Bagaimana jika agama tidak sejalan dengan budaya brainly

Ngatawi Al-Zastrow

Jakarta - Agama dan budaya di Indonesia, jika dilihat dari konteks Islam yang berkembang dan hidup di Nusantara ini telah menjadi hubungan simbiosis. Agama butuh alat atau pun metode untuk disampaikan kepada masyarakat. Agar orang paham terhadap agama, maka dibutuhkan metode ataupun alat supaya agama itu bisa dipahami orang.

“Dalam konteks ke-nusantaraan yang ada di Indonesia, budaya, tradisi dan seni itu menjadi alat untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama,” ujar budayawan Ngatawi Al-Zastrow atau yang biasa disapa Sastro, di Jakarta, Jumat (13/4).

Dijelaskan, beberapa hal yang perlu dicatat mengapa di Nusantara ini agama dan budaya atau budaya dan tradisi menjadi alat atau metode dalam penyampaian agama. “Pertama, supaya agama lebih mudah dipahami. Karena kalau pesan-pesan agama disampaikan dengan cara-cara Timur Tengah tentunya akan ada kesenjangan budaya. Sehingga akan kesulitan untuk memahami dan menerima pesan-pesan agama itu kalau metode Arab itu yang dipakai,” ujarnya.

Oleh karena itu, sejak jaman Walisongo digunakanlah metode atau tradisi nilai-nilai kultur orang lokal Nusantara ini sebagai alat untuk menyampaikan. Dan itu terbukti ampuh, sehingga dalam waktu kurang dari 50 tahun, Walisongo mampu meng-Islamkan masyarakat Nusantara dari yang semula 90% Hindu-Budha berbalik menjadi 90% Islam.

“Padahal selama 8 abad, Islam tidak berkembang di bumi Nusantara ini. Data sejarah menunjukkan abad ke-8 Islam sudah masuk di bumi Nusantara melalui berbagai pintu, baik dari pintu Aceh, pintu Jawa dan pintu macam-macam,” ujarnya.

Namun, pada kenyataaanya Islam sendiri baru berkembang pada abad ke-15 di zaman Majapahit yang artinya ada masa kevakuman dari abad ke-8 sampai abad ke-15 yang mana Islam di Nusantara ini belum bisa diterima oleh bangsa Nusantara. Kevakuman itulah yang kemudian dikoreksi oleh para wali dan ternyata ada kesalahan dalam menyampaikan pesan.

“Akhirnya disampaikan dengan bahasa, cara, budaya, tradisi yang berkembang di masyarakat, baru Islam itu bisa masuk. Dengan cara yang disampaikan para wali itulah akhirnya melahirkan tembang, gending, syair, babat, serat, sastra dan sebagainya itu. Sehingga dengan kebudayaan ini lebih mudah diterima,” kata mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU ini.

Lalu yang kedua digunakannya kebudayaan sebagai metode atau alat dalam menyampaikan ajaran Islam dikarenakan dengan kebudayaan ini wajah Islam menjadi menyenangkan dan kompatibel dengan tradisi lokal yang berkembang di masyarakat.

“Sebab ada kesenjangan budaya kesannya kalau kita langsung pakai cara-cara metode Arab itu orang menjadi defence culture. Kesenjangan kultural inilah yang menyebabkan akhirnya ada defence culture. Nah untuk mengatasi adanya defence culture itu maka inilah kebudayaan yang menjadi Wasilah,” ujar mantan asisten pribadi Presiden RI ke-4, almarhum Abdulrahman Wahid (Gus Dur) ini.

Dengan cara-cara inilah, menurutnya, Islam menjadi lebih kreatif. Meski ajarannya tidak diubah, ekspresinya menjadi lebih bisa beragam dan menunjukkan Islam itu kebenarannya akan tetap abadi di setiap tempat dan waktu.

“Karena budaya-budaya yang ada di masing-masing tempat itu bisa menerima dengan baik dan bisa ekspresikan Islam dengan gayanya masing-masing dari segi kultural tanpa harus merubah ajaran-ajaran yang sudah baku. Inilah yang perlu dipahami masyarakat pemeluk agama Islam,” ujarnya.

Menurutnya, dengan Islam yang seperti ini, maka orang menjadi tidak mudah marah. Karena kalau Islam ini sedikit sedikit marah, ditunjukkan dengan emosi ataupun kemarahan-kemarahan, akhirnya orang menjadi berpikir mengapa ajaran Islam ini ajarannya marah-marah.

“Kita juga perlu marah tetapi harus pada tempatnya. Kalau kita marah dan mengatasnamakan marah itu pada hal-hal yang sifatnya membesar-besarkan masalah, maka orang jadi mikir seperti masalah sedikit dibesar-besarkan yang akhirnya sama saja dengan mengkerdilkan Islam itu sendiri,” ujarnya.

Terkait dengan puisinya Sukmawati yang bikin heboh masyarakat, menurutnya, ini mengindikasikan bahwa taraf keberagamaan masyarakat Indonesia ini cenderung masih bersifat legal formalistik, di mana masih menjadi orang yang mudah kaget, mudah marah, dan mudah terkejut. Padahal sebetulnya puisi itu adalah puisi otokritik yang dapat menjadi bahan refleksi bagi masyarakat semuanya.

“Misalnya ketika mbak Sukma mengatakan bahwa ‘Kidung ibu lebih indah daripada adzan mu’. Nah ‘Mu’ ini tujuannya kemana? ‘Mu’ ini kalau tujuannya kepada orang yang adzan itu yang kadang suaranya sember, suaranya tak beraturan, kadang juga asal teriak atau asal bunyi. Secara jujur dan estetik misalnya dibanding dengan kidung-kidung yang merdu, yang berirama, menyentuh hati secara faktual memang seperti itu,” ujar alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kondisi seperti ini menurutnya sudah diantisipasi oleh para wali pada zaman dahulu ketika Sunan Kalijogo mentransformasikan ayat-ayat Allah menggunakan seni, budaya dan tradisi. Karena hal itu sebagai sarana untuk menyebarkan, mengajarkan, dan menyampaikan pesan-pesan agama supaya lebih indah, lebih mudah diterima dan lebih menyenangkan ketika didengarkan orang.

“Akhirnya dengan cara seperti itu justru Islam bisa diterima oleh semua orang, dibanding dengan orang-orang yang berteriak-teriak tetapi suaranya enggak jelas meskipun itu suara yang mengandung kebaikan. Ini faktual, harus dibedakan antara pesan agama, ajaran agama dengan metode, cara atau alat menyampaikan pesan,” ujar pria yang memiliki ciri suka memakai blangkon ini.

Karena adzan itu adalah bagian dari ritual agama dalam memanggil orang untuk melaksanakan shalat dan karena suara adzan itu suara sakral, suara suci dan ritual agama, maka mestinya harus disampaikan dengan suara yang indah sehingga jangan sampai kalah dengan kidung.

“Nah kalau langgam kalah dengan kidung akhirnya dia menjadi bahan ketawaan orang dan bahan ejekan orang. Ketika ada orang ada yang merasakan seperti itu ya kita jangan marah, mestinya kita instropeksi lain kali kalau adzan suara atau langgamnya harus yang bagus, merdu,” ujanrya

Pria kelahiran Pati, 27 Agustus 1966 ini mencontohkan, Sunan Kalijogo dulu ketika membangunkan orang untuk salat tahajjud tidak langsung mengutip ayat-ayat dalam kitab suci melainkan ditransformasikan menjadi kidung Rumekso Ing Wengi.

“Itu adalah contoh Sunan Kalijogo mencoba memperindah, mempercantik supaya pesan-pesan agama ini lebih mudah, gampang dan lebih enak diterima oleh para penyampai pesan. Karena itu sesuai dengan kondisi psikologis, kondisi kultural, kondisi tradisional masyarakat. Jadi marilah kita sama-sama mencoba untuk menghayati sejarah itu di muka bumi Indonesia ini,” ujarnya.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini

Sumber: PR


MUHAMMADIYAH.OR.ID, DEPOK— Dalam kaidah usul fikih disebutkan bahwa adat istiadat atau budaya dapat menjadi sumber hukum (al-‘adat muhakkamah). Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PCIM Arab Saudi Nur Fajri Romadhon mengatakan bahwa kaidah ini memposisikan budaya dan adat istiadat sebagai sumber hukum yang diakui agama. Karenanya, aturan dan tradisi yang sesuai dengan syariat bisa menjadi sebuah hukum atas kasus tertentu.

“Namun perlu ditekankan di sini bahwa adat istiadat yang bisa dijadikan sumber hukum itu syarat utamanya ialah tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunah,” tegas alumni King Abdulaziz University, Arab Saudi ini dalam Kajian Tarjih yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Depok pada Selasa (02/11).

Contoh penggunaan adat istiadat sebagai sumber hukum ialah penentuan mahar untuk istri. Dalam Islam, seorang laki-laki yang ingin menikahi seorang perempuan wajib memberi mahar atau mas kawin. Mahar tersebut jika tidak ditentukan pada saat akad nikah dikembalikan kepada adat budaya setempat untuk menentukan ukurannya.

Contoh lain dapat dikemukakan yaitu masalah pemberian nafkah kepada keluarga. Menurut Islam, kepala rumah tangga wajib memberi nafkah keluarga yang dipimpinnya, namun Islam tidak menentukan besarannya. Hal itu diserahkan kepada kemampuannya dan adat budaya yang berlaku di daerah tempat tinggalnya.

Budaya yang Bertentangan dengan Syariat

Contoh budaya yang bertentangan dengan syariat ialah syair-syair yang dilantunkan orang-orang Jahiliyah dahulu yang mengandung unsur-unsur kemusyrikan. Ketika Islam datang, melantukan syair tetap dibenarkan, namun tentu saja tidak boleh mengandung hal-hal yang bertentangan dengan agama, seperti kemusyrikan, bid’ah, dan hal-hal yang membantu kedzaliman.

“Budaya yang bertentangan dengan Islam dapat diperbaiki kualitasnya sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Misalnya, syair yang dulu mengandung unsur syirik diubah menjadi syair yang mengandung nilai-nilai tauhidi, dan usaha Wali Songo dalam memodifikasi kesenian wayang,” ujar Nur Fajri.

Sementara itu, adat budaya hasil cipta karsa manusia yang secara terang-terangan mengandung unsur-unsur kemusyrikan, bid’ah, khurafat, takhayul, kedzaliman, dan hal-hal negatif lainnya, maka harus ditundukkan kepada ajaran Islam. Bukan sebaliknya. Hal tersebut lantaran budaya merupakan hasil ciptaan manusia sedangkan nash-nash syariat tidak mungkin mengandung unsur kebatilan.

Contohnya adat budaya yang menyalahi syariat adalah budaya larung laut. Dalam budaya ini orang-orang mempersembahkan sesajian berupa kepala kerbau dan hasil pertanian lalu menghanyutkannya ke laut. Budaya ini berasal dari adat istiada Hindu, yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Jawa untuk mengharap berkah dari penunggu lautan dan menghindarkan mereka dari maya bahaya.

Dengan demikian, karakteristik kebudayaan dalam Islam ialah sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tidak bertentangan dengan Al Quran dan Al Sunah, dapat meningkatkan keimanan dan tidak mengandung unsur kemusyrikan, menghasilkan kebajikan dan menambahkan ingat kepada Allah, dan membuat pencerahan peradaban dan tidak menyebabkan perpecahan.

Tags: Al-Qur'anbudayaPCIM Arab SaudiSyariat IslamTuntunan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA