Bagaimana pengembangan sektor laut di Indonesia

Akan tetapi, terlepas dari upaya pemerintah dalam menjaga kesehatan dan meningkatkan produktivitas laut Indonesia, berbagai tantangan masih terus mengancam manfaat yang dapat diperoleh dari sektor kelautan. Sekitar 38 persen dari ikan ditangkap melebihi kemampuan ekosistem untuk mengembalikan jumahnya (overfishing)[4], sebagian besar armada penangkapan ikan domestik berskala kecil (lebih dari 600.000 kapal) tidak terdaftar dan tidak dipantau. Sepertiga dari terumbu karang Indonesia yang berharga berada dalam kondisi yang kurang baik.[5] Sampah di laut berdampak buruk terhadap sektor pariwisata, perikanan, logistik, dan ekosistem di Indonesia, dengan kerugian mencapai lebih dari 450 juta dollar AS per tahun.[6]

Dengan kebijakan dan investasi yang tepat, Indonesia dapat mengatasi tantangan ini dan memperoleh manfaat yang lebih besar dari sektor kelautan. Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk membangun ekonomi laut yang berkelanjutan, atau ekonomi biru.

Laporan Bank Dunia terbaru yang berjudul Laut untuk Kesejahteraan: Reformasi untuk Ekonomi Biru di Indonesia, menjelaskan tentang status, tren, dan peluang menuju ekonomi biru di Indonesia. Dalam laporan tersebut, rekomendasi disajikan berdasarkan upaya dan target yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Laporan tersebut juga memaparkan bahwa masa depan sektor kelautan bergantung kepada aset alam ekosistem laut dan pesisir yang sehat.

1. Peningkatan pengelolaan aset laut dan pesisir (perikanan, mangrove, terumbu karang)

Indonesia telah mengembangkan sistem wilayah pengelolaan perikanan sebagai struktur bagi pengambilan keputusan penting terkait tingkat panen untuk sektor perikanan. Secara konseptual, sistem ini baik, namun pelaksanaannya tetap membutuhkan anggaran, sumber daya manusia, dan rencana pengelolaan untuk mencegah berkurangnya stok ikan, termasuk memastikan batas panen yang jelas berdasarkan sains dan data yang memadai.

Indonesia juga telah menyusun rencana tata ruang laut dengan mengidentifikasi wilayah laut yang sesuai untuk kegiatan ekonomi, dan wilayah laut yang tetap harus dilindungi. Integrasi antara rencana tata ruang laut ini dengan sistem perizinan usaha kini diperlukan untuk memastikan bahwa pembangunan yag dilakukan telah mematuhi peraturan zonasi. Sistem scorecard dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan dan merencanakan implementasi pembangunan, dengan berbagai indikator yang mengukur status sumber daya pesisir dan laut, seperti luas mangrove dan kualitas terumbu karang. Dalam jangka panjang, Indonesia dapat mempertimbangkan untuk menyiapkan kadaster bagi kawasan laut dan pesisir (spatial title registry) guna menghindari konflik tata guna wilayah laut dan pesisir.

Indonesia dapat menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan yang "berbasis hak", yang menopang praktik-praktik terbaik di sektor perikanan di dunia. Dalam sistem ini, pemerintah memberikan hak panen kepada masyarakat yang tinggal di kawasan pantai atau memberikan hak panen kepada perusahaan hingga jumlah tertentu dalam batas panen. Pengaturan seperti ini menjadikan para nelayan sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan perikanan, mendorong pengelolaan yang baik, dan meningkatkan produktivitas.

Indonesia dapat melengkapi target restorasi mangrove yang ambisius - 600.000 hektar pada tahun 2025 - dengan kegiatan konservasi yang lebih kuat. Kegiatan restorasi perlu dilengkapi dengan langkah-langkah untuk mengurangi dan pada akhirnya dapat menghentikan kehilangan hutan mangrove alami. Perluasan moratorium konversi hutan primer yang juga meliputi mangrove akan sangat bermanfaat; Indonesia dapat mulai merancang diterapkannya pembayaran berbasis hasil untuk karbon yang tersimpan dalam biomassa dan tanah dari hutan mangrove yang luas, dan memastikan manfaat ini mencapai masyarakat pesisir untuk memberikan insentif bagi pengelolaan mangrove yang berkelanjutan.

2. Mobilisasi insentif dan investasi

Peningkatan layanan dasar dan infrastruktur dasar dalam pengumpulan sampah, layanan air, dan pembuangan limbah diperlukan untuk mengelola dampak lingkungan terhadap daerah pesisir, meningkatkan layanan dasar dan kualitas hidup masyarakat pesisir, serta melindungi destinasi wisata dari kerusakan. Investasi yang dibutuhkan akan sangat besar, tetapi pengalaman di tingkat global menunjukkan bahwa potensi imbal hasil yang diperoleh dari pembangunan infrastruktur seperti ini sangat tinggi (Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan, 2020).

3. Sistem yang lebih baik untuk pengumpulan dan pemantauan data

Bentang laut Indonesia yang kompleks membutuhkan adanya sistem informasi terperinci dan tepat waktu bagi pengelolaan perikanan, ekosistem, dan dampak dari kegiatan manusia. Dibutuhkan perluasan cakupan survei untuk mengumpulkan informasi stok dan panen bagi spesies tertentu, seiring dengan percepatan peluncuran sistem pemantauan dan pelaporan elektronik. Kesepakatan tentang metode yang konsisten dalam konteks pemantauan ekosistem dan berbagi data juga diperlukan. Data yang lebih baik akan menguntungkan sektor pariwisata. Pemantauan dampak lingkungan dapat diperluas ke destinasi wisata populer untuk mendeteksi masalah dan menyediakan informasi dalam pengambilan langkah-langkah mitigasi secara tepat waktu.

4. Membangun kembali dengan lebih biru" setelah pandemi COVID-19

Terdapat peluang untuk menyelaraskan upaya pemulihan ekonomi jangka pendek pasca COVID-19 dengan kebutuhan jangka panjang di sektor kelautan. Sistem pengelolaan kunci seperti rencana tata ruang wilayah dan rencana pengelolaan perikanan dapat diuji dan diterapkan saat ini, ketika tekanan sedang berkurang. Konteks tersebut juga memberikan pemerintah waktu untuk mengatasi berbagai tantangan. Paket pemulihan ekonomi dapat dikembangkan untuk membuka lapangan pekerjaan seraya memperkuat ketahanan pesisir, antara lain melalui aktivitas restorasi pesisir dan laut yang bersifat padat karya, seperti restorasi mangrove dan pembersihan pantai di daerah yang sangat bergantung kepada sektor pariwisata, dan investasi pada infrastruktur desa yang dibutuhkan.

Lihat video yang diproduksi bersama National Geographic Indonesia

[1] CEIC. 2019. National Accounts Database. Fisheries and Gross Domestic Product Time Series: System of National Accounts, 2008.

[2] CEA (California Environmental Associates). 2018. Trends in Marine Resources and Fisheries Management in Indonesia: A 2018 Review.

[3] Beck, M.W., I.J. Losada, P. Menéndez, B.G. Reguero, P. Díaz-Simal, dan F. Fernández. 2018. The Global Flood Protection Savings Provided by Coral Reefs. Nature Communicaions 9 (1).

[4] Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 50/Kepmen-Kp/2017.

[5] LIPI ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). 2020. Status Terumbu Karang Indonesia 2019. Jakarta, Indonesia.

[6] APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik). 2020. Update of 2009 APEC Report on Economic Costs of Marine Debris to APEC Economies. Asia Pacific Economic Cooperation Oceans and Fisheries Working Group.

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA