Bagaimana pelaksanaan demokrasi di Indonesia tahun 1959 1965?

Jakarta -

Pada periode 1959 sampai 1966 dikenal sebagai periode Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Periode ini berlangsung pada 5 Juli 1959 - 11 Maret 1966.

Periode Demokrasi Terpimpin dimulai dengan lahirnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit Presiden dibuat setelah Konstituante tidak dapat menyelesaikan tugasnya untuk membentuk undang-undang dasar tetap sehingga tidak menguntungkan bagi perkembangan ketatanegaraan, seperti dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan untuk Kelas VIII SMP/MTs oleh Aim Abdulkarim.

Dekrit Presiden memuat ketentuan pokok sebagai berikut:1. Menetapkan pembubaran konstituante2. Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali bagi segenap bangsa Indonesia

3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu singkat.

Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 disambut baik oleh rakyat dan didukung oleh TNI AD. Dekrit Presiden juga dibenarkan oleh Mahkamah Agung dan DPR yang bersedia bekerja terus dalam rangka menegakkan UUD 1945. Pada periode ini, pemerintah Indonesia menganut sistem Demokrasi terpimpin.

Penyimpangan pada masa demokrasi terpimpin tahun 1959 sampai 1966 yaitu:

1. Menafsirkan Pancasila terpisah-pisah, tidak dalam kesatuan bulat dan utuh

Periode Demokrasi Terpimpin didasarkan pada penafsiran dari sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Tetapi, Presiden Soekarno saat itu menafsikan terpimpin dengan arti "pimpinan terletak di tangan pemimpin besar revolusi."

2. Pengangkatan presiden seumur hidup

UUD 1945 mengatur presiden untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun. Tetapi, Ketetapan MPRS No. III/1965 mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup, seperti dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi, dan Pencegahan Korupsi oleh A. Ubaedillah.

3. Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu 1955

Kebijakan ini membuat hilangnya pengawasan dari lembaga legislatif terhadap eksekutif.

4. Konsep Pancasila berubah menjadi konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis)

5. Bergesernya makna Demokrasi Terpimpin menjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden

Dalam pelaksanaan periode Demokrasi Terpimpin cenderung terjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden atau Pemimpin Besar Revolusi. Hal ini menjadi pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi dengan lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada pemimpin, serta hilangnya kontrol sosial.

6. Pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif yang cenderung memihak komunis

Pada masa Demokrasi Terpimpin terjadi kecenderungan pemihakan pada Blok Timur atau RRC.

7. Manipol USDEK yang dibuat Presiden menjadi GBHN

Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1960. USDEK dibuat oleh Presiden Soekarno, sedangkan GBHN harusnya dibuat oleh MPR.

Penyalahgunaan makna demokrasi di masa lalu salah satunya yaitu "Demokrasi Terpimpin" di masa Orde Lama pada 1959 sampai 1966 yang melahirkan kepemimpinan absolut. Setelah periode tersebut, "Demokrasi Pancasila" di era Orde Baru juga mematikan partisipasi rakyat dan menjadikan Pancasila sebagai alat politik kekuasaan.

Kedua penyalahgunaan makna demokrasi di atas memunculkan keinginan publik di masa Reformasi untuk tidak melabeli demokrasi dengan atribut apapun.

Nah, jadi pada periode1959 sampai 1966 dikenal sebagai periode Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Semoga mudah dipahami, ya detikers!

Simak Video "Isi Kuliah Subuh, Anies Cerita Upaya Bung Karno Berantas Buta Huruf"



(twu/pal)

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Demokrasi Terpimpin diawali sejak dikeluarkannnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang ditandai oleh kekuasaan Soekarno yang hampir tidak terbatas dan pemusatan kekuasaan berada di tangan Presiden Soekarno. Era Demokrasi Terpimpin ditandai dengan hadirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai politik yang paling dominan dan TNI AD sebagai kekuatan Pertahanan dan Keamanan serta Sosial Politik Negara Indonesia.

Demokrasi Terpimpin merupakan penyeimbangan kekuasaan antara kekuatan politik militer Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia dan Presiden Soekarno sebagai keseimbangan diantara keduanya. Terjadinya peralihan sistem ketatanegaraan dari demokrasi parlementer ke demokrasi terpimpin menjadi catatan penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, sistem negara ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan antara lainnya adalah sebagai berikut:

Dimulainya demokrasi terpimpin adalah karena kinerja Dewan Konstituante yang berlarut-larut membawa Indonesia ke dalam persoalan politik yang sangat sulit. Negara dilingkupi oleh kondisi yang serba tidak pasti, karena landasan konstitusional tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena hanya bersifat sementara. Selain itu juga, situasi seperti ini memberi pengaruh yang besar terhadap situasi keamanan nasional yang sudah membahayakan persatuan dan kesatuan nasional.

Presiden Soekarno sebagai kepala negara melihat situasi ini sangat membahayakan bila terus dibiarkan. Oleh karena itu, untuk mengeluarkan bangsa ini dari persoalan yang teramat pelik ini, Presiden Soekarno menerbitkan suatu dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dalam dekrit tersebut, Presiden menyatakan pembubaran Dewan Konstituante dan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dekrit Presiden tersebut mengakhiri era demokrasi parlementer, yang kemudian membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan politik nasional. Era baru demokrasi dan pemerintahan Indonesia mulai dimasuki, yaitu suatu konsep demokrasi yang oleh Presiden Soekarno disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Maksud konsep terpimpin ini, dalam pandangan Presiden Soekarno adalah berasaskan oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.

Gambar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan awal bergulirnya Demokrasi Terpimpin

Sejarah Lahirnya Demokrasi Terpimpin

Terjadinya Agresi Militer I dan II yang dilakukan oleh pasukan Belanda terhadap Indonesia menjadi bukti dari ketidak mampuan Demokrasi Parlementer dalam menstabilisasi urusan pemerintahan, dan akhirnya berdampak pada tatanan kenegaraan yang berubah dari Negara yang berbentuk Kesatuan menjadi Negara Federasi (Serikat). Sehingga pada tanggal 17 Januari 1948 terjadi perjanjian Renville antara rakyat Indonesia dengan Negara Belanda, yang mana perjanjian tersebut berisikan pembentukan Republik Indonesia sebagai bagian dari suatu Negara Indonesia Serikat yang turut dalam suatu Uni dengan Belanda yang dikepalai Ratu Belanda.

Melihat hal seperti ini, maka usaha-usaha untuk membentuk kembali negara kesatuan semakin meningkat. Rakyat di daerah-daerah melakukan kegiatan-kegiatan unjuk rasa seperti pemogokan untuk menyatakan keinginannya agar bergabung dengan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Menghadapi gerakan-gerakan rakyat tersebut, penguasa-penguasa setempat yang ada di berbagai daerah masih terdiri dari bangsa Belanda, seringkali mengambil reaksi keras dan mengadakan penangkapan. Disisi lain, golongan federalis (yang mendukung berdirinya Negara Serikat) malahan mengadakan kontra aksi dan demonstrasi.

Disamping itu, ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal mereka merupakan kekuatan sosial-politik yang paling penting. Ditambah lagi dengan tidak mampunya anggota-anggota partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk membuat undang-undang baru.

Hal seperti ini menambah lengkapnya permasalahan yang dihadapi dalam periode Demokrasi Parlementer dengan sistem multi partai. Karena semakin rumitnya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia mulai dari tahun 1945-1959, maka Soekarno yang menjabat sebagai Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan berisikan memberlakukan kembali UUD 1945 dan mengganti Demokrasi Parlementer dengan Demokrasi Terpimpin. Peristiwa ini sekaligus menjadi awal lahirnya Demokrasi Terpimpin dan akhir dari periode Demokrasi Parlementer.

Faktor-Faktor Lahirnya Demokrasi Terpimpin

Adapun faktor-faktor yang melatarbelakangi lahirnya Demokrasi Terpimpin adalah:

  1. Adanya rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun 1945 karena belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi seperti masalah kemakmuran dan pemerataan keadilan yang tidak terbina. Belum utuhnya wilayah RI karena masih ada wilayah yang masih dijajah Belanda. Instabilitas nasional yang ditandai oleh jatuh bangunnya kebinet sampai 17 kali, serta pemberontakan yang terjadi didaerah-daerah. Kegagalan tersebut disebabkan menipisnya rasa nasionalisme, pemilihan Demokrasi Liberal yang tanpa pemimpin dan tanpa disiplin. Suatu demokrasi yang tidak cocok dengan kepribadian Indonesia. Serta sistem multi partai yang didasarkan pada Maklumat Pemerintah 3 November 1945 yang ternyata partai-partai itu digunakan sebagai alat perebutan kekuasaan dan bukan sebagai alat pengabdi negara.
  2. Ketidakmampuan Demokrasi Parlementer mewujudkan amanat penderitaan rakyat. Karena itu, perlu diadakannya suatu koreksi untuk segera kembali pada cita-cita dan tujuan semula, harus dilakukan dengan cara meninjau kembali sistem politik. Harus diciptakan suatu sistem demokrasi yang menuntun untuk mengabdi kepada negara dan bangsa yang beranggotakan orang-orang jujur. Cara yang harus ditempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:
  3. Mengganti sistem free fight liberalism dengan Demokrasi Terpimpin yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu Kabinet Gotong Royong yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat.
  4. Dewan Perancang Nasional akan membuat blue print masyarakat yang adil dan makmur.
  5. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Tugas utama Dewan Nasional adalah memberi nasehat kepada kabinet baik diminta maupun tidak diminta.
  6. Hendaknya konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut dan segera menyelesaikan pekerjaannya agar blue print yang dibuat Depernas dapat didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat konstituante.
  7. Hendaknya konstituante meninjau dan memutuskan masalah Demokrasi Terpimpin dan masalah kepartaian.
  8. Perlu adanya penyederhanaan sistem kepartaian dengan mencabut Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang telah memberi ruang bagi sistem multi partai dan menggantinya dengan Undang-Undang Kepartaian serta Undang-Undang Pemilu.

Asas Yang Melahirkan Sistem Demokrasi Terpimpin

Wacana tentang Demokarsi Terpimpin bukanlah sesuatu yang baru muncul ketika dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, akan tetapi wacana tersebut sudah terpintas dalam diri Soekarno bertahun-tahun sebelum diterapkannya Demokrasi Terpimpin tersebut. Bagi Soekano, Demokrasi Parlementer yang dipakai bangsa Indonesia merupakan produk impor yang tidak sesuai dengan keadaan sosial masyarakat kita dan demokrasi tersebut tidak menjiwai cita-cita bangsa Indonesia.

Ada dua asas yang mendukung lahirnya demokrasi terpimpin yaitu:

  1. Petama, Mufakat, Permusyawaratan dan Perwakilan. Negara Indonesia bukanlah sebuah negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi tujuan didirikan negara Indonesia “semua buat semua dan satu buat semua”.
  2. Kedua, kesejahteraan dan keadilan sosial, tidak akan ada lagi kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Prinsip ini merupakan suatu jembatan yang bisa dijadikan sebagai alat untuk menyeberang dari paham kapitalis dan imperialis yang selama ini membelenggu kehidupan rakyat Indonesia. Kedua paham tersebut telah menghalangi bangsa ini dalam meraih alam demokrasi politik dan demokrasi sosial ekonomi.

Penerapan Demokrasi Terpimpin Periode 1959-1965

Dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi langkah awal mulai diterapkannya demokrasi terpimpin dengan sistem presidensill. Dalam pandangan Soekarno, ada beberapa ketetapan yang beliau jadikan sebagai pegangan dalam menjalankan demokrasi terpimpin yaitu:

    1. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang mana Dekrit tersebut berisikan agar diberlakukannya kembali UUD 1945 dan dicabutnya UUDS 1950. Dan tanggal tersebut dianggap sebagai awal diberlakukannya Demokrasi Terpimpin dengan Sistem Presidensill.
    2. TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dengan masa jabatan seumur hidup.
    3. TAP MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-Prinsip Musyawarah untuk mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai pedoman bagi Lembaga-Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan. Hal ini juga dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat.

Dalam menjalankan demokrasi terpimpin, Soekarno menjadikan sistem presidensill sebagai alat dalam menjalankan roda pemerintahan. Secara teoritis maupun praktis, demokrasi terpimpin menjadikan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai landasan serta pedoman dalam menjalankan roda pemerintahan.

Demokrasi Terpimpin tidak menitik beratkan kepada satu orang sama dengan satu suara, sehingga partai menjadi semacam agen penjual suara. Tetapi dalam Demokrasi Terpimpin menitik beratkan kepada:

  1. Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, berbakti kepada masyarakat, berbakti kepada nusa, bangsa dan Negara.
  2. Tiap-tiap orang berhak mendapatkan penghidupan yang layak dalam masyarakat, Bangsa dan Negara.

Pada masa awal diterapkannya Demokrasi Terpimpin, Soekarno banyak menuai pro-kontra dari kalangan aparatur Negara ketika itu. Mereka mengganggap Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang Presiden untuk bertahan sekurang-kurangnya selama 5 tahun.

Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan lima tahun tersebut (Undang-Undang Dasar memungkin seorang Presiden untuk dipilih kembali). Selain itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari ketetapan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Soekarno sebagai Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil dari pemilihan umum tahun 1955, padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit dijelaskan bahwa Presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong sebagai pengganti DPR yang lalu, ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrolnya ditiadakan.

Perkembangan Hukum Dalam Demokrasi Terpimpin

Penerapan tatanan hukum yang ada pada periode Demokrasi Terpimpin lebih diarahkan terhadap nilai-nilai yang bersifat mutlak, artinya UUD 1945 menjadi tolak ukur dalam menjalankan hukum tersebut. Keterlibatan pemerintah dalam mengendalikan sekaligus mengontrol keberlansungan hidup rakyat Indonesia dalam segala bidang, merupakan salah satu cara Soekarno dalam upaya menciptakan demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.

Sebab, salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam menumpas paham Neo Kapitalis (Pendukung Paham Kapitalis) dan Imperialis (Penjajahan) hanyalah dengan keikutsertaan pemerintah dalam mengendalikan dan mengontrol segala bidang tersebut. Dalam bidang politik, demokrasi terpimpin juga mengalami banyak persoalan diantaranya yaitu:

Dalam sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin, yang menjadi penentu adalah Presiden Soekarno sebagai pimpinan eksekutif. Maka Anggota DPR dan MPR diangkat oleh Presiden Soekarno sendiri. Hal ini sesuai dengan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Akan tetapi perkembangan ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal. Dalam periode ini pun masih berlanjut besarnya tuntutan atau aspirasi yang melebihi kapasitas sistem.

Dalam mekanisme sistem politik, demokrasi terpimpin ini belum ditata suatu antisipasi seandainya tokoh politik tersebut tidak efektif dalam menjalankan roda pemerintahan akibat suatu masalah. Tekanan saluran tuntutan yang tidak tertampung dalam kelembagaan, akhirnya Soekarno mencari keseimbangan melalui dukungan massa. Tindakan ini menyebabkan runtuhnya stabilitas politik yang telah terwujud dan terbina selama periode tersebut.

Nasakom bukan ajaran Bung Karno, tapi adalah ide Soekarno untuk menyatukan seluruh kekuatan bangsa agar tak terpecah belah. Ide nasakom sebetulnya sudah lama ada di dalam benak Soekarno, yaitu ketika beliau masih di Partai Sarekat Islam (PSI). Pada saat itu PSI terpecah menjadi dua kekuatan, yaitu: PSI Merah menginginkan agar PSI juga ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sedangkan PSI putih hanya ingin berdakwah saja.

Pada saat itulah Soekarno dengan pidatonya yang memukau mulai meneriakkan ide Nasionalis-Islam-Marxis yang kemudian hari menjadi Nasionalis-Agama-Komunis. Ketika itu di Indonesia terdapat banyak partai yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu nasionalis, agamis, dan komunis. Misalnya, di Nasionalis ada PNI, Agamis ada Masyumi/NU dan Komunis ada PKI. Dan pada dasarnya ketiga faham ini tidak dapat disatukan, khususnya antara Agamis dan Komunis.

Namun, gagasan ini memang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada tahun 1949-1959, karena negara yang sedang membangun jati dirinya sangat memerlukan adanya persatuan dan kesatuan agar menjadi kuat dalam segala hal. Oleh karena itulah, Soekarno dengan kekuatan kharisma dan wibawanya menciptakan landasan Nasakom. Tapi dalam kenyataanya, upaya luhur Soekarno akhirnya membawa bencana dengan terjadinya peristiwa G-30-S PKI.

Masa Akhir Demokrasi Terpimpin (1966-1967)

Berakhirnya demokrasi terpimpin ini, dimulai dengan adanya dua peristiwa besar di Indonesia yaitu pemberontakan PKI atau Gerakan 30 September (G30S) dan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966. Berakhirnya demokrasi ini dimulai dari pertentangan antara Presiden Soekarno, Tentara Angkatan Darat (TNI-AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam konteks politik.

Pertentangan ketiga kekuatan politik tersebut disebabkan karena perbedaan orientasi ideologis. Perbedaan-perbedaan itu juga akan mencerminkan kedudukan ideologis kelompok itu masing-masing.

Perdebatan yang berkepanjangan antara ketiga kekuatan politik ini, akhirnya berdampak pada keamanan dan kestabilan roda pemerintahan. Dan puncak dari perseteruan tersebut terjadi tanggal 30 Septermber 1965. Dengan adanya G30S-PKI membawa kekacauan disegala aspek kehidupan, baik bidang ekonomi, sosial apalagi dibidang politik.

Setelah meletusnya pemberontakan ini, bahkan janji yang berulang kali diucapkan Presiden Soekarno untuk memberikan penyelesaian politik yang adil terhadap pemberontakan G30S-PKI belum juga diwujudkan. Sementara itu gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI kian keras dan bertambah luas. Oleh karena ini, Presiden Soekarno membuat surat perintah pada tanggal 11 Maret 1966 yang berisi tugas dan wewenang yang ditujukkan untuk Letnan Jendral Soeharto supaya terjamin keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan Indonesia tahun 1966.

Berdasarkan wewenang yang bersumber pada surat perintah 11 Maret, Letnan Jendral Soeharto atas nama Presiden menetapkan pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) termasuk semua bagian-bagian organisasinya yang seasas/berlindung/bernaung dibawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pimpinan Besar Revolusi No. 1/3/1966. Maka pada tanggal 12 maret 1966 tindakan pertama Letnan Jendral Soeharto sebagai pengemban surat perintah 11 maret 1966.

Pada tanggal 25 Juli 1966 MPRS menyelenggarakan sidang umum, yang mana agenda terpenting yang dibicarakan adalah pengukuhan Surat Perintah 11 Maret 1966 oleh MPRS, dengan demikian Presiden Soekarno dengan alasan apapun tidak dapat menarik kembali surat perintah tersebut. Puncak dari dihentikannya kekuasaan Presiden Soekarno terjadi ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menggelar Sidang Istimewa pada tanggal 1-12 maret 1967.

Hasil utama SI MPRS 1967 adalah TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Pasal 3 TAP MPRS dengan tegas menetapkan “Menarik kembali Mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya dalam pasal 4 TAP MPRS yang sama,“ mengangkat Letnan Jendral Soeharto pengemban ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1967 sebagai pejabat Presiden berdasarkan pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum.

Maka dengan keluarnya ketetapan MPRS tahun 1967 tersebut diatas, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan awal bahwa kedudukan kepala pemerintahan (Presiden) pada saat itu sudah berpindah tangan dari Soekarno ke tangan Soeharto. Dan ini menjadi perjalanan akhir dari demokrasi terpimpin di Indonesia pada periode 1959-1965.

Kesimpulan Demokrasi Terpimpin 1959-1965

Kesimpulan dari pelaksanaan demokrasi terpimpin periode 1959-1965 adalah bahwa penerapan demokrasi ini merupakan pembalikan total dari proses politik yang berjalan pada masa demokrasi parlementer. Adapun beberapa karakteristik utama dari perpolitikan pada era demokrasi terpimpin sebagai berikut.

  1. Pertama, mengaburnya sistem kepartaian. Kehadiran partai-partai politik bukan untuk mempersiapkan diri dalam rangka mengisi jabatan politik di pemerintah (karena pemilihan umum tidak pernah dijalankan), tetapi lebih merupakan elemen penopang dari tarik ulur kekuatan antara lembaga kepresidenan, Angkatan Darat ,dan Partai Komunis Indonesia.
  2. Kedua, dengan terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, peranan lembaga legislatif dalam sistem politik nasional menjadi sedemikian lemah. DPR-GR tidak lebih hanya merupakan instrumen politik lembaga kepresidenan. Proses rekrutmen politik untuk lembaga ini pun ditentukan oleh presiden.
  3. Ketiga, hak dasar manusia menjadi sangat lemah. Kritik dan saran dari lawan-lawan politik Presiden tidak banyak diberikan. Mereka tidak mempunyai keberanian untuk menentangnya.
  4. Keempat, masa demokrasi terpimpin membuat kebebasan pers berkurang. Sejumlah surat kabar dan majalah dilarang terbit oleh pemerintah seperti misalnya Harian Abadi yang berafiliasi dengan Masyumi dan Harian Pedoman yang berafiliasi dengan PSI.
  5. Kelima, sentralisasi kekuasaan semakin dominan dalam proses hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah-daerah memiliki otonomi yang terbatas.

Dari lima karakter di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pada era demokrasi terpimpin terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap demokrasi. Hal ini juga tidak terlepas dari kondisi Indonesia yang baru merdeka.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA