Bagaimana sikap kita terhadap kegiatan ekonomi orang lain?

Supriyanto

Sejak zaman kerajaan, revolusi, kemerdekaan, reformasi, hingga era digitalisasi, desa selalu memesona siapa pun. Kita bisa melihat Indonesia dari desa, bahkan Pak Joko Widodo dalam nawacitanya menaruh perhatian besar untuk urusan ini, yakni membangun dari pinggiran (desa).

Pemerintah pun secara times series menggelontorkan dana desa untuk membalik kemurungan desa. Sejak 2015-2021, dana desa yang mengucur ke sekitar 74.000 desa di negeri ini tak kurang dari Rp 400 triliun.

Membuka data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, sepanjang 2015-2020, dana desa telah digunakan untuk membangun prasarana penunjang aktivitas ekonomi masyarakat, antara lain berupa jalan desa sepanjang 261.877 kilometer, jembatan sepanjang 1.494.804 meter, pasar desa 11.944 unit, BUMDes 39.844 kegiatan, tambatan perahu 7.007 unit, embung 5.202 unit, irigasi 76.453 unit, dan sarana olahraga 27.753 unit.

Baca juga: Algoritma Dana Desa 2022

Kurun 2015-2020 juga telah dibangun prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa, antara lain berupa penahan tanah 237.415 unit, prasarana air bersih 1.281.168 unit, prasarana MCK 422.860 unit, polindes 11.599 unit, drainase 42.846.367 meter, PAUD 64.429 kegiatan, posyandu 40.618 unit, dan 58.269 unit sumur. Tahun 2022, harapannya dana desa meningkat lagi atau sedikitnya besarannya sama dengan tahun kemarin. When enough is enough.

Kita pahami, dana desa bukan dana sapu jagat yang sanggup membikin 1.000 candi dalam semalam, seperti kisah Bandung Bandawasa yang ngebet menikahi Roro Jonggrang di zaman Kerajaan Mataram Kuno.

KOMPAS/DAHLIA IRAWATI

Warga mengawasi pelaksanaan proyek pengaspalan jalan desa di Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Senin (27/8/2018). Masyarakat setempat berinisiatif membentuk tim pengawas pembangunan untuk mengawasi proyek-proyek pembangunan menggunakan dana desa agar hasil pembangunan sesuai dengan perencanaan.

Suka tak suka, paradigma desa selama ini acap tersandera dengan varian stigma yang melekat, seperti penyumbang penduduk miskin terbesar, sumber daya manusia terbatas, etos kerja rendah, pemasok tenaga kerja kasar, dan sederet stempel muram lainnya.

Kita maklum, desa Indonesia ini kaya raya, sarat dengan sumber daya alam. Hanya belum optimal dalam pengelolaannya. Sekarang banyak bertebaran desa-desa wisata yang dibangun kini pun terjadi semacam gerakan mendesakan kota.

Sekarang banyak bertebaran desa-desa wisata yang dibangun, kini pun terjadi semacam gerakan mendesakan kota.

Fenomena ini secara terang ditunjukkan dengan masif berdirinya restoran, kafe dengan branding dan menu ala perdesaan. Gayung bersambut, warga kota pun tatkala liburan lebih berburu pada destinasi alam perdesaan. Orang kota ini seolah merapat ke desa untuk sekadar melepas penat dan bosan atas kepadatan dan polusi kota. Desa terus bersolek menjadi primadona.

Secara kasatmata dan virtual, kita bisa saksikan desa-desa di kaki gunung, di bibir danau, di pinggir pantai, di lembah-lembah perdesaan tak sulit menemukan orang kota di sana, apalagi saat libur panjang. Inilah pundi-pundi lain dari desa.

Baca juga: Transformasi Desa

Kita sayangkan, ada satu hal yang kadang membuat kita miss dari upaya kita membangun desa, menjaga desa, melestarikan desa. Pada sebagian desa, kita mendapati desa wisata yang disulap dengan frasa kota, modern.

Hal ini rupanya justru menjadi devian atau justru blunderbagi desa. Semestinya desa berjuang bagaimana mempertahankan kedesaan-nya di tengah gerusan modernitas. Desa tak perlu alergi kemajuan teknologi, justru melaluinya desa bisa mendunia. Tapi yang perlu dipikirkan adalah menahan desa dengan segenap ornamen, lingkungan, dan sosial budaya yang khas desa.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Salah satu pengembangan desa wisata yang dikelola warga terus bermunculan, seperti di Desa Danurojo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (11/11/2018).

Destinasi desa wisata di Jawa Tengah seperti Pasar Papringan di Temanggung dengan menukar rupiah kita dengan media uang bambu untuk bertransaksi atau Kampung Jawi di Semarang menggunakan alat transaksinya dengan kepingan kayu. Ini bagian cara kita merawat kedesaan, yang unik untuk mencuri hati pelanggan/pengunjung berdatangan. Memang, mungkin sepintas cara bertransaksi di kedua pasar di atas terlihat ribet atau kurang praktis. Namun, itulah bagian sensasionalnya, irisan ndeso-nya, romansa desa menguar.

Memutar kembali jarum jam nostalgik-romantik zaman dahulu ke zaman sekarang memang bagi sebagian seolah menziarahi masa lalu. Praktik ini bukan sebuah pengingkaran terhadap mata uang resmi negara, yakni rupiah. Sekali lagi, bukan.

Baca juga: Desa dalam Logika Pembangunan Bangsa

Pasar tradisonal yang berfrasa wisata desa ini tentu saja tak bisa dipadankan dengan praktik di Pasar Muamalah di Beji, Depok, Jawa Barat, beberapa tempo lalu yang dalam praktik transaksi jual beli di pasar tersebut tidak menggunakan mata uang rupiah, tetapi koin dinar dan dirham yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011, tentang mata uang, di dalamnya mengatur bahwa alat transaksi sah di Indonesia hanya rupiah.

Contoh konkret di kawasan Borobudur, ada Swarga Bhumi menjadi wisata menarik bernapas desa di impitan destinasi Borobudur yang mengglobal. View sawah yang terhampar, spot-spot swafoto dijual bersama derai AC alam yang sempurna. Ini menjadi bagian inovasi desa sehingga tak terjadi involusi, sekurangnya secara ekonomi atau finansial di desa. Karena warga pemilik sawah tetap menggarap dan menikmati hasil panen dari lahannya. Simbiosis mutual menjulang di permukaan dan kedalaman warga desa setempat.

View sawah yang terhampar, spot-spot swafoto dijual bersama derai AC alam yang sempurna. Ini menjadi bagian inovasi desa sehingga tak terjadi involusi, sekurangnya secara ekonomi atau finansial di desa.

Sementara, di beberapa desa juga berkembang tren-tren lain, misalnya masifnya kalangan mahasiswa dan pelajar yang terjun ke desa. Tak cuma regular program Kuliah Kerja Nyata dari kampus atau semacam live in desa sebagai kegiatan khusus dari sekolah. Sekarang tak sedikit para periset dari kalangan akademisi, lembaga penelitian, dan lembaga swadaya masyarakat yang menghabiskan waktu dan dananya di desa.

Kaum muda lainnya pun berjejal antre masuk ke desa, seperti membanjirnya barisan anak muda yang mendaftar menjadi pendamping desa. Bahkan program Tentara Manunggal Masuk Desa (TMMD) pun hingga kini tetap dirawat dan kontinyu dipraktikkan, sekurangnya untuk menghadapi dan mengatasi kemiskinan desa, apalagi di tengah pandemi. KKN dan TMMD virtual menjadi begitu layak ditebar di ranah perdesaan. Begitu pula tak sedikit korporat yang mengucurkan dana CSR-nya dan memilih titik-titik desa zona merah kemiskinan (kemiskinan ekstrem) bahkan pandemi Covid-19 dan wilayah rentan bencana.

DOKUMENTASI PASAR PAPRINGAN

Pasar Papringan di Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah.

BLUD

Dalam relasi ini, dana pertanggungjawaban sosial perusahaan ini acap menjelma ke dalam bantuan masker, cairan pembersih tangan (hand sanitizer), bantuan sembako, ambulans, penyediaan obat-obatan tertentu, konsultasi klinis semacam telemedis yang digelorakan selama ini, dan lain-lain. Ini semua menjadi bagian cara memutus mata rantai penyebaran virus pandemi.

Menjejaki orientasi baru desa sekarang ini, maka penting bagi desa, khususnya kepala desa dan segenap pamong desanya, meng-upgrade diri dengan meningkatkan kapasitas untuk membalik desa. Dari malas menjadi giat, dari egois menjadi gotong royong, dari konsumtif ke produktif dan dari bergantung berubah mandiri.

Menjejaki orientasi baru desa sekarang ini, maka penting bagi desa, khususnya kepala desa dan segenap pamong desanya, meng- upgrade diri dengan meningkatkan kapasitas untuk membalik desa.

Diperlukan pula adanya penguatan budaya literasi di tiap-tiap desa, bisa berupa pembangunan perpustakaan desa yang berbasis digital, media daring. Selain meng-update pengetahuan dan skill pamong desa, juga berfungsi untuk mengatasi problema belajar daring bagi anak miskin selama ini. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah desa tidak perlu pusing memikirkan dari mana sumber dananya karena dapat menggunakan dana desa yang ada.

Maka kemudian, penguatan BUMDes layak dilakukan lewat pendampingan, pelatihan, komodifikasi usaha produktif dan sentuhan teknologi tepat guna. Magang dan belajar pada best practice BUMDes tak ada salahnya. Sesekali jalan-jalan ke BUMDes Ponggok Klaten yang mengandalkan panorama dan sumber air yang menenteramkan, di sana salah satu programnya satu rumah satu sarjana. Atau kita bisa menengok BUMDes Pujon Kidul Malang yang punya tak kurang sepuluh usaha produktif.

Baca juga: Menjadikan Desa Akselerator Pemulihan Ekonomi

Di luar itu, barangkali desa dapat memanfaatkan tanah-tanah kas desa yang bisa saja masih kosong untuk didayagunakan melalui badan usaha layanan desa/daerah (BLUD). Lewat BLUD demikian, sekurangnya desa bisa mengatasi kenestapaan sumber anggaran desa untuk menjawab sebagian kebutuhan masyarakat desa. Dana hasil persewaan atau kontrak tanah desa tersebut dapat dimaanfaatkan untuk program pemugaran rumah tidak layak huni, misalnya.

Tak kalah pentingnya, transformasi sikap mental perlu didorong dan digerakkan karena seluruh pelayanan di desa akan merepresentasi keramahan birokrasi desa. Jika sudah demikian, tak mustahil kredibilitas pemerintah, khususnya pemerintah desa, lebih terjaga sehingga akan mendorong partisipasi warga semakin masif. Inilah dua kaki utuh yang saling menopang: pemdes dan warga desa. Membangun desa, merawat Indonesia.

Marjono, Kasubbag Materi Naskah Pimpinan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA