Bagaimana cara menerapkan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan nilai Islam

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjadikan kebudayaan Islam Nusantara sebagai tema besar dalam peringatan Harlah ke-91 NU pada 30-31 Januari 2017.

Salah satu ruangan di Lantai 8 Kantor PBNU, Kramat Raya, Jakarta Pusat, diubah menjadi tempat pameran keris, wayang dan manuskrip kuno.

Tercatat puluhan keris tersebut berasal dari zaman Kerajaan Majapahit, Singosari, Mataram, Padjajaran, Demak, dan kerajaan-kerajaan lainnya.

Selain itu, ada juga 31 naskah kitab tulisan tangan yang dipamerkan sebagai warisan intelektual para ulama.

Naskah tersebut ditulis dalam tulisan Arab, Arab Pegon, Jawa, dan Melayu.

Video Rekomendasi

Bagaimana cara menerapkan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan nilai Islam

Pengaruh budaya

Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU KH Agus Sunyoto mengatakan, tema kebudayaan sengaja diangkat untuk mengingatkan seluruh kaum muslim bahwa sejarah perkembangan Islam tidak bisa lepas dari pengaruh budaya.

Menurut Agus, tradisi dan budaya lokal bangsa Indonesia berperan besar dalam penyebaran Islam, khususnya di Pulau Jawa.

Penyebaran melalui jalan kebudayaan itu yang membuat Islam sebagai agama yang mudah diterima oleh masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, peran budaya tidak lantas hilang setelah era penyebaran Islam.

Agus menuturkan, keberhasilan agama Islam bertahan di Nusantara justru terjadi karena adanya akulturasi budaya dan agama.

Ritual keagamaan masih dipraktikkan tanpa menyingkirkan faktor tradisi seperti misalnya upacara Sekaten dan Tahlilan.

"Tradisi dan budaya lokal itu yang justru menjadi pengikat sekaligus penguat agama Islam," ujar Agus, saat ditemui usai peringatan Harlah, Selasa (31/1/2017) malam.

Berdasarkan catatan sejarah, Islam masuk ke Pulau Jawa pada tahun 674 Masehi.

Namun, menurut seorang juru tulis asal China bernama Ma Huan, hingga tahun 1433, agama Islam belum diterima oleh masyarakat pribumi.

Pada tahun 1433, Ma Huan datang ke Pulau Jawa bersama rombongan Laksamana Cheng Ho yang sebelumnya sudah pernah menjejakkan kaki di Nusantara sebanyak enam kali.

Ma Huan mendatangi kota-kota pelabuhan di utara Pulau Jawa mulai dari Sunda Kelapa, Cirebon, Tegal, Semarang dan Lasem.

Ma Huan mencatat sudah ada komunitas orang Persia dan Arab, selain komunitas China beragama Islam.

Sementara, penduduk pribumi masih belum memeluk Islam.

Orang-orang Jawa umumnya memeluk agama lokal yang disebut agama Kapitayan.

"Artinya selama 800 tahun sejak pertama kali masuk, agama Islam belum bisa diterima oleh penduduk pribumi. Baru setelah kedatangan Wali Songo, Islam bisa menyebar di Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Penyebaran terjadi setelah 40 tahun kedatangan Wali Songo," kata Agus.

Agus menuturkan, bukan tanpa alasan Wali Songo memilih strategi kebudayaan dalam menyebarkan Islam.

Saat itu, masyarakat desa sudah memeluk agama Kapitayan. Jumlah pemeluk Kapitayan lebih besar dibandingkan pemeluk agama Hindu dan Buddha.

Sebab, hanya orang-orang yang tinggal di lingkungan kerajaan saja yang menganut agama Hindu dan Buddha.

Wali Songo berasumsi agama Kapitayan memiliki banyak kemiripan dengan Islam, baik dari tata cara ibadah maupun persembahannya.

Kemudian, Wali Songo sepakat bahwa Islam harus dikembangkan melalui jalan kebudayaan. Itu sebabnya Wali Songo tidak menggunakan istilah-istilah keislaman.

Jepara, NU OnlineTradisi yang berkembang di Nusantara sejak ratusan tahun silam sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab oleh para Wali maupun Ulama sudah diislamisasi sehingga meski tradisinya bisa saja tinggalan agama lain tetapi ruhnya tetap sejalan dengan ajaran Islam.<>Pernyataan ini disampaikan KH Muhammad Syarofudin Ismail saat didaulat menjadi badal Gus Mus dalam pengajian implementasi Islam Rahmatan Lil Alamin di Masjid Baitul Makmur, Jepara, Sabtu (5/9) malam.Menurut pengasuh pesantren Roudlotut Thalibien Rembang ini, tradisi-tradisi yang dilestarikan hingga saat ini secara lahiriah tidak diubah sama sekali tetapi isinya yang mulanya mengandung akidah agama lain lalu diubah sesuai dengan ajaran Islam semisal tradisi sedekah bumi.Sehingga hal ini sebut Kiai Syarofudin sejalan dengan Jawa tetap dibawa. Arab digarap. “Budaya Jawa ayo digawa. Arab digarap,” jelasnya kepada ratusan hadirin.Di belahan Arab, urainya Towaf semasa era jahiliyah dilakukan dengan bertepuk tangan dan telanjang bulat. Oleh Nabi kemudian ritual mengelilingi Ka’bah ini dilakukan seraya membaca talbiyah.Hal lain ditambahkan KH Mastur. Kiai sepuh yang berdakwah dengan media wayang ini menambahkan wayang merupakan media untuk menunjukkan kepada kebaikan.Kiai Mastur menerangkan wayang yang dikendalikan dalang bertindak sebagai pengatur perkara yang benar. Jika perkara yang benar itu dilaksanakan tentu akan bernilai pahala.

Ihkwal kebaikan dalam wayang imbuh pengasuh pesantren Al-Istiqomah ini ditandai dengan sosok satria. Sedangkan sosok negatif misalnya di pewayangan ada sosok butho cakil. (Syaiful Mustaqim/Alhafiz K)

ISLAM sebagai agama yang rahmatan lil alamin sangat menjaga hubungan baik sesama manusia (hablum minannas) di tengah-tengah kehidupan umatnya agar terjaga persatuan dan persaudaraan yang harmonis.

DALAM bidang muamalah, umat Islam dalam berkehidupan harus selalu menghargai berbagai kearifan lokal yang tidak melanggar syariat Islam dan wajib meluruskannya manakala bertentangan dengan syariat Islam, sehingga kearifan lokal tetap harus tunduk kepada aturan Allah SWT, tidak sebaliknya.Karena tidak semua kearifan lokal sesuai dengan syariat ajaran Islam.

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri, karena kearifan lokal ini menjadi satu kesatuan dengan masyarakat setempat. Masyarakat disetiap daerah pun memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda, tergantung dengan kultur dan kebiasaan masayarakatnya tersendiri.

Kearifan lokal (local wisdom) ini biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi setelahnya melalui cerita dari mulut ke mulut yang disyiarkan melalui masyarkaat setempat itu sendiri.

BACA : Langgar Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

Meskipun di setiap daerah mempunyai kultur yang berbeda dengan daerah lainnya dan memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda pula, tetapi kearifan lokal terbukti memberikan solusi kongkrit terhadap persoalan lokal dan regional yang terjadi di masyarakat.

Di antara kearifan lokal itu ialah adat istiadat dan hukum adat. Adat istiadat lebih merupakan sistem nilai yang sifatnya lebih abstrak.  Sedangkan  hukum adat sudah menjadi norma-norma sosial kemasyarakatan yang memiliki reward dan punishment.

Hukum adat di dalam lintasan masyarakat Nusantara sudah sekian lama mengabdikan diri menyelesaikan sejumlah persoalan di dalam masyarakat, termasuk di dalamnya terkait konflik horizontal, baik yang bertema etnik maupun agama atau kepercayaan. Meskipun berada dibawah naungan hukum undang-undang, tetapi dalam masyarakat adat ada sebuah kearifan lokal yaitu hukum normatif yang disepakati secara kolektif sebagai instrumen penyelesaian masalah yang sifatnya di daerah itu sendiri, ini terbukti ampuh dalam penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat adat.

BACA JUGA : Dayak Bakumpai, Pendakwah dan Penyebar Islam di Pedalaman Kalimantan (3-Habis)

Indonesia yang memiliki ribuan pulau dengan berbagai etnik tidak dapat disangkal juga memilki kearifan lokal yang amat kaya dan melimpah. Kearifan secara harfiah, berasal dari bahasa Arab dari akar kataعرف – يعرف /‘arafa-ya’rifu berarti memahami atau menghayati, kemudian membentuk kata “kearifan” yang bisa diartikan dengan sikap, pemahaman, dan  kesadaran yang tinggi terhadap sesuatu.

Kearifan adalah kebenaran yang bersifat universal sehingga jika ditambahkan dengan kata lokal maka bisa mereduksi pengertian kearifan itu sendiri. Setiap kali kita berbicara tentang kearifan maka setiap itu pula kita berbicara tentang kebenaran dan nilai-nilai universal. Menentang kearifan lokal berarti menolak kebenaran universal.

Kebenaran universal itu sesungguhnya akumulasi dari nilai-nilai kebenaran lokal. Tidak ada kebenaran universal tanpa kearifan lokal. Jadi tidak tepat memperhadap-hadapkan antara kearifan lokal dan kebenaran universal.

Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 104 disebutkan bahwa:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali ‘Imran/3:104):

Untuk urusan kebaikan Allah menggunakan kata menyerukan  (يدعون/yad’una) dan untuk kata makruf digunakan istilah menyuruh ( يأمرون/ya’muruna). Kata makruf (معروف/ma’ruf) dapat disinonimkan dengan kearifan yang disepakati kebenarannya oleh umumnya komunitas. Sedangkan kebaikan ( الخير/al-khair) adalah kebenaran yang belum serta-merta diterima oleh sebagian orang non-Islam.

BACA JUGA : Moderasi Agama dan Kearifan Lokal Banjar

Kearifan lokal sudah menjadi istilah bagi nilai-nilai istimewa dan unggul di dalam suatu masyarakat. Mungkin anggapan itu benar namun masih mengesankan sebuah kearifan lokal tidak serta-merta diterima sebagai kebenaran universal melainkan harus menunggu waktu yang cukup lama untuk diakui sebagai kearifan bangsa, yang melintasi sejumlah nilai-nilai etnik.

Contoh kearifan lokal ialah gotong-royong menyelesaikan sarana umum seperti perbaikan jalan, pos yandu poskamling dan lain sebagainya, toleransi dalam merayakan seremoni keagamaan, urung rembuk (musyawarah) di dalam menentukan pemimpin, dan menyerahkan kepada lembaga adat untuk menyelesaikan konflik yang sifatnya terjadi dalam ruang lingkup daerah setempat.

Dalam era globalisasi saat ini kearifan lokal semakin diperlukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum formal kita yang bersifat general. Kearifan lokal juga bisa menyelesaikan konflik yang bertema keagamaan.

Biasanya para pihak yang bertikai mempunyai agama, aliran, dan mazhab yang berbeda tetapi memiliki budaya leluhur yang sama. Budaya luhur inilah yang berpotensi menjembatani para pihak yang bertikai. Budaya luhur yang merupakan istilah lain dari kearifan lokal ini dapat mencairkan kembali hubungan yang renggang satu sama lain.

BACA LAGI : Kearifan Lokal Mampu Menjaga Masyarakat dari Informasi Negatif

Meskipun memberikan banyak dampak positif, kearifan lokal terkadang juga menyimpang dengan ajaran-ajaran syariat Islam, Dalam kearifan lokal yang berbungkus adat istiadat, Tidak sedikit tradisi (adat-istiadat) yang mayoritas dianut oleh muslim di Indonesia sangat jauh dari nilai-nilai murni dan shahih dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Kita akan mudah menyaksikan, melihat, mengamati, mendengar, merasakan bahkan turut terlibat dalam ritual tradisi yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga di zaman digital hari ini, Tetapi kebiasaan yang dilakukan bersimpangan dengan syariat Islam yang menjadi falsafah hidup umat Islam itu sendiri.

Menurut pakar kebudayaan, Koentjaraningrat dalam bukunya bahwasanya dalam adat istiadat akan ditemukan tiga wujud kebudayaan pertama, wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai atau norma. Kedua, wujud kebudayaan sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Sebagaimana definisi tersebut maka tradisi (adat-istiadat) merupakan suatu kesatuan yang terpolakan, tersistem dan terwariskan turun temurun. Nilai-nilai yang dianut dalam sebuah tradisi pada masyarakat tertentu misalnya nilai sirri na pacce (harga diri dan rasa malu) di Makassar adalah suatu kekayaan leluhur yang hingga hari ini masih diyakini masyarakat Bugis-Makassar Sulawesi-Selatan. Bukan hanya di Makassar saja, masih begitu banyak tradisi yang diagungkan oleh setiap suku di Indonesia dan menjadi sebuah kebanggaan dan pemersatu antar suku bangsa.

BACA LAGI : Islam Banjar Perpaduan Kultur Demak dan Samudera Pasai

Setiap aturan-aturan, anjuran, perintah tentu saja akan memberi dampak positif dan setiap larangan yang diindahkan membawa keberuntungan bagi hidup manusia. Salah satu larangan yang akan membawa maslahat bagi manusia adalah menjauhkan diri dari kebiasaan-kebiasaan nenek moyang terdahulu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal tersebut sebagaimana yang Allah firmankan dalam AlQur’an :

 “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal,nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah:170)

 “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS Al-Maidah:104)

Kedua ayat tersebut menjelaskan kepada kita tentang orang-orang yang lebih patuh pada ajaran dan perintah nenek moyangnya daripada Syariat yang diwahyukan oleh Allah didalam Al-Qur’an. Seperti adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu pada ritual-ritual yang menjanjikan keselamatan, ketenangan hidup, penolak bala yang menjadi salah satu tradisi masyarakat Indonesia di berbagai daerah.(jejakrekam/bersambung) 

Bagaimana cara menerapkan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan nilai Islam

Penulis adalah Presiden Mahasiwa UIN Antasari

Sekretaris Umum HMI Cabang Banjarmasin

Email : : [email protected]

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2019/11/06/islam-dan-kearifan-lokal-1/,islam dan kearifan lokal,kearifan lokal dalam islam