Bagaimana menurut anda tentang banyaknya parpol dalam sebuah negara

Partai politik memiliki arti penting dalam sebuah sistim demokrasi perwakilan. Partai politik diyakini sebagai instrumen yang strategis bagi perkembangan demokrasi Indonesia di masa depan. Namun sejak era reformasi terlihat adanya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik . Meskipun muncul berbagai reaksi terhadap eksistensi partai politik saat ini, berbagai pihak berharap demokrasi akan semakin baik apabila partai politik bisa lebih profesional, demokratis dan akuntabel. Hal tersebut mengemuka dalam seminar “Penguatan Kelembagaan Partai Politik Sebagai Pilar Demokrasi”, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila UGM bekerjasama Kementrian Hukum dan HAM RI, Jum’at (14/9) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM.

Peneliti Pusat Penlitian Politik Lipi, Lili Romli menyebutkan, bahwa menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dikarenakan partai politik tidak mampu memainkan fungsinya dengan optimal. Partai-partai politik tidak memiliki kemampuan mengerahkan dan mewakili kepentingan warga negara maupun menghubungkan warga negara dengan pemerintah.

“Kondisi ini ditambah dengan persoalaan pelembagaan parpol yang belum terwujud dengan baik,” tegasnya.

Romli menilai bahwa partai politik di era reformasi belum dapat menjadi institusi publik yang menunjukkan tanggungjawabnya terhadap pemilihnya. Di era orde baru partai politik menjadi mesin politik penguasa sehingga lebih diarahkan pada kepentingan pelanggengan status quo. Sedangkan saat memasuki reformasi parati politik dihadapkai pada tuntutan masyarakat yang begitu besar, sementara partai politik belum siap dengan kelembagaan yang baik.

Menurutnya terdapat sejumlah faktor yang membuat tingkat kelembagaan partai belum berkembang denga baik. Partai-partai yang ada umunya relatif baru sehingga infrastruktur partai belum terbangun dengan baik. Selain itu partai-partai kerap mengalami konflik yang menguras tenaga dan waktu sehingga tidak ada waktu untuk membagun pelembagaan partai politik. Elite-elite parati pun belum menjadikan AD/ART sebagai satu-satunya aturan dalam mengelola partai politik. Ditambah lagi tradisi berpartai yang menghormati perbedaan budaya politik demokrasi di kalangan elite partai belum tumbuh. Unsur patrimonialisme dan bahka feodalisme masih kuat di kalangan elite partai. “Agar parpol berfungsi baik harus ada penguatan kelembagaan parpol supaya menjadi institusi demokrasi yang kuat dan berjalan dengan optimal. Upaya penguatan seperti penguatan platform partai, kaderisasi, rekrutmen politik, dan menciptakan kohesivitas internal partai adalah hal-hal yang harus segera dilaksanakan,” urainya.

Aktivis Constitusional & Electoral Reform Center (CORRECT), Refly Harun menyebutkan pandangan senada. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik disebabkan partai politik yang masih belum bisa menunjukkan kinerjanya dengan baik dan mempertanggungjawabkannya pada masyarakat. “Orang ikut pemilu karena berharap ada harapan yang lebih baik dari poroses pemilu, tapi dalam banyak hal saat wakil rakyat terpilih sebagai pemimpin melalui pemilu ternyata perbaikan atau perubahan yang diinginkan tidak cepat terjadi sehingga masyarakat yang tak sabar jadi putus asa. Ditambah lagi pragmatism parpol yang hanya bekerja lima tahunan,” jelasnya.

Melihat kenyataan tersebut, Refly menegaskan bahwa perlunya penaatan partai politik kedepan baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam, partai politik harus membuat konstitusi partai yang benar-benar mencerminkan bagaimana fungsi partai dijalankan agar partai berjalan lebih demokratis. Sementara penataan dari luar melalui kontrol dari masyarakat yang jelas serta melalui proses perundang-undagan. “Atur semua dalam undang-undang yang jelas penegakan hukumnya. Lalu biarkan parpol mengatur diri mereka sendiri,” ujarnya.

Pakar Politik dan pemerintahan UGM, AA GN Ari Dwipayana mengibartakan partai politik adalah setan yang diperlukan. Partai politik merupakan sebuah institusi penting dan diperlukan, akan tetapi juga paling tidak disukai. Penurunan tingkat kepercayaan terhadap partai politik karena publik melihat partai identik dengan konflik, akrtel, patronase dan pragmatisme kekuasaan. “Pelembagaan partai jadi agenda mendesak. Dimulai dengan proses pemantapan parpol baik organisasi maupun individu-individu dalam partai dalam rangka menciptakan pemolaan perilaku/budaya untu menghasilkan parpol yang representatif dan mampu menjalankan fungsinya,’ paparnya

Sementara itu Wakil Ketua Komisi II DPR, Ganjar Pranowo,menyinggung tentang partai politik dalam pemilu. Ditegaskan, guna menyederhankan partai politik di Indonesi a diperlukan aturan yang jelas dan tegas. “Misalnya jangan mempermudah syarat pendirian parpol. Mengapa? Karena saat partai sudah berdiri kenyataannya banyak yang tidak bertanggungjawab,” jelasnya.

Ganjar menambahkan bahwa partai politik saat ini menghadapi berbagi persoalan pelik, salah satunya adalah kaderisasi. Menurutnya proses kaderisasi dan pendidikan politik kebanyakan partai saat ini masih lemah, meskipun begitu ada beberapa partai politik sudah melakukan kaderisasi berjenjang. Fenomena kader partai yang pindah dari satu partai ke partai lain menunjukkan bahwa kaderisasi yang dilakukan partai politik belum berhasil menanamkan loyalitas yang kuat. “Kaderisasi ini menjadi problem besar di partai politik. Untuk mengkader dan memberikan pendidikan politik pada anggotapun tak mudah, membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” katanay. (humas UGM/Ika)

SISTEM multi partai yang dianut Indonesia saat ini dinilai mengganggu efektifitas pemerintahan yang menganut system presidensial. Meskipun tidak dikenal adanya pertanggungjawaban eksekutif ke legislatif, namun akan menghambat pengambilan kebijakan, misalkan dalam pembuatan APBN.

Hal itu disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Bagir Manan dalam Konferensi Hukum Tata Negara di Padang, Sumatera Barat, Senin (5/9). “Sistem banyak partai umumnya menyebabkan pembahasan kebijakan berlangsung lama, cenderung tidak efisien,” kata Bagir.

Bahkan, dalam konteks parlemen di Indonesia, lanjut Bagir, menyebabkan banyak terjadi kompromi antara pemerintah dan parlemen dalam pengambilan keputusan. “Dan kerap terjadi keputusan hasil dagang sapi. Sehingga, parlemen menjadi lembaga yang tidak efektif mewakili aspirasi rakyat,” ujar mantan Ketua Mahkamah Agung tersebut.

Disampaikan Bagir, pada masa sekarang partai bermunculan hanya sebagai alat untuk mengejar kekuasan, minim sekali yang menawarkan gagasan komprehensif. Tiap partai tidak punya garis politik dan ideologi yang jelas. “Partai yang dibiarkan seperti ini tidak akan menopang kemajuan demokrasi,” tuturnya.

Dengan tren parpol yang cenderung menjadi mesin kekuasan, banyak jalan pintas yang diambil, termasuk dalam rekrutmen kader. “Sekedar menemukan orang yang menarik public tanpa perlu dipertalikan dengan system rekrutmen sebagai kader partai. Memunculkan penampilan tanpa isi, seperti sekedar kegarangan mengkritik atau berargumentasi. Memunculkan orang karena dikenal public seperti di panggung-panggung infotainment,” ujarnya.

Dampaknya, lanjut Bagir, rakyat pun hanya menjadi komoditas kekuasaan yang termobilisasi secara politik. “Rakyat bukan subyek, hanya sekedar alat legitimasi kekuasaan,” tuturnya.

Sementara itu, Mentari Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam acara yang sama menyampaikan pentingnya meneguhkan kedaulatan partai politik. Ia pun menyoroti mengenai system pemilu yang dianut saat ini banyak mendegradasi kedaulatan parpol.

“Untuk jadi anggota DPR, dapil Jakarta, ada kawan saya habis Rp49 miliar. Ini ekses yang tidak bagus,” tuturnya.

Ia pun menyampaikan perlunya ada kajian dan evaluasi dalam system pemilu yang dianut Indonesia saat ini. “Apakah tetap system proportional terbuka atau menjadi tertutup. Yang jelang degradasi kedaulatan partai saat ini menuju titik kritis,” jelas Mendagri. (YH/OL-2)

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (Setkab RI) bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat Indonesia. FGD bertemakan “Peran Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan dalam Mendorong Partisipasi Politik di Indonesia” digelar di gedung Fakultas Hukum UII pada Selasa (26/10).

Dalam FGD tersebut, Setkab RI diwakili oleh Kepala Bidang Politik dan Organisasi Kemasyarakat, Darmawan Sutanto, didampingi oleh Kepala Subbidang Politik dan Kepala Subbidang Kemasyarakatan Lembaga Negara. Adapun, PSHK FH UII diwakili oleh, Dr. Jamaluddin Ghafur, S.H., M.H. dan Direktur PSHK FH UII, Allan Fatchan Gani Wardhana. Keduanya juga merupakan dosen di FH UII.

Jamaluddin menyampaikan, partsipasi merupakan hal yang esensial dalam negara demokrasi. Oleh karena itu untuk mewujudkan partisipasi politik, setidaknya ada tigal hal yang harus diperhatian. Pertama, harus ada kompetisi dalam arti jabatan-jabatan public harus dikompetisikan. Kedua, partisipasi dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah. Ketiga, kebebasan berpendapat, dalam hal ini pemerintah tidak boleh menghalang-halangi gerakan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi masyarakat.

Dengan demikian, pasrtisipasi memiliki peranan yang penting, baik bagi setiap individu untuk mengontrol dan mengawasi kebijakan pemerintah agar terhindar dari tindakan penyelewenangan yang dapat merugikan masyarakat, maupun bagi pemerintahan untuk mengukur tinggi atau rendahnya sistem demokrasi di suatu negara.

Dalam pelaksanaannya, menurut Jamaluddin, partisipasi memiliki beberapa jenis dan pola, antara lain: 1) Otonom, yaitu partisipasi yang dilakukan secara sadar dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah, 2) Konvensional, parstisipasi yang dilakukan secara langsung seperti pemilu, pilkada, dll, 3) Non-konvensional, partisipasi yang dilakukan seperti petisi, demokrasi, dan refOrmasi, 4) Digerakkan, partisipasi yang dilakukan atau digerakkan dalam suatu lembaga yang menggerakkan, salah satunya partai politik (parpol) yang dijadikan lembaga utama dan lembaga sentral untuk mengorganisir warga negara untuk berpartisipasi.

“Bahkan sebagian ahli mengatakan Parpol bila dibandingkan dengan organisasi lain, memiliki kewenangan yang sangat besar utk mengorganisir warga negara. Parpol merupakan institusi sentral dalam negara demokrasi yang diberikan hak eksklusif untuk mengakses kekuasaan, walaupun nanti kita bisa tunjukkan bahwa kondisinya menyedihkan,” ujarnya.

Jamaluddin mengatakan, dalam pelaksanaannya Parpol di Indonesia sangat dihegemoni oleh kekuasaan Ketua Partai. Bahkan kerap kali Anggaran Dasar dan Anggran Rumah tangga (AD/ART) dijadikan alat untuk melegalkan kewenangan Ketua Partai untuk melanggengkan kekuasaaanya, (alat proteksi legal). Sehingga dapat dipahami bahwa ketika Parpol dianggap sebagai lembaga central negara demokrasi, tapi justru di dalam internal Parpol itu tidak demokratis.

Dengan demikian, menurut Jamaluddin, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mewujudkan demokrasi internal Parpol, yang dapat dilakukan dengan tiga hal, yaitu: 1) bagaimana Parpol memilih dan menyeleksi kandidat publik, 2) bagaimana Parpol melakukan seleksi pada kepemimpinan kekuasaan, 3) bagaiman Parpol merumuskan suatu kebijakan.

Terakhir, Jamaluddin mengusulkan ada dua cara untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat melalui Parpol, yaitu: Pertama, dengan meniru model Amerika, dimana Dewan Petinggi Parpo berkedudukan sebagai manager. Ia hanya mengatur soal internal paprol, tetapi tidak ikut campur dalam kekuasaan publik. Sehingga, harus ada pemisahan antara siapa yang fokus ke pejabat publik dan siapa yang fokus untuk mengurus interna Parpol.

Kedua, meniru modal Eropa, dimana Ketua Umum Perpol tetap memiliki kekuasaan penuh, namun harus ada prosedur suksesinya yang diatur dalam UU, meliputi: 1) Pencalonan, minimal harus ada dua calon dalam proses pemilu, tidak dibolehkan ada calon tunggal. 2) Pemilih, harus dilakukan oleh yang berhak, yaitu anggota Parpol. 3) Mekanisme Pemilihan, Pemilihan harus tegas dilakukan dengan pemilihan langsung, tidak boleh aklamasi, dan 4) Ada Pembatasan Masa Jabatan Pimpinan Parpol, harus diatur terkait pembatasan masa jabatan Pimpinan Parpol.

Selanjutnya, Allan Fatchan menyampaikan bahwa Organisasi Masyarakat (Ormas) memiliki beberapa fungsi, diantaranya: 1) Electoral Activity, yaitu aktivitas Ormas untuk mengorganisir masyarakat, seperti banyak para pemimpin Ormas yang berlomba untuk mencari massa. 2) Lobbying, yaitu kegiatan Ormas untuk melakukan lobby ke pemerintah, terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan. Dan 3) Organizational Policy Making dan Social Empowering, yaitu kegiatan Ormas untuk mengawal pembuatan kebijakan pemerintah dan agenda politik pemerintah.

Dari ketiga fungsi Ormas tersebut, fungsi ketiga merupakan fungsi yang kerap kali tidak dilaksanakan oleh Ormas-Ormas di Indonesia. Dari sekian banyak Ormas yang ada, hanya seidikit yang menjalankannya. Hal ini dikarenakan, tidak banyak Ormas yang mau terlibat dalam pembuatan kebijakan, dan mengawal agenda politik pemerintah.

“Banyak yang berpikir bahwa politik hanya soal kekuasaan, padahal lebih dari itu. Esensi politik kan sebenarnya adalah usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik,” ujarnya.

Allan Fatchan menyampaikan, definisi Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun terkait tujuan dan fungsi Ormas hal ini telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU Ormas. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) juga telah memberikan kebebasan dan melindungi kedudukan Ormas. Namun, permasalahannya bukan dalam segi pengaturan, melainkan dari kemauan Ormas itu sendiri untuk mau berkiprah turut mengkritisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan bidang yang digelutinya.

Allan Fatchan mengatakan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi eksistensi Ormas, Pertama, regulasi. Negara tidak boleh melakukan intervensi pada kegiatan Ormas, sepanjang kegiatannya tidak mengganggu ketertiban atau keamanan negara. Kedua, sumber daya manusia (SDM)/ kapasitas. Penting bagi suatu Ormas untuk diisi oleh orang-orang yang memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai, dengan demikian Ormas dapat lebih aktif dalam merespon isu-isu sosial.

Berikutnya, Ketiga, kelembagaan dan program nyata. Ada agenda nyata yang dilaksanakan oleh Ormas-Ormas itu sendiri, dan keempat, terkait pendanaan/keuangan. Dalam hal ini menurutnya Ormas memiliki perhatian lebih untuk merespon isu-isu terkait pendanaan, sebab hal ini berkaitan dengan kebutuhannya.

“Ketika kami mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait Peraturan Daerah (Perda) tertentu, jarang ada Ormas yang hadir. Tapi kalau perda yang mengatur mengenai bantuan keuangan Ormas, datang semua. Tapi kalau soal isu-isu lingkungan, tata ruang, tidak ada satupun yang hadir, daftar hadir kosong,” ujarnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Allan menyebutkan beberapa gagasan yang dapat dilakukan Ormas untuk turut berpartisipasi aktif dalam negara demokrasi, yaitu: 1) Ormas harus turut aktif dalam perubahan sosial dan penyelesaian berbagai persoalan bangsa. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan advokasi, mengekspresikan gagasan melalui forum media, diskusi, dan ruang publik lainnya.

Selanjutnya, 2) Ormas tidak boleh berpangku tangan melihat kondisi sosial yang jauh dari ekspektasi publik. Hal ini dapat dilakukan dengan terus menawarkan gagasan dan melakukan tindakan untuk memperbaiki situasi sosial dan politik tanah air. 3) Gagasan dan tindakan Ormas harus didasari oleh ideologi yang sesuai dengan realitas dan cita-cita kebangsaan.

Setalah pemaparan dari pemateri, forum dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab antara anggota Setkab RI dengan para Dosen FH UII terkait persoalan pasrtisipasi publik dalam partai politik maupun Ormas. (EDN/RS)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA