar pengadilan dengan menempuh langkah-langkah berikut; pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain guna menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.[2]

Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”).[3]

Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui KKR yang kami sarikan dari wewenang KKR serta tugas dan wewenang subkomisi penyelidikan dan klarifikasi dalam KKR adalah sebagai berikut;[4]

  1. Penerimaan pengaduan, pengumpulan informasi dan bukti-bukti mengenai pelanggaran HAM yang berat dari korban atau pihak lain;

  2. Pencarian fakta dan bukti-bukti pelanggaran HAM yang berat;

  3. Mendapatkan dokumen resmi milik instansi sipil atau militer serta badan swasta, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri;

  4. Pemanggilan terhadap setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;

  5. Klarifikasi seseorang sebagai pelaku atau sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

  6. Penentuan kategori dan jenis pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU 26/2000;

  7. Pemutusan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi.

Selain itu diatur pula mengenai penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti sebagai berikut:[5]

  1. Dalam hal KKR telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran HAM yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, KKR wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan;[6]

  2. Keputusan tersebut dapat berupa mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi, atau memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti;[7]

  3. Rekomendasi permohonan amnesti, dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal keputusan sidang KKR, disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan;[8]

  4. Presiden kemudian meminta pertimbangan amnesti kepada DPR dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima;[9]

  5. DPR wajib memberikan pertimbangan amnesti dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal permintaan pertimbangan Presiden diterima;[10]

  6. Keputusan Presiden mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesti wajib diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pertimbangan DPR diterima;[11]

  7. Keputusan Presiden kemudian disampaikan kembali kepada KKR dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal diputuskan,[12] dan KKR menyampaikan keputusan Presiden tersebut kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal keputusan tersebut diterima oleh KKR.[13]

Sebagai catatan, jika pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan serta tidak bersedia menyesali, maka pelaku kehilangan hak mendapat amnesti dan yang bersangkutan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc.[14] Penjelasan lebih lanjut mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc dapat Anda simak dalam Mengenal Pengadilan HAM Ad Hoc.

Namun, yang perlu digarisbawahi dalam pembahasan mengenai KKR ini adalah bahwa UU 27/2004 yang menjadi dasar hukum pembentukan KKR telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menyatakan sebagai berikut (hal. 130-131):

Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum.

Dengan demikian, pada dasarnya KKR sudah tidak mempunyai dasar hukum lagi, namun sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas, hal ini tidak menutup adanya upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi dengan cara lainnya.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006.

[1] Pasal 1 angka 2 UU 27/2004

[2] Pasal 3 huruf a jo. Penjelasan Umum UU 27/004

[3] Pasal 1 angka 9 UU 27/2004

[4] Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 7 ayat (1) UU 27/2004

Kasus-kasus pelanggaran HAM yang ditangani oleh Komnas HAM, di antaranya sebagai berikut.

a. Kasus Liquisa di Timor Timur dan Kasus Timika di Irian Jaya

Dilakukan oleh Komnas HAM dan wewenang dari pimpinan TNI sesuai degan hukum disiplin serta tata tertib militer.

b. Pelanggaran HAM oleh sesama warga masyarakat seperti kasus Dili 1945

Ketika itu sekelompok penduduk setempat mengusir pendatang dari Sulawesi Selatan dan Pulau Jawa. Mereka membakar dan merusak rumah peribadatan penganut agama lain. Dalam kasus ini Komnas HAM menyatakan sikap yang tidak memihak dan mengeluarkan somasi.

c. Pelanggaran pemberian izin pertemuan semiloka

Perizinan ini untuk melakukan pertemuan semiloka yang dirasakan banyak penghambat pelaksanaan HAM/warga negara untuk berkumpul, mengeluarkan pendapat secara lisan atau tulisan. Akhirnya, Komnas HAM merekomendasikan dikeluarkannya keputusan bersama. Menhamkam dan Mendagri yang baru tentang pemberian izin/perizinan.

Referensi bacaan Hak Asasi Manusia Karya Sri Widayati, S.Pd

Depok - Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia kepada korban maupun keluarga korban hingga saat ini.

"Semua pihak yang berkepentingan perlu menyamakan persepsi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat," ucap Komisioner Komnas HAM RI Amiruddin dalam Seminar Pekan HAM Universitas Indonesia 2019 bertajuk "Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu: Pekerjaan Rumah yang Tak Terselesaikan?" yang diselenggarakan oleh BEM UI di Gedung Fakultas Hukum UI, Depok (5/12/2019).

Komnas HAM telah menangani 15 kasus pelanggaran HAM masa lalu. Tiga kasus diantaranya, Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura telah memiliki putusan pengadilan ad hoc namun tidak ada penetapan pelaku pelanggaran HAM berat pada kasus tersebut.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, sebut Amiruddin, belakangan ini tidak menunjukkan progress yang berarti. "Lima tahun terakhir, penyelesaian kasus pelanggaran HAM mangkrak karena yang bergerak hanya Komnas HAM," terangnya.

Padahal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa butuh komitmen bersama kebangsaan sekaligus perlu adanya dasar hukum sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dan pemenuhan hak korban.

Sementara itu, Amiruddin menyambut baik rencana Menkopolhukam Mahfud MD dalam penyelesaian HAM berat masa lalu. "Saya menyambut baik gagasan yang disampaikan Pak Menko. Pak Menko akan mencoba mengagas upaya baru untuk penyelesaian masalah hak asasi manusia. Kita menunggu gagasannya seperti apa," ujar Amir.


Menanggapi hal tersebut, dirinya mengatakan perlu memastikan dua hal terhadap gagasan tersebut. Yang utama, yaitu keadilan harus bisa dirasakan korban dan anggota keluarga. Yang kedua, memastikan proses berjalan terbuka sehingga semua pihak bisa melihat dan memantau proses tersebut.

Seminar tersebut juga dihadiri pembicara lain yaitu Arteria Dahlan (Anggota Komisi III DPR RI), Taufik Basari (Anggota Komisi III DPR RI), Junaedi Saibih (Wakil Sekjen ILUNI UI), M. Jibril Avessina (Ketua Policy Center ILUNI UI) serta Suryo Susilo (Forum Silahturahmi Anak Bangsa) dan diramaikan oleh peserta seminar yang berasal dari kalangan mahasiswa, akademisi, hingga aktivis pengiat HAM. (AM/IW)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA