Bagaimana sikap pemerintah kolonial Belanda terhadap petisi Sutardjo

Petisi Sutarjo – Sutardjo Kartohadikusumo adalah orang yang mencetuskan ide petisi di dalam Volksraad yang kemudian disebut dengan Petisi Sutarjo (Petisi Sutardjo). Sutarjo Kartohadikusumo adalah seorang ketua Persatuan Pegawai Beestur Bumi Putra (PPBB) dan bertindak sebagai wakil dari organisasi ini di dalam sidang Volksraad pada bulan Juli 1936. Petisi Sutarjo sendiri adalah petisi yang tidak berhubungan dengan PPBB. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat tentang sejarah Petisi Sutarjo.

Latar Belakang

Memasuki tahun 1930 Malaise nampaknya telah meresahkan segala aspek kehidupan tatanan masyarakat dunia, terutama sekali amat terasa di bidang ekonomi. Dampak Malaise juga merambah ke dalam tatanan kehidupan masyarakat kolonial Hindia-Belanda. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda sejak 1816 yang diperparah terutama sejak cultuur stelsel 1830 telah memperburuk kondisi ekonomi rakyat. 

Meskipun ada beberapa upaya untuk memperbaiki kondisi yang ada melalui beberapa kebijakan seperti sistem ekonomi liberal (1860), Undang-Undang Agraria (1870) maupun Politik Etis (1901), namun tidak satu pun diantaranya yang dapat menyelesaikan permasalahan menyoal merosotnya kehidupan masyarakat kolonial.

Krisis Malaise (1930) dan kebijakan reaksioner Gubernur Jenderal de Jonge (1931) semakin memperburuk situasi. Tidak hanya dalam tatanan yang luas dalam artian masyarakat saja, namun juga pada jajaran elit pergerakan nasional sangatlah terasa kebijakan represif itu. Hal ini dapat terlihat dari perlakuan pemerintah terhadap PNI, mencurigai, penggeledahan dan penangkapan sewenang-wenang dilakukan untuk membungkam pergerakan Nasional. 

Di dalam Volksraad (Dewan Rakyat) dari golongan bumi putera bereaksi terhadap kebijakan pemerintah itu. Pertama-tama Moh. Husni Thamrin memprakarsai membentuk Fraksi Nasional (1930). Memasuki tahun 1936 bentuk perjuangan lainnya yang dilakukan adalah melalui Petisi Sutarjo. Petisi Sutarjo adalah salah satu bentuk perjuangan yang bersifat kooperatif terhadap pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.

Petisi Sutarjo muncul dikarenakan oleh beberapa faktor yaitu faktor politik, ekonomi, dan sosial. Di bawah ini adalah faktor-faktor yang menjadi latar belakang Petisi Sutarjo;

Faktor Politik

Pada tahun 1930-an di Hindia-Belanda telah terjadi perubahan politik terutama setelah Bonifacius C. de Jonge diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Bonifacius C. de Jonge merupakan seorang mantan Menteri Peperangan dan Direktur Royal Dutch Shell. Gubernur Jenderal de Jonge adalah orang yang menentang segala bentuk nasionalisme dan tidak ingin melihat Volksraad memainkan peranan penting di Hindia-Belanda. Rapat-rapat dan agenda-agenda politik yang dilakukan oleh kalangan bumiputera sering kali dibubarkan oleh pihak polisi dan para pembicaranya ditangkap.

Menurut de Jonge, kaum nasionalis adalah musuh yang berusaha untuk menerobos dan merobohkan pemerintahan kolonial yang sedang diemban dan dijalankannya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain selain melumpuhkan pergerakan yang kaum nasionalis lakukan. Menurut de Jonge, dengan melumpuhkan pergerakan nasional yang radikal dan non-kooperatif maka dengan begitu maka musuh dapat disingkirkan dan tidak akan mengancam pemerintahan. Secara tidak langsung de Jonge juga memaksa setiap kelompok pergerakan nasional untuk bersikap kooperatif kepada pemerintah. 

Hal ini diharuskan agar tidak ada gerakan rakyat yang anti-Belanda dan tidak ada segala bentuk perbuatan yang anti-pemerintah. Semua orang di negeri jajahan dalam segala bentuk geraknya harus bersikap loyal (setia) terhadap pemerintah. Apabila terdapat tindakan yang menunjukkan sikap yang tidak loyal terhadap pemerintah akan diancam dengan melakukan pembubaran, penangkapan atau bahkan pembunuhan.

Keadaan ekonomi yang buruk sejak 1930 semakin menambah kekhawatiran Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda sebab rakyat akan menjadi orang yang peka akan situasi dan akan mudah pula dipengaruhi oleh para pemimpin pergerakan yang mencoba untuk memanfaatkan situasi ekonomi yang memburuk demi pergerakan nasional. Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya hal seperti ini maka pemerintah menindak partai-partai yang bersikap non-koperatif dan salah satunya adalah PNI.

Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda menerapkan kebijakan yang sangat represif sehingga pergerakan nasional menjadi mandek dan mulai kehabisan nafasnya. Pemerintah berusaha melakukan kontrol ketat dengan memperkuat Politieke Inlichtingen Dienst atau Dinas Rahasia yang berusaha mencari dan menelusuri berita sedetail mungkin hingga memperoleh kepastian bahwa seseorang dicurigai dan seterusnya dikenakan sangsi pembuangan. Tempat-tempat pengasingan atau pembuangan ini yang terutama adalah Boeven Digul, kemudian Bangka, Biliton, Ende, Bandaneira, Bengkulu, Padang, dan lain-lainnya.

Gubernur Jenderal de Jonge melakukan penangkapan-penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin politik dengan berbagai cara. Pemimpin politik yang ditangkap antara lain yaitu Soekarno ditangkap dan diasingkan ke Flores kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Sedangkan Moh. Hatta dan Sutan Sjahrir diasingkan ke Boeven Digul. 

Sementara itu dilakukan penekanan secara terus-menerus terhadap pertemuan-pertemuan atau tokoh-tokoh pergerakan, dan penggledahan di mana semua ini bertujuan untuk menghancurkan partai-partai yang dianggap non-kooperatif atau radikal. Politik keras yang dijalankan oleh de Jonge dapat dikatakan berhasil meredam pergerakan nasional. Hal ini dapat terlihat ketika partai-partai mulai kehilangan anggotanya dan kontak dengan masyarakat umum mulai menghilang. 

Di dalam upaya untuk menghindari  agar pergerakan nasional tidak mengalami kepunahan atau kehancuran maka para tokoh pergerakan mencari taktik dan strategi perjuangan yang baru guna menghadapi kebijakan yang kian represif itu. Salah satu caranya dengan mengadakan kerjasama antar organisasi-organisasi pergerakan nasional dan bersifat lunak terhadap Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.

Penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap para pemimpin politik bumiputera, mengakibatkan muncul beragam reaksi dari golongan masyarakat. Di dalam Dewan Rakyat (Volksraad) pada bulan Januari 1930, Muh. Husni Thamrin  pemimpin kaum Betawi membentuk kelompok yang disebut dengan Fraksi Nasional (Nationale Fractie) yang anggotanya berasal dari Jawa dan luar Jawa. 

Tujuan dari Fraksi Nasional yaitu untuk memperjuangkan otonomi Indonesia di dalam kerjasama dengan Belanda. Sedangkan di Surabaya pada bulan Oktober 1930 Sutomo mereorganisasi Study Club-nya menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Organisasi ini beralih ke bidang-bidang kegiatan ekonomi dan sosial di Jawa Timur, seperti mendirikan balai-balai pengobatan-pengobatan, asrama-asrama mahasiswa, bank-bank desa, biro-biro penasihat, dan lain-lain.

Berubahnya strategi pergerakan nasional dalam menghadapi kebijakan represif Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, partai-partai yang ada pada waktu itu kemudian terpaksa mengurangi sikap kerasnya kepada pemerintah, sehingga setelah periode tahun 1930 partai-partai pada umumnya bersifat lunak atau moderat. Partai-partai yang bersikap lunak dan moderat ini tidak ditekan dan dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, justru malah dibiarkan tetap ada. Hal ini dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, sebab;

  1. Semangat demokrasi yang tumbuh menyala sesudah Perang Dunia I, mendorong pemerintah membiarkan adanya partai-partai sekedar sebagai dalih bahwa di koloni hak-hak demokrasi dijamin. Apabila pergerakan sama sekali dilarang, mungkin aspirasi rakyat akan disalurkan lewat kekerasan;
  2. Partai-partai yang moderat meskipun tujuannya tetap Indonesia merdeka, tetapi gerak-gerik mereka menaati peraturan yang ada; dan
  3. Ada kemungkinan partai-partai itu dapat diajak kerjasama menghadapi bahaya dari luar.

Selain partai-partai dan organisasi-organisasi pergerakan yang diawasi, pers yang ada di Hindia-Belanda pada waktu itu juga tidak luput dari pengawasan yang ketat dari Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Apabila diketahui tulisan-tulisan yang dimuat bertujuan untuk menentang Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda, maka akan dibekukan dan tidak boleh beroperasi lagi. Pembekuan terhadap pers ini membuat rakyat semakin tidak mengetahui arah dan perkembangan pergerakan nasional.

Nyatanya memang, pergerakan nasional tahun 1930-an telah meninggalkan prinsip non-kooperasi dan bergerak melalui jalur parlemen, menerima dan duduk di dalam Volksraad. Pidato, orasi-orasi politik yang membakar semangat rakyat kini sudah tidak ada lagi, sebaliknya kaum moderat memilih jalan parlemen untuk memperjuangkan kemerdekaan. Keadaan seperti ini terjadi karena kekuatan fisik telah dilumpuhkan dan yang ada tinggal idealisme yang tinggi dan semangat untuk tetap mengkomunikasikan cita-cita kebangsaannya.

Setelah tahun 1934, gerakan antikolonialisme radikal yang didasarkan pada asas nonkooperasi benar-benar padam. Tetapi metode-metode yang bersifat kooperasi belum sepenuhnya tertutup. Ide-ide nasionalis dan perasaan tidak puas terhadap pemerintahan kolonial Belanda juga dirasakan oleh kelompok-kelompok yang dekat dengan pemerintah. Mereka inilah yang duduk di Volksraad dan perjuangannya dapat dilihat dari usulan yang mereka ajukan kepada pemerintah Belanda pada tahun 1936 yang terkenal dengan nama Petisi Sutarjo.

Petisi Sutarjo diajukan juga berdasarkan atas apa yang telah dijanjikan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda terhadap koloni Hindia-Belanda bahwa Hindia-Belanda sederajat dengan Belanda. Hal ini dapat dilihat pada tahun 1918 ketika Parlemen Belanda melakukan perubahan Undang-Undang Dasar. Dalam perubahan tersebut pemerintah Belanda tidak lagi menyebutkan bahwa Hindia Belanda sebagai miliknya melainkan sederajat. Tetapi pada kenyataan tidak banyak perubahan yang terjadi, kecuali hanya dengan munculnya Volksraad sebagai Dewan Rakyat yang tidak memiliki wewenang yang sebenarnya tidak berarti apa-apa. 

Dewan Rakyat ini hanya sebagai tempat bersuara partai politik yang berhaluan kooperasi, bersama wakil dari golongan Belanda, Cina, dan Arab. Dengan alasan inilah Soetardjo dan teman-temannya menuntut agar Hindia-Belanda memiliki parlemen sendiri dan diberi kedudukan yang sama dengan Kerajaan Belanda (Dominion Status). Sebagai landasan usulan Petisi Sutarjo adalah pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda yang berbunyi bahwa kerajaan Nederland meliputi wilayah Nederland, Hindia-Belanda, Suriname, dan Curacao. Wilayah-wilayah ini dianggap oleh para penandatangan Petisi Sutarjo terutama Soetarjo mempunyai derajat yang sama dengan Nederland.

Faktor Ekonomi

Perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat pada tahun 1929 mengalami depresi sebagaimana memuncak pada tahun 1930 dan menyebar ke wilayah-wilayah lainnya termasuk Hindia-Belanda. Hal inilah yang menyebabkan lembaga-lembaga perekonomian ambruk, bank-bank tutup, dan pabrik serta perusahaan perkebunan bangkrut.

Pada bulan Oktober 1929 Hindia-Belanda menjadi negara pengekspor, terutama minyak bumi dan pertanian. Ini dapat dilihat dari tahun 1930 di mana produk-produk Hindia-Belanda seperti minyak bumi dan pertanian diekspor sebanyak 52 % ke negara-negara industri Eropa dan Amerika Utara. Krisis ekonomi yang ada di kedua negara ini berakibat diberlakukannya kebijakan proteksi (politik melindungi) secara menyeluruh dan harga-harga yang menurun.

Harga rata-rata barang ekspor Hindia-Belanda menurun drastis pada tahun 1929. Volume ekspor juga mengalami penurunan karena menciutnya pasar dan diberlakukannya kebijakan proteksi. Hal ini menimbulkan dampak yang luas seperti industri minyak bumi menambah produksinya untuk mengatasi harga- harga yang sedang turun. Selain minyak bumi juga diberlakukan pada penjualan produksi karet, kopra, dan hasil tanam lainnya. 

Pada tahun 1932 harga karet hanya 16 % dari harga pada tahun 1929, selain itu harga gula juga mengalami penurunan yang sangat dratis. Penurunan harga gula membuat lahan garapan tebu dikurangi dengan capat dan ini membuat para pekerja diberhentikan dan gaji yang dibayarkan dalam industri gula berkurang sampai 90 %. 

Orang-orang Jawa yang bekerja di Sumatra Timur mulai kembali kedaerahnya karena kesempatan kerja sudah tidak ada lagi. Pada tahun 1930 ada 336.000 pekerja kebun di Sumatra Timur, tetapi pada tahun 1934 terjadi penurunan jumlah pekerja yaitu menjadi 160.000 pekerja. Hal ini berakibat pada penurunan pendapatan Indonesia di luar Jawa yang merosot tajam di banding dengan daerah di Jawa.

Turunnya barang-barang ekspor menyebabkan impor Hindia-Belanda juga mulai dikurangi, termasuk bahan makanan. Pendapatan pemerintah yang diperoleh dari retribusi dan pajak terhadap pemasukan dan pengeluaran membuat Batavia menghadapi krisis pendapatan. Selain itu juga dikarenakan pajak tanah yang dibayarkan rakyat Indonesia kepada pemerintah Belanda mengalami penurunan.

Jumlah perusahaan Barat juga mengalami penyusutan, dari 178 pabrik gula yang ada pada tahun 1928, tinggal 50 buah yang bekerja pada tahun 1934. Areal tebu menyusut dari 200.000 ha pada tahun 1931 menjadi 34.200 ha pada tahun 1934 atau produksinya menurun dari 2.923.550 ton menjadi 636.104 ton. 

Selain itu juga terjadi penyusutan pegawai dan buruh musiman dari 129.249 pada tahun 1928 menjadi 28.632 pada tahun 1934. Kesulitan semakin kompleks di perkebunan tebu karena berkurangnya sewa tanah dan ini disampaikan di dalam Volksraad oleh Direktur Perkebunan. Harga barang kebutuhan merosot tajam, demikian pula dengan harga beras turun dari f 7,50 menjadi f 2,50 setiap pikul dan ini membuat penghasilan para petani susut sekitar 60 %.

Keadaan ekonomi seperti ini membuat Hindia-Belanda pada awal tahun tiga puluhan ekonominya semakin memburuk. Terjadi pengurangan-pengurangan kesempatan kerja, pemotongan gaji, turunnya harga-harga hasil pertanian dan rendahnya upah. Semua ini juga akibat dari satu pihak yang menjalankan penghematan secara besar-besaran dan lain pihak hendak mempertahankan pendapatan ekspor terutama yang diperoleh dari hasil perkebunan.

Penderitaan yang dialami oleh rakyat dari segi perekonomian ini telah mendorong berbagai lapisan rakyat yang berasal baik dari organisai-organisasi maupun partai-partai untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada. Pelepasan penderitaan rakyat ini juga diperjuangkan oleh anggota Volksraad yang duduk dekat dengan pemerintah Hindia Belanda. Perjuangannya dilakukan dengan pengajuan Petisi Sutarjo, yang ditandatangani oleh berbagai golongan masyarakat yang ada.

Kerjasama ekonomi antara Hindia-Belanda dengan Pemerintah Kerajaan Belanda akan berjalan dengan lancar dan saling menguntungkan apabila diadakan perubahan susunan ketatanegaraan sebagaimana yang diusulkan oleh Petisi Sutarjo. Dengan ekonomi yang stabil maka penderitaan rakyat akan berkurang, hal inilah yang akan diperjuangkan melalui Petisi Sutarjo.

Faktor Sosial

Keadaan ekonomi yang memburuk membuat pemerintah Belanda mulai mengurangi pengeluaran untuk tanah jajahannya. Hal ini dilakukan supaya pemerintah tidak mengalami kerugian yang besar, tetapi masih dapat mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari tanah jajahannya tersebut. Ekonomi yang buruk juga menimpa perusahaan-perusahaan besar, akibatnya mereka menurunkan upah tenaga kerja dan melakukan pemecatan secara besar-besaran, hal ini membuat rakyat semakin menderita.

Pemutusan hubungan kerja tidak hanya terjadi di Jawa tetapi juga terjadi di daerah lain, seperti Deli. Para pekerja Deli ini pun terpaksa pulang dengan membawa kesengsaraan dan kemiskinan. Di Sumatra dan Kalimantan petani karet mengalami depresi karena tindakan pemerintah yang membatasi produksi karet rakyat. Pembatasan ini juga semakin membuat rakyat menderita dengan diberlakukannya pajak yang sangat tinggi terhadap mereka.

Pada akhir Desember 1935 pajak yang dikenakan mencapai 95 % dan ini berarti rakyat hanya mendapatkan dua sen saja dari setiap kilogram karet. Kelaparan yang terjadi di Siak semakin membuat kerusuhan meningkat. Tetapi kerusuhan ini dapat diatasi oleh pemerintah. Selain itu dengan turunnya harga penjualan beras membuat para petani harus melakukan penghematan untuk keperluan sehari-hari, seperti makan dan membeli pakaian. 

Para pekerja Indonesia cenderung kembali ke pertanian untuk menyambung hidupnya, namun banyak di antaranya tidak memiliki kesempatan itu sama sekali. Sebagian lahan yang tidak digunakan untuk produksi gula digunakan kembali untuk produksi padi, tetapi peningkatan produksi padi tidak sepenuhnya dapat menyediakan keperluan makanan dan pekerjaan bagi populasi yang terus menerus bertambah. Ketersediaan bahan makanan untuk per kapita menurun dari tahun 1930-1934, sehingga tidak diragukan lagi kesejahteraan rakyat Indonesia menurun.

Para petani yang ada disekitar perkebunan-pekerbunan besar juga mengalami penderitaan. Di daerah tembakau misalnya, petani dilarang menanam kacang tanah oleh karena penyakit tanaman ini dapat merusak tembakau. Jika tiba masanya untuk menanam bagi perkebunan, maka petani harus segera mengosongkan tanahnya. Sekalipun tanamannya sendiri masih terlalu muda untuk dipanen. Dengan demikian maka para petani kehilangan kemerdekaannya untuk mengolah tanahnya sendiri. Selain itu harga sewa tanah pada waktu itu juga sangat tidak adil bagi para petani.

Sistem pendidikan pada waktu itu bertujuan untuk menghasilkan tenaga-tenaga pribumi bagi pemerintah dan perusahaan asing. Ini dimaksudkan agar jumlah tenaga impor yang sangat mahal terutama yang berasal dari negeri Belanda dapat dibatasi dan pemerintah dapat melakukan penghematan dengan menggunakan tenaga pribumi yang murah.

Sistem pendidikan telah membuat orang pribumi keliru dalam mempergunakan tenaga dan pikirannya karena telalu menghargai jabatan pegawai negeri. Banyak anak golongan menengah setelah menyelesaikan pendidikannya lebih suka bekerja pada pemerintah atau perusahaan Belanda. Seharusnya mereka membantu perkembangan bangsa Indonesia kedepannya, karena pendidikan dapat membantu perkembangan penduduk di bidang kebudayaan, sosial dan ekonomi.

Peraturan Toezicht ordonnantie (Ordonansi Pengawasan) dalam politik de Jonge sangat kurang memberi kesempatan bagi pribumi untuk menuntut pelajaran dan kebebasan pengajaran terancam. Ini membuat rakyat Indonesia yang tidak memperoleh pendidikan semakin mengalami keterpurukan dan mudah terhasut. Kondisi yang semacam ini telah mempertajam garis pemisah antara bangsa Belanda dan Indonesia menurut warna kulitnya. Kekayaan yang diperoleh bangsa Belanda dan sikapnya yang semakin tertutup semakin menjauhkan mereka dari rakyat.

Kondisi sosial rakyat yang memprihatinkan telah mendorong orang-orang Indonesia yang duduk di kursi Dewan Rakyat untuk menuntut suatu perubahan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar rakyat terlepas dari penderitaan. Mereka memberikan suatu usulan yang terkenal dengan nama Petisi Sutarjo. 

Dalam Petisi Sutarjo diperjuangkan kedudukan bangsa Indonesia agar sederajat dengan Belanda, sehingga tidak ada lagi jenjang sosial yang tinggi. Maksud dari persamaan derajat ini agar terjadi bentuk kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak baik Indonesia maupun Belanda. Dengan demikian beban rakyat akan berkurang dan kehidupan yang sejahtera akan tercapai.

Jadi, Latar belakang dari munculnya Petisi Sutarjo dan yang dijadikannya sebagai landasan adalah Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda yang berisi bahwa Kerajaan Belanda yang meliputi wilayah Nederland, Hindia-Belanda, Suriname, dan Curacao, menurut Sutarjo memiliki derajat yang sama. Usulan itu didukung oleh Ratu Langie, Datuk Tumenggung, Alatas, I. J. Kasimo dan Ko Kwat Tiong. Dukungan ini menurut Sutarjo mencerminkan keinginannya bahwa usul petisi didukung oleh berbagai golongan suku bangsa dan agama yang ada di Indonesia.

Usul petisi yang kemudian dikenal dengan nama Petisi Sutarjo, diajukan pada tanggal 15 Juli 1936 kepada pemerintah, Ratu serta Staten Generaal. Adapun isi petisi ialah permohonan upaya diselenggarakan suatu musyawarah  antara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda di mana anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama. Tujuannya adalah untuk menyusun suatu rencanya yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri sendiri dalam batas Pasal 1 Undang-Undang Dasar Kerajaan Belanda. Pelaksaannya akan dijalankan secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun atau berdasarkan waktu yang akan ditetapkan di dalam sidang permusyawaratan itu.

Usulan yang menyangkut perubahan susunan ketatanegaraan ini timbul karena semakin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap pemerintah akibat dari kebijakan-kebijakan politik yang dijalankan oleh Gubernur Jenderal de Jonge. Menurut Sutarjo, hubungan baik antara Indonesia dengan Belanda perlu ditingkatkan untuk kepenting kedua belah pihak terlebih adanya bayang-bayang pecahnya Perang Pasifik terutama ketika Jepang mulai menunjukkan powernya di Asia Timur. Hubungan ini akan berhasil apabila diusahakan perubahan-perubahan itu dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:

  1. Pulau Jawa dijadikan satu provinsi, sedangkan daerah-daerah di luar Pulau jawa dijadikan kelompok-kelompok daerah (groeps-gemeen-schapen) yang bersifat otonom dan berdasarkan demokrasi;
  2. Sifat dualisme dalam pemerintahan daerah (binnelandsbestuur) dihapus;
  3. Gubernur Jenderal diangkat oleh Raja dan mempunyai hak kekebalan (onschendbaar);
  4. Direktur Departemen mempunyai tanggung jawab;
  5. Volksraad dijadikan parlemen yang sesungguhnya;
  6. Raad van Indie, anggota-anggota biasa dan seorang Vice President diangkat oleh raja; di samping itu ketua dan wakil ketua Volksraad sebagai anggota mempunyai hak suara;
  7. Dibentuknya Dewan Kerajaan (Rijksraad) sebagai badan tertinggi antara negeri Belanda dan Indonesia, yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil kedua daerah dengan satu pimpinan yang diangkat, pimpinan bukan seorang menteri atau direktur atau salah seorang dari ketua parlemen;
  8. Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang karena kelahiran, asal-usul, dan cita-citanya adalah untuk Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang dilahirkan di sini diadakan seleksi yang ketat.

Usulan yang dikeluarkan melalui Petisi Sutarjo dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan umumnya mendapatkan reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda. Pers Belanda, seperti Preanger Bode, Java Bode, Het Bataviaasch Niewsblad, menuduh usul petisi sebagai suatu “permainan yang berbahaya”, revolusioner, belum waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan. Golongan reaksioner untuk berdiri sendiri menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan peran rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sudah mampu untuk mengurus segala sesuatunya.

Pihak Indonesia baik di dalam maupun di luar Volksraad reaksi terhadap usul petisi juga beragam. Beberapa anggota Volksraad berpendapat bahwa isi petisi kurang jelas, kurang lengkap, dan tidak mempunyai kekuatan. Pers bumiputera seperti surat kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli dan majalah Soeara Katholik memberikan dukungan terhadap usul Petisi Sutarjo. Oleh karena itu usul petisi dengan cepat tersebar luas di kalangan rakyat. 

Sebelum sidang Volksraad membicarakan secara khusus, kebanyakan pers bumiputera mendukung usulan Petisi Sutarjo. Menurut harian Pemandangan, saat usul ini diajukan adalah pada waktu yang sangat tepat, yaitu saat akan digantinya Gubernur Jenderal de Jonge dengan Gubernul Jenderal Tjarda yang menurut pendapat waktu itu Tjarda berpaham liberal.

Akhirnya, tanpa pemilihan suara dalam sidang Volksraad, usul petisi diterima untuk dibicarakan dalam sidang khusus yang dimulai tanggal 17 September 1936. Dari perdebatan yang dilakukan di dalam Volksraad, di samping kelompok pengusul sendiri, terdapat tiga kelompok yang mempunyai pendapat yang berbeda-beda bahkan dalam tiap kelompok itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat. Berikut adalah beberapa kelompok yang memberikan pendapatnya atas usulan Petisi Sutarjo;

  1. Kelompok van Helsdingen-Notosoeroto, terdiri dari wakil-wakil: Christelijke Staatspartij (CSP), Vaderlandsche Club, Ondernemersgroep, Indische Katholieke Partij, dan beberapa anggota partai/organisasi lainnya yang menolak usul petisi karena rakyat Indonesia dianggap belum mampu untuk berdiri sendiri. Menurut van Helsdingen (wakil CSP) mengusulkan supaya dibentuk suatu komisi (staatscommissie) yang terdiri dari wakil-wakil Indonesia dan Belanda yang ahli dalam urusan jajahan dengan tugas mengontrol tindakan Menteri Jajahan. Anggota Volksraad ini juga membantah adanya persatuan antara suku bangsa di Indonesia (seperti yang diakui oleh Sutarjo), yang menurut pendapatnya hanya ada bila diikat oleh Pax Neerlandica;
  2. Kelompok Sukardjo Wirjopranoto, yang terdiri dari beberapa anggota Fraksi Nasional, yang dengan tegas menolak usul petisi karena tidak ada gunanya. Soekardjo Wirjopranoto sendiri berpendapat bahwa petisi ini dapat melemahkan bahkan mematikan cita-cita Indonesia Merdeka. Dengan keras ia bahkan menuduh Sutarjo menjalankan politik “opportunistische politiek”;
  3. Kelompok Suroso, yang terdiri dari wakil-wakil Fraksi Nasional, Politiek Economische Bond (PEB), Indo-Europeesch Verbond (IEV), dan beberapa nasionalis lainnya, berpendapat bahwa Indonesia sudah cukup matang dan sudah sepantasnya pemerintah Kerajaan Belanda memberikan lebih banyak hak-hak kepada Indonesia. Indo-Europeesche Verbond pada tahap pertama meminta supaya dibentuk suatu Dewan Kerajaan (Rijksraad), anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Indonesia dan Belanda, yang bertugas akan menimbang setiap perselisihan antara Indonesia dan Belanda.

Di dalam membela usul petisi, Sutarjo mengatakan keadaan dalam negeri sebenarnya bukanlah masalah primer tetapi sekunder. Masalah yang pokok adalah hubungan kerajaan dengan negeri jajahan, Indonesia harus berdiri sendiri sehingga dapat berkembang ke arah yang lebih maju. Masalah-masalah yang bersifat internasional dan yang menjadi kepentingan bersama akan tetap diurus oleh Kerajaan Belanda.

Pada 29 September 1936 selesai sidang perdebatan, diadakanlah pemungutan suara, di mana petisi disetujui oleh Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju sedangkan 20 suara menolak usulan itu. Pada 1 Oktober 1936 petisi yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirimkan kepada Ratu Belanda, Staaten General, dan Menteri Jajahan di negeri Belanda. Sementara itu, reaksi terhadap usulan petisi juga terjadi di dalam masyarakat. Berikuat adalah reaksi dan tanggapan yang muncul terhadap Petisi Sutarjo;

Reaksi Terhadap Petisi Sutarjo

Bagaimana sikap pemerintah kolonial Belanda terhadap petisi Sutardjo
Sutarjo Kartohadikusumo

Dr. J. M. Somer berpendapat bahwa menurut keadaan dan interpretasi sejarah, pasal 1 UUD Kerajaan Belanda yag menjadi landasan petisi, adanya hanyalah karena terpaksa, sebab Kerajaan Belanda tidak pernah terdiri dari empat wilayah tersebut. J. W. Mayer Ranneft, mantan Vice President Raad van Indie, berpendapat bahwa kerjasama antar-golongan di Indonesia akan berkembang dengan baik apabila ada kepastian bahwa Indonesia akan berdiri sendiri. Adalah sudah waktunya diadakan perubahan-perubahan ke arah kemajuan bagi pemerintahan di Indonesia. 

Pendapat yang hampir sama juga diberikan oleh W. G. Peekema dalam laporannya kepada pemerintah, W. G. Peekema meminta supaya dibentuk suatu komisi kenegaraan untuk menyelidikinya. Sementara Haji Agus Salim, yang menyetujui usul petisi, menyarankan kepada Sutarjo agar dibentuk suatu organisasi yang berusaha untuk mendapat sokongan dari tiap-tiap usul Indonesia berdiri sendiri.

Sewaktu anggaran belanja Indonesia (Indische Begrooting) tahun 1937 dibicarakan di dalam Staten Generaal pada Februari 1937, Petisi Sutarjo pun juga akan dibicarakan. Akan tetapi, keputusan apakah petisi akan diterima atau ditolak masih menunggu saran-saran dari Gubernur Jenderal di Indonesia. Pada Mei 1937 di Jakarta dibentuklah Komite Petisi Sutarjo (CPS) yang akan memperjuangkan petisi tersebut.

Untuk memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad bulan Juli 1937 Sutarjo kembali mengajukan usul rencana apa yang sebaiknya dijalankan pemerintah Kerajaan Belanda dalam usaha menuju Indonesia berdiri sendiri. Rencana tersebut dibagi ke dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul tersebut wakil Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan di Indonesia, tetapi karena usul itu amat luas, penyelesaiannya berada di tangan pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.

Pada 4 Oktober 1937, di Jakarta dibentuk Central Comite Petisi Sutarjo (CCPS), dan di daerah-daerah dibentuk cabang CCPS. Dalam CCPS tidak terdapat anggota-anggota Parindra dan orang Indo-Belanda yang menyokong petisi. Mr. Sartono yang menjadi anggota CCPS berpendapat Petisi Sutarjo menuju ke arah kemajuan bagi Indonesia.

Untuk mendapatkan dukungan dari berbagai partai dan golongan terhadap petisi, CCPS pada tanggal 21 November mengadakan suatu rapat bersama dengan mengundang wakil-wakil Parindra, Gerindo, Pasundan, Persatuan Arab Indonesia, Persatuan Minahasa, Perkumpulan Politik Katholik Indonesia (PPKI). PSII dan organisasi-organisasi serta pemimpin yang mendukung petisi. 

PSII karena tidak menyetujui petisi tidak mengirimkan wakilnya pada rapat itu. Selanjutnya pada 28 November 1937 suatu rapat umum kembali diadakan di Jakarta. Dalam rapat itu Amir Sjarifuddin, salah seorang tokoh Gerindo, menyatakan bahwa petisi ini sudah salah jalan, yaitu dari atas (Volksraad) turun ke bawah (rakyat) bukan seperti biasanya dari rakyat ke Volksraad.

Pendukung Petisi Sutarjo

Di bawah ini adalah organisasi-organisasi, kelompok-kelompok yang mendukung usulan Petisi Sutarjo;

Pers Indonesia yang Mendukung Petisi Sutarjo

Pers Indonesia atau bumiputera seperti surat kabar Pemandangan, Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, dan majalah Soeara Katholik. Dukungan terhadap petisi dibuktikan dengan menyebarluaskan usul petisi, sehingga dengan adanya dukungan dari pers Indonesia terhadap Petisi Sutarjo ini maka mempercepat tersebarluasnya usul Petisi Sutarjo di kalangan rakyat umum. Dengan demikian rakyat dapat mengetahui dengan jelas dan memberi dukungan terhadap petisi agar diterima pemerintah kolonial dengan harapan penderitaan mereka akan berkurang atau bahkan tidak ada lagi apabila Petisi Sutarjo diterima oleh pemerintah.

Surat kabar Pemandangan mendukung atau menyokong Petisi Sutarjo karena petisi diajukan sangat tepat yaitu di saat akan digantinya Gubernur Jenderal de Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda yang dianggap lebih berpaham liberal. Surat kabar Pemandangan juga memuat semua pembicaraan di Volksraad yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini memudahkan rakyat di dalam memahami pengajuan Petisi Sutarjo kepada Volksraad serta mengikuti jalannya pembicaraan dalam Volksraad.

Pergerakan Penyadar

Pergerakan penyadar adalah perpecahan dari Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Anggota PSII yang mendirikan Pergerakan Penyadar ini keluar dari PSII karena pada awalnya berasal dari tindakan Abikusno Tjokrosujoso yang tidak memasukan Haji Agus Salim dalam jajaran pengurus PSII dan ini mengakibatkan pecahnya anggota PSII. Perpecahan di dalam tubuh PSII mengundang banyak keprihatinan para pemimpin partai.

H. Agus Salim dengan segenap kesungguhannya mencoba menyadarkan teman-teman seperjuangannya akan bahaya yang akan muncul akibat perpecahan tersebut. Bersama yang lain gagasan untuk menyadarkan teman- teman seperjuangannya kemudian dilembagakan dalam satu organisasi baru yaitu Barisan Penyadar PSII.

Pada tanggal 30 November 1936 diadakan musyawarah untuk memutuskan dan menetapkan bahwa Barisan Penyadar PSII telah memisahkan diri dari PSII dan mendirikan satu organisasi yang berdiri dengan nama Pergerakan Penyadar. Selain mempunyai kegiatan yang bersifat ekonomi, Pergerakan Penyadar juga mempunyai kegiatan yang bersifat politis.

Kegiatan politik mereka dapat dilihat dari usaha Pergerakan Penyadar untuk mengumpulkan tanda tangan dalam rangka menguatkan usulan yang disampaikan oleh Sutardjo dan teman-temannya dalam Volksraad tanggal 15 Juli 1936. Pergerakan Penyadar mendukung Petisi Sutarjo dari Persatuan Pegawai-pegawai Binnelands Bestuur (PPBB) karena petisi ini berisi tuntutan yang sejalan dengan sikap Haji Agus Salim dan Mohamad Roem yang meminta agar dalam waktu sepuluh tahun diadakan konferensi untuk membicarakan Hindia-Belanda berdiri sendiri.

Latar belakang dukungan Pergerakan Penyadar tehadap Petisi Sutarjo sebenarnya adalah agar Pergerakan Penyadar memperoleh legitiminasi politik dan landasan bergerak. Ini dilakukan karena menghebatnya penindasan terhadap gerakan kemerdekaan, jangankan menyebut kata “merdeka” menyebut kata “Indonesia” saja dilarang terlebih lagi jika diketahui dekat dengan anggota partai politik.

Partai Arab Indonesia (PAI)

Petisi Sutarjo mendapat dukungan dari Partai Arab Indonesia melalui putusan konggresnya yang kedua di Surabaya pada tanggal 25  Maret 1937. Dalam program politik Partai Arab Indonesia itu antara lain diputuskan hal-hal sebagai berikut yaitu Partai Arab Indonesia mempunyai cita-cita juga seperti yang dikandung oleh bangsa Indonesia yaitu menuju Indonesia merdeka. 

Akan tetapi, Partai Arab Indonesia yang mengakui kekuasaan Nederland pada masa ini menyetujui haluan bangsa Indonesia yang berpendirian akan mencapai kedudukan persamaan dengan Nederland sebagai negeri dan bangsa yang menguasai diri sendiri dalam perikatan persatuan dengan Nederland, seperti yang dikehendaki oleh Petisi Sutarjo itu. Maka kemerdekaan yang sepenuhnya bagi negeri dan bangsa Indonesia dalam keyakinan Partai Arab Indonesia tidaklah mengharuskan Indonesia lepas dari Nederland.

Kelompok Suroso

Kelompok Suroso terdiri dari wakil-wakil Fraksi Nasional yang mendukung Petisi Sutarjo, Politiek Economische Bond (PEB), Indo-Europeesh Verbond (IEV) dan beberapa nasionalis lainnya. Mereka berpendapat bahwa Indonesia sudah cukup matang dan sudah sepantasnya pemerintah Belanda memberikan lebih banyak hak-hak kepada Indonesia. Indo-Europeesh Verbond pada tahap pertama meminta supaya dibentuk suatu Dewan Kerajaan (Rijksraad), anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Indonesia dan Belanda yang bertugas akan menimbang setiap perselisihan antara Indonesia dan Belanda.

R. Otto Iskandar Dinata

R. Otto Iskandar Dinata menyetujui Petisi Sutarjo karena pikiran yang disampaikan dalam petisi cocok dengan apa yang selama ini dipikirkan oleh R. Otto Iskandar dinata. R. Otto Iskandar dinata merupakan seorang pemimpin yang tidak lagi berwawasan kedaerahan yang picik, sangat memikirkan masalah yang berkaitan dengan kenegaraan secara luas. Ia setuju dengan usul perubahan susunan ketatanegaraan yang timbul sebagai akibat meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat terhadap kebijaksanaan politik yang dijalankan oleh Gubernur Jenderal de Jonge.

Perhimpunan Indonesia

Perhimpunan Indonesia yang ada di negeri Belanda mendukung Petisi Sutarjo, bahkan mereka menerbitkan brosur-brosur mengenai petisi. Penyebaran brosur-brosur di negeri Belanda ini membuat orang-orang yang ada di negeri Belanda mengetahui perjuangan orang-orang Indonesia untuk memperbaiki nasib rakyat sehingga mereka harus mendukung perjuangan tersebut.

Perhimpunan Indonesia menyokong Petisi Sutarjo karena Perhimpunan Indonesia berpendapat bahwa untuk menghadapi ancaman fasisme terhadap negeri Belanda dan Indonesia maka adalah dipandang perlu untuk memperbaiki hubungan yang telah ada diantara kedua belah pihak. Hubungan yang baik antara Indonesia dan Belanda ini dapat terjalin dengan baik apabila pemerintah memenuhi maksud yang terkandung di dalam Petisi Sutarjo yaitu untuk mengadakan suatu konferensi antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda.

Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi)

Di negeri Belanda selain organisasi Perhimpunan Indonesia ada juga organisasi Roekoen Peladjar Indonesia yang menyokong adanya Petisi Sutarjo. Roekoen Peladjar Indonesia yang ada di Belanda ini telah memperkenalkan petisi kepada para anggotanya dan orang-orang Belanda. Dengan demikian maka Petisi Sutarjo tidak hanya dikenal di Indonesia saja tetapi juga di negeri Belanda.

Pagoejoeban Pasoendan

Dalam kongres yang dilakukan oleh Pagoejoeban Pasoendan di Sukabumi pada bulan April 1938 mengambil keputusan bahwa Pagoejoeban Pasoendan memberikan dukungannya terhadap Petisi Sutarjo. Pagoejoeban Pasoendan mempunyai alasan kenapa mereka mendukung Petisi Sutarjo. Alasannya yaitu apabila Petisi Sutarjo diterima maka rakyat pribumi akan memperoleh banyak kesempatan untuk menyampaikan keinginannya dan tidak ada saling curiga di antara pemerintah Hindia Belanda dan pribumi.

Organisasi yang Menolak Petisi Sutarjo

Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)

Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pada 5 Oktober 1937 mengumumkan bahwa Gerindo hanya mendukung diadakannya konferensi dari wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda atau yang disebut dengan Imperiale Conferentie, tetapi tidak menyetujui isi Petisi Sutarjo. Gerindo berkeyakinan bahwa CCPS akan lebih berhasil apabila terdiri dari wakil-wakil resmi perkumpulan-perkumpulan dan partai-partai di Indonesia.

Partai Indonesia Raya (Parindra)

Parindra pada November 1936 menyerukan kepada kaum pergerakan nasional untuk mendukung Petisi Sutarjo ini. Namun, berdasarkan keputusan rapat di Solo pada 12 Desember 1937 menyatakan bahwa Parindra walaupun menolak petisi, karena maksud yang disampaikan di dalam petisi berlawanan dengan tujuan yang dicita-citakan oleh Parindra dan partai-partai politik bangsa Indonesia. Namun, apabila yang berkaitan dengan maksud untuk mengadakan suatu konferensi diantara wakil-wakil Indonesia dan negeri Belanda, Parindra akan memberikan dukungannya. 

Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)

Partai Sarekat Islam Indonesia menuduh gerakan yang dijalankan oleh CCPS sebagai suatu gerakan yang naif, gerakan anak-anak kecil yang menuntut perubahan politik tanpa mempunyai sandaran dan sendi organisasi rakyat yang kuat dan sentosa. PSII melarang dengan keras semua anggota dan organisasi massanya untuk menyetujui isi Petisi Sutarjo dan mencampuri gerakan CCPS. 

Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru)

Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) memberikan pendapatnya terkait petisi ini. Tujuan utama PNI-Baru adalah Indonesia merdeka jadi bukan berdiri sendiri dalam lingkungan Kerajaan Belanda, sebagaimana yang dimaksud dari Petisi Sutarjo. Oleh sebab itu, PNI-Baru menolak petisi dan melarang anggota-anggotanya membantu petisi dengan jalan apa pun.

Kelompok Sukardjo Wirjopranoto

Anggota Fraksi Nasional yang tidak setuju dengan adanya Petisi Sutarjo bergabung dengan Sukardjo Wirjopranoto. Mereka menolak dengan tegas adanya petisi ini dan dianggap tidak ada gunanya. Bahkan Sukardjo Wirjopranoto sendiri berpendapat bahwa Petisi Sutarjo dapat melemahkan dan mematikan cita-cita rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan bagi bangsa Indonesia atau Indonesia Merdeka.

Goesti Moh. Noor

Goesti Moh. Noor adalah seorang keturunan keluarga bangsawan Banjar (Kalimantan Selatan) dan menjadi anggota Volksraad. Ia berpendapat bahwa :

“Aku melihat sebagai cita-cita hari depan tidak lebih dan tidak kurang daripada Indonesia yang merdeka. Keberatanku yang  paling besar terhadap petisi itu dan yang aku tidak menyetujui ialah bahwa untuk mendapatkan perubahan ketatanegaraan itu diikuti politik meminta-minta yang hina dan tidak ada gunanya.”

Kalimat yang diucapkan oleh Goesti Moh. Noor ini sudah menujukkan bahwa ia sangat tidak setuju dengan adanya Petisi Sutarjo dan secara tegas menolaknya.

Partai-partai Kristen dan Christelijke Staatkundige Partij (CPS)

Partai-partai Kristen dan Christelijke Staatkundige Partij menolak adanya Petisi Sutarjo, karena mereka berpendapat bahwa Petisi Sutarjo diajukan pada waktu yang tidak tepat. Pengajuan yang tidak tepat ini didasarkan pada pandangan mereka tentang masih banyak masalah-masalah yang lebih besar yang sedang dihadapi dan dipersoalkan tentang apakah kesatuan dalam Pax Neederlandica dapat dipertahankan karena perkembangan politiknya belum mantap.

Reaksi Belanda

Pada bulan Februari 1938 terjadi pembicaraan mengenai rencana anggaran belanja Hindia Belanda dalam Tweede Kamer dan di sini juga Petisi Sutarjo dibicarakan. Dari semua anggota Tweede Kamer yang hadir hampir semua tidak setuju dengan petisi Soetardjo.

Menteri Jajahan pada waktu itu yaitu Walter dan ia juga merupakan wakil dalam sidang tersebut menyatakan bahwa jalan terbaik untuk perubahan pemerintahan Hindia Belanda adalah dengan menjalankan desentralisasi yaitu dengan meletakkan dasar otonom pada tingkat bawah (pemerintah daerah) dan mengharapkan supaya Tweede Kamer tidak lagi mempersoalkan Petisi Sutarjo.

Selanjutnya pada persidangan Volksraad bulan Juli 1938 Gubernur Jenderal Tjarda juga telah memberikan bayangan yang samar-samar bahwa Petisi Sutarjo akan ditolak oleh pemerintah Belanda. Alasannya yaitu melihat bahwa Petisi Sutarjo yang meminta diadakan konferensi untuk menyusun rencana bagi yang masa yang akan datang tidak dapat disetujui karena isinya kurang jelas. Ia bahkan menyarankan bahwa bagaimanapun juga Petisi Sutarjo harus ditolak sehingga perubahan prinsipiil bagi kedudukan Indonesia serta mengadakan konferensi tidak perlu diadakan lagi.

Pada akhirnya Petisi Sutarjo yang diajukan atas nama Volksraad ditolak oleh Pemerintah Belanda berdasarkan keputusan Kerajaan Belanda No. 40 pada tanggal 16 November 1938. Surat keputusan ini disampaikan ketika berlangsungnya sidang Volksraad pada tanggal 29 November 1938.

Petisi Sutarjo ditolak dengan berbagai alasan. Tetapi alasan yang utama adalah Pemerintah Belanda menganggap bahwa setiap perubahan yang menyangkut negeri jajahannya dianggap sebagai ancaman yang harus dihilangkan. Perlawanan yang dilakukan oleh rakyat dari golongan mana pun dianggap berbahaya baik dengan cara kasar maupun halus.

Otonomi Indonesia yang diminta dalam Petisi Sutarjo dianggap akan merugikan kepentingan pemerintahan Negeri Belanda karena dengan adanya Petisi Sutarjo tersebut maka pendapatan ekonomi Negeri Belanda dari Indonesia menjadi berkurang sebab sebagian besar pendapatan yang diperoleh oleh Hindia-Belanda (Indonesia) digunakan untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat pribumi, sedangkan pihak Belanda hanya menerima sebagian kecil dari pendapatan ekonomi yang dihasilkan oleh Hindia-Belanda.

Belanda juga takut akan kehilangan keuntungan yang selama ini diperoleh dari Indonesia. Semboyan mereka adalah Indie verloren, rampspoed geboren, yang berarti hilangnya bangsa Indonesia akan mendatangkan bencana bagi negaranya.

Perkembangan Petisi Sutarjo

Petisi Sutarjo, meskipun mendapatkan penolakan terutama dari keempat partai yang pada saat itu cukup memiliki pengaruh besar (Gerindo, PSII, Parindra dan PNI-Baru) dalam pergerakan nasional, namun Petisi Sutarjo juga mendapat dukungan dari beberapa organisasi seperti PPBB, Chung Hua Hui, IEV, PEB, Penyadar, Pasoendan, PPKI, PAI, Perserikatan Indonesia, Sarekat Ambon dan Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia serta dukungan dari H. Agus Salim dan Mr. Sartono.

Pada 19 Desember 1937, CCPS mengumumkan pada semua partai-partai maupun organisasi-organisasi yang mendukung Petisi Sutarjo diminta supaya pengurus-pengurus cabangnya bekerja sama dengan pendukung petisi untuk membentuk sub-komite petisi di daerah-daerah. Atas anjuran yang diberikan oleh I. J. Kasimo, cabang-cabang PPPKI dengan aktif telah mendirikan sub-sub komite tersebut. Selama tahun 1938, CCPS dan sub-komite telah melakukan sejumlah rapat-rapat umum untuk mendukung petisi.

Pendukung-pendukung dari Petisi Sutarjo pada tahun 1938 banyak mengadakan rapat-rapat umum (openbare meetings). Di sini orang-orang menyatakan dukungannya terhadap Petisi Sutarjo dan mendesak pemerintah Belanda menerima petisi dan mengabulkannya. Setelah dikeluarkannya surat penolakan terhadap pengajuan Petisi Sutarjo dari pemerintah Belanda maka pada tanggal 11 Mei 1939 diadakan rapat pengurus Central Comite Petisi Sutarjo (CCPS) di Jakarta. Dalam rapat ini telah diputuskan bahwa CCPS dibubarkan.

Kemunculan Petisi Sutarjo sangat mengagetkan berbagai kalangan rakyat di Indonesia karenaPetisi Sutarjo muncul dari golongan Dewan Rakyat (Volksraad) yang duduk dekat dengan pemerintah Hindia Belanda. Petisi Sutarjo pada umumnya diterima oleh sebagian masyarakat Indonesia karena mereka menginginkan adanya perubahan kearah yang lebih baik lagi. Bukti bahwa Petisi Sutarjo diterima oleh rakyat pertama yaitu diterimanya Petisi Sutarjo dalam sidang Volksraad oleh mayoritas anggotanya dalam pemungutan suara terhadap Petisi Sutarjo.

Alasan Belanda menolak Petisi Sutarjo yaitu;

  1. Berdasarkan tingkat perkembangan politik di Indonesia petisi sangat premature (terlalu dini). Belanda menganggap bahwa Bangsa Indonesia belum saatnya untuk hidup sendiri dan terlepas sepenuhnya dari Belanda;
  2. Dipersoalkan bagaimana kedudukan minoritas di dalam struktur politik baru;
  3. Kurangnya kesamaan diantara berbagai rakyat dan bangsa-bangsa menimbulkan pertanyaan siapakah yang akan memegang kekuasaan nanti, hal ini berhubungan erat dengan situasi di Indonesia yang masih dalam taraf pertumbuhannya;
  4. Tuntutan ekonomi dipandang sebagai hal yang tidak wajar karena pertumbuhan ekonomi, sosial, dan politik belum memadai. Lagi pula pada saat pengajuan petisi tersebut bertepatan dengan timbulnya kegelisahan politik dan ekonomi dunia dan juga kesulitan yang sedang dihadapi oleh Belanda.

Pemerintah Belanda menganggap bahwa pengajuan Petisi Sutarjo tidak tepat karena berkenaan dengan sedang direncanakannya reformasi struktur politik administratif sebagai pelaksanaan rencana Colijn yaitu terbentuknya negara- negara pulau seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Heterogenitas dipakai sebagai prinsip pembagian itu, namun secara terselubung nampak pula politik divide et impera. Selain politik pecah belah ini, ideologi politik kolonial senantiasa menganggap bahwa status otonomi atau kemerdekaan adalah hal yang prematur bagi bangsa Indonesia yang memerlukan perkembangan “alamiah” untuk mencapai kemasakan.

Rencana Gubernur Jenderal Colijn yang bersifat konservatif ini sebenarnya ingin tetap mempertahankan persoalan kedaerahan. Bagi penguasa kolonial keinginan hidup dalam ikatan kolonial dengan Belanda dianggap suatu kenyataan yang tidak perlu lagi diragukan sehingga pengajuan Petisi Sutarjo yang akan mengubah susunan yang sudah ada dianggap tidak perlu meskipun dalam petisi ini Indonesia masih berada di bawah kerajaan Belanda.

Permohonan dalam Petisi Sutarjo diangap tidak jelas dan tegas mengenai tujuannya dan tidak sepadan dengan pentingnya pokok-pokok yang terkandung di dalamnya. Sebenarnya kurang jelas dan tegas tidak menjadi teka teki bagi pemerintah Belanda melainkan menjadi tanda bahwa kemenangan suara dalam Volksraad yang menguatkan Petisi Sutarjo cuma sebagai kemenangan lahirnya dan tidak pada hakikatnya, karena mereka yang memberi suara menyetujui tidak mempunyai suatu kehendak yang sama dan tidak satu hati. Oleh karena itu tujuan Petisi Soetardjo tidak dapat ditegaskan dengan jelas.

Petisi Sutarjo adalah suatu upaya yang dilakukan oleh kaum pergerakan Nasional untuk menghadapi tekanan dan kebijakan yang muncul pada dekade 1930-an. Ketika itu, pergerakan nasional yang bersifat radikal dan non-kooperatif terpaksa dibungkam sehingga arah pergerakan nasional harus ditempuh dengan jalan yang kooperatif. Meskipun Petisi Sutarjo ditolak oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang tidak menginginkan adanya perubahan di negeri jajahan dan berupaya untuk mempertahankan situasi yang ada demi keuntungan negaranya. 

Namun, setelah penolakan terhadap Petisi Sutarjo telah memberikan dampak suatu penyadaran bagi kaum pergerakan untuk membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang terdiri dari berbagai partai politik dan organisasi-organisasi yang berhaluan nasional untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.