Bagaimana pendapatmu tentang kasus hukum yang dialami oleh nenek Minah berikan pendapatmu

Tempo

BETAPA timpang keputusan dua pengadilan di Jawa Tengah ini. Nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, dihukum penjara 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan tiga bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Purwokerto. Dia dinyatakan bersalah mencuri tiga buah kakao. Pada 2005, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah periode 1999 2004, Mardijo, didakwa Pengadilan Negeri Semarang "mencuri" uang anggaran belanja daerah Rp 14,8 mi

...

Mulai dari

Rp.58.000*/Bulan

Akses tak terbatas di situs web dan mobile Tempo

Aplikasi Tempo Media di Android dan iPhone

Podcast, video dokumenter dan newsletter

Arsip semua berita Majalah Tempo sejak terbit 1971 dan Koran Tempo sejak edisi perdana 2001

Banyumas - Nenek Minah (55) tak pernah menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan untuk perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Dan hari ini, Kamis (19/11/2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian. Selama persidangan yang dimulai pukul 10.00 WIB, Nenek Minah terlihat tegar. Sejumlah kerabat, tetangga, serta aktivis LSM juga menghadiri sidang itu untuk memberikan dukungan moril.  Hakim Menangis Pantauan detikcom, suasana persidangan Minah berlangsung penuh keharuan. Selain menghadirkan seorang nenek yang miskin sebagai terdakwa, majelis hakim juga terlihat agak ragu menjatuhkan hukum. Bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat membacakan vonis. "Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang," ujar Muslih. Vonis hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan disambut gembira keluarga, tetangga dan para aktivis LSM yang mengikuti sidang tersebut. Mereka segera menyalami Minah karena wanita tua itu tidak harus merasakan dinginnya sel tahanan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

(djo/nrl)

Jakarta - Kasus nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao membuat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar prihatin. Para penegak hukum harusnya mempunyai prinsip kemanusiaan, buka cuma menjalankan hukum secara positifistik."Itu saya kira sangat memalukan," ujar Patrialis Akbar di kompleks Istana Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (20/11/2009)."Penegak hukum memang harus punya prinsip kemanusiaan. Masa nenek-nenek begitu... hakimnya saja sampai menangis melihat nenek itu," kata Patrialis.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menteri dari PAN ini berjanji ke depan Depkum HAM akan membuat sistem yang bisa menjawab permasalahan-permasalahan seperti yang sedang dialami oleh Nenek Minah. "Nanti kita bikin sistemlah. Penjara sekarang kan sudah penuh," imbuhnya.Secara pribadi, Patrialis juga merasa prihatin dan kasihan dengan nasib yang menimpa Minah. Namun dia tidak mau ikut campur masalah hukum yang dihadapi Minah, karena jalan untuk intervensi tertutup baginya. "Kita tidak boleh ikut campur. Kalau ikut campur pintunya nggak ada," ujar mantan anggota DPR tersebut."Yang bisa kita lakukan adalah membuat kebijakan, dan kedua pengampunan presiden," tambah Patrialis.Kasus ini sudah sampai didengar oleh Presiden? "Saya kira sudah terbuka untukumum," jawabnya.Minah (55) yang buta huruf divonis di PN Purwokerto, Kamis kemarin. Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao.Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.Seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.

(anw/nrl)

NENEK Minah ialah narasi rupa buruk penegakan hukum di negeri ini. Meski demikian, namanya kini disebut sebagai ikhtiar membuka jalan baru menuju hukum humanis.

Namanya disebut bukan oleh sembarang orang dan bukan di sembarang tempat. Namanya disebut calon Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo di tempat terhormat, yaitu ruang sidang Komisi III DPR.

“Tidak boleh lagi ada kasus Nenek Minah yang mencuri kakao, kemudian diproses hukum hanya untuk mewujudkan kepastian hukum,” kata Listyo saat uji kelayakan dan kepatutan pada 20 Januari.

Nenek Minah divonis 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan oleh Pengadilan Negeri Purwokerto pada 19 November 2009. Ia terbukti melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Kasus itu bermula ketika Nenek Minah memetik 3 buah kakao milik sebuah perusahaan pada 2 Agustus 2009. Kakao dipetik untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Perbuatannya diketahui mandor perusahaan. Nenek Minah pun meminta maaf dan menyerahkan kakao yang dipetiknya kepada mandor itu.

Buntut petik 3 buah kakao senilai Rp30 ribu itu menjadi panjang. Polisi memproses Nenek Minah sebagai pencuri sampai akhirnya duduk sebagai terdakwa, kemudian divonis bersalah.

Kisah Nenek Minah menggegerkan Tanah Air. Langsung atau tidak langsung, kisah itu menginisiasi lahirnya Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif. Maksudnya, mengutamakan pemulihan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana dan pelibatan partisipatif dari korban, pelaku, dan masyarakat yang terlibat dalam proses pemulihan tersebut.

Surat edaran itu tertanggal 27 Juli 2018. Disebutkan bahwa proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana merupakan pintu masuk penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana.

Karena itu, proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana merupakan kunci utama penentuan dapat-tidaknya suatu perkara pidana dilanjutkan ke proses penuntutan dan peradilan pidana demi mewujudkan tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

Andai kepolisian konsisten menerapkan keadilan restoratif, tidak akan ada lagi kasus seperti Nenek Minah di negeri ini. Fakta bicara lain, kepastian hukum selalu meniadakan keadilan hukum.

Sedikitnya ada dua kasus seperti Nenek Minah terjadi pada 2020. Pertama, Pengadilan Negeri Simalungun menjatuhkan vonis 2 bulan 4 hari (total 64 hari) penjara kepada Samirin, 68, pada 15 Januari 2020. Ia terbukti memungut sisa getah pohon karet dengan berat 1,9 kilogram seharga Rp17 ribu. Setelah divonis, Samirin langsung bebas karena ia sempat ditahan selama 63 hari.

Kedua, kasus yang dialami RMS, 31, seorang ibu di Riau. Ia mencuri tandan buah sawit milik sebuah perusahaan negara senilai Rp75 ribu pada 30 Mei 2020.

Kepada polisi, RMS mengaku terpaksa mencuri tandan buah sawit untuk membeli beras sebab beras untuk makan tiga anaknya yang masih kecil sudah habis.

Meski polisi berusaha melakukan mediasi agar kasus itu diselesaikan secara kekeluargaan, pihak perusahaan tetap berkukuh ingin menghukum RMS.

Pengadilan Negeri Pasir Pengaraian memvonis RMS pidana penjara selama 7 hari karena terbukti melanggar Pasal 364 KUHP tentang tindak pidana pencurian ringan.

Konsistensi sangat dibutuhkan. Kerbau dipegang talinya, manusia dipegang katanya. Komjen Listyo sudah disetujui DPR untuk menjadi Kapolri. Kini tinggal menunggu dilantik oleh Presiden Joko Widodo. Rakyat menunggu realisasi janjinya.

Listyo harus bisa memastikan bahwa janji-janjinya saat uji kelayakan dan kepatutan, terutama terkait keadilan restoratif, dipatuhi hingga jajaran paling bawah. Jangan sampai kasuskasus ringan berujung di pengadilan yang hanya mementingkan kepastian hukum, tapi menjauhkan hukum itu sendiri dari rasa keadilan masyarakat.

Penerapan keadilan restoratif sudah lama digagas Satjipto Rahardjo dengan hukum progresifnya. Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekadar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan, tapi juga berdasarkan semangat dan makna lebih mendalam dari undang-undang atau hukum.

Komjen Listyo sudah membuka jalan baru menuju penegakan hukum yang humanis. Hukum yang tidak tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Andai masih lolos dari kepolisian, jaksa penuntut bisa menggunakan hati nurani dengan memperhatikan rasa keadilan di masyarakat. Di hilirnya ada hakim yang memberikan vonis seturut rasa keadilan masyarakat.

Harus tegas dikatakan bahwa memaksakan pelaku tindak pidana ringan sampai ke pengadilan hanya membuat penuh penjara. Padahal, selama masa covid-19, sudah banyak tahanan yang dibebaskan lewat proses asimilasi.

Nenek Minah, namamu disebut. Jangan ada lagi kisah Nenek Minah lainnya yang menebalkan rupa buruk hukum di negeri ini. Janji Komjen Listyo kita pegang.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA