Artikel tentang penegakan hukum di Indonesia

Bagiku beginilah bunyi keadilan: keadilan tidaklah sama dan tidak akan menjadi sama.

(Frederick Nietzche, dalam Thus Spoke Zarathustra)

Erwansyah remaja putus sekolah usia 17 tahun, tertegun dan gagap menjawab ketika ketua majelis hakim di satu sudut ruang Pengadilan Negeri menanyakan kepadanya apakah dia mengerti isi surat tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). “…saya mohon putusan yang seringan-ringannya Yang Mulia Hakim, saya menyesal atas perbuatan saya…” demikian ucapnya memelas. Remaja yang wajahnya masih terlihat lembam akibat pukulan dan tendangan warga sesaat setelah dia dipergoki menggondol barang curiannya itu didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan pasal 363 ayat (1) ke 3 KUHP Jo pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang perbuatan pencurian di pekarangan tertutup dilakukan berlanjut. Erwansyah yang tidak pernah mengira perbuatannya bisa sejauh itu akibatnya, dipersidangan mengaku awalnya cuma mau “menukar” sendalnya yang butut dengan sendal jepit karet trendi yang tergeletak di depan pintu rumah orang yang dilintasinya malam itu. Dengan cara melompat pagar kemudian “dipindahkannya” sendal trendi itu ke kakinya tapi karena merasa nangggung baju dan celana jean yang menggantung di tali jemuran halaman samping rumah itu sekalian juga dibungkus untuk dibawanya pulang. Dalam requisitor JPU yang dibacakan dalam persidangan siang itu terdakwa Erwansyah dituntut penjara 1 tahun 2 bulan karena JPU menganggap terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah mencuri 1 sendal jepit, 2 celana Jeans plus 1 kaos dan 1 baju kemeja.

Pada waktu yang bersamaan di ruang sidang lainnya masih di Pengadilan Negeri yang sama seorang pejabat pemerintah daerah yang didakwa atas kejahatan korupsi senilai 1,5 Miliar karena menilep dana program pembangunan desa, dituntut oleh JPU 1 tahun penjara, denda dan membayar uang pengganti. Dalam dakwaan dijelaskan bahwa dana pembangunan desa tersebut merupakan bantuan dari lembaga keuangan dunia dimaksudkan untuk memacu pembangunan dan pemberdayaaan ekonomi produktif rakyat dan merupakan dana pinjaman yang masuk dalam kategori utang negara. Terdakwa yang dalam persidangan tampak segar bugar dan tidak menjalani penahanan itu melakukan aksinya dengan cara memotong dana bagi beberapa desa senilai total Rp.1 miliar. Setelah berkonsultasi dengan pengacaranya terdakwa menjawab mantap akan mengajukan pledoi (pembelaan) atas tuntutan JPU yang menyatakan dirinya terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer melanggar pasal 3 Jo Pasal 17 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Cerita tentang dua kisah semacam diatas telah sering kita dengar di rimba belantara hukum tanah air. Perlakuan yang berbeda (anequal treatment) terhadap para terdakwa atas suatu perkara yang sama atau jenis perkara yang berbeda secara kualitas namun diperlakukan secara sama dan sederhana dengan perkara yang biasa dan remeh. Demikian sama halnya dengan cerita Erwansyah yang nyolong sendal plus pakaian yang dituntut JPU penjara 1 tahun 2 bulan dan pejabat yang nilep uang rakyat Rp.1 Miliar yang dituntut JPU cuma 1 tahun penjara, masing-masing aparat penegak hukum memang mempunyai pertimbangannya masing-masing. Meskipun ini nampak menyerang logika hukum dan keadilan kita namun penegakan hukum memang memiliki logikanya sendiri. Hukum sulit untuk diprediksi apalagi disentuh kepastian dan keadilannya. Cerita Erwansyah hanyalah gumpalan kecil dari reruntuhan gunung es ketidakadilan yang setiap waktu menyergap dalam perasaan kita.

***

Keadilan rasanya seolah lebih mudah didapatkan dengan cara yang purba. Ketika zaman dimana individu di masyarakat yang mendapatkan aib atau serangan dari orang lain maka orang itu sah dan adil bila melakukan pembalasannya secara individual terhadap orang yang menimbulkan aib atau serangan itu. Penegakan hukum dan penjatuhan sanksi tidak lain dari pada luapan rasa marah yang sangat hebat dari orang yang hak dan kepentingannya terganggu. Dalam eskalasi yang lebih ekstrem, pembalasan terhadap orang lain yang masih satu kelompok (klan) meskipun bukan dia pelaku kejahatannya atau orang yang menyerang tadi maka tetap dianggap sah dan adil sesuai prinsip pembalasan yang dipercaya membawa nilai pemulihan atas pelanggaran hukum yang terjadi. Hutang darah dibalas dengan darah.

Ketika kekuasan telah terkonsolidasi ditangan satu kekuatan masyarakat yang terlembaga atau kemudian ketika muncul negara mengambil alih kekuasaan sebagaimana dikatakan Jean Jacques Roesseau pada abad ke-18 dengan teori kontrak sosial-nya yakni individu menyerahkan sebagian kebebasanya kepada negara dengan tujuan kebebasannya dapat dilindungi oleh negara. Maka kejahatan yang kerap muncul mendistorsi harmoni relasi-relasi damai di masyarakat sejatinya dikontol negara. Memungut pandangan Cesare Beccaria, tokoh aliran klasik dalam hukum pidana, yang memandang kontrak sosial itu mengandung dua bagian yakni individu sebagai pihak peserta kontrak, law abinding citizen (warga taat hukum) yang telah memberikan mandat kepada negara untuk mempertahankan hukum pidana dan individu sebagai obyek dari bekerjanya hukum , the law breaker (warga pelanggar hukum) yaitu subyek dari penerapan hukum pidana yang memerlukan perlindungan terhadap kemungkinan tindakan penguasa.

Melalui mandat yang diberikan rakyat, negara sah melalui tangannya yang adil untuk memulihkan dan menstabilisasi situasi sosial di masyarakat akibat kejahatan tadi. Maka penegakan hukum yang ditangani negara ini dipercaya sebagai pilihan yang paling rasional dan adil menggantikan cara-cara dimasa purba.

Namun sama halnya ketika orang menggugat nilai keadilan yang dihasilkan dari penegakan hukum dan penjatuhan sanksi secara individual yang kadang melebihi suatu ukuran nilai kemanusiaan yang beradab karena hanya bersandar pada prinsip pembalasan. Orang juga mempertanyakan nilai keadilan yang diciptakan oleh negara melalui aparat penegak hukumnya yang bukan saja gagal memenuhi prinsip pembalasan yang mengandung sifat nestapa terhadap pelaku kejahatan tapi juga gagal mencapai prinsip prevensi umum yakni menakut-nakuti orang untuk tidak berbuat jahat dan menjadikan masyarakat pada umumnya taat pada hukum.

Keadilan sebagai orientasi substansial dari hukum pada akhirnya berubah menjadi ketidakadilan justru oleh hukum itu sendiri ketika hukum masuk pada bagian yang sifatnya prosedural. Bagian dimana hukum diasumsikan suka hati bukan lagi dalam konteks diskresi yang bersifat kepatutan oleh masing-masing penegak hukumnya.

***

Disatu sisi individu sebagai pelanggar hukum dalam ketentuan hukum acara pidana dilindungi hak-hak asasinya oleh hukum dan sisi lainnya individu pada umumnya yang memberikan mandatnya pada negara juga memiliki hak atas perlidungan hukum dari kejahatan yang dilakukan orang lain. Namun pada kenyataannya hukum pidana yang dijalankan oleh negara tidak lagi mampu mengatasi kejahatan-kejahatan serius dalam masyarakat. Seperti halnya juga cerita kasus Erwansyah diatas atau kisah sejenis lainnya bila dibandingkan dengan beberapa kejahatan lain yang justru lebih membahayakan seperti korupsi, praktik penegakan hukum pidana kita menunjukan gambaran nilai ketidakadilan yang mencolok. Terhadap pelaku kejahatan korupsi yang given dilakukan kaum pejabat penerapan due proses law berjalan lunak dan kompromis. Misalnya saja dalam penahanan, terhadap pelaku kejahatan korupsi meskipun negara menganggap sebagai kejahatan extraordinary namun tidak ada kemestian dan tindakan yang khusus untuk menahan para pelaku. Ini berbeda dengan pelaku tindak pidana pencurian meskipun hanya kejahatan biasa, para pelaku tidak saja menjalani perlakuan yang hukum yang rigid dan keras tapi juga mendapat reaksi kekerasan langsung dari masyarakat.

Sejalan dengan pikiran D.W. Steenhuis dalam Criminology in the 21th century, 1990, kondisi tersebut dapat disimpulkan yakni pertama, bahwa terdapat ketidakseimbangan antara tindakan yang diberikan negara (pemerintah) kepada seorang pelaku kejahatan dan terhadap seorang warga masyarakat yang justru taat kepada hukum. Kedua, Penegakan hukum tidak akan mencapai kemajuan jika dalam praktik peradilan, pelaku kejahatan sering di “perlakukan” dan “diberi kedudukan yang lebih baik” dibandingkan bukan pelaku kejahatan atau warga masyarakat yang taat kepada hukum.

Asas equality before the law yang mengandung pengertian bahwa setiap orang sama dan sejajar dimata hukum tanpa memperdulikan status sosial, profesi atau segala hal lain yang melekat dalam diri orang ketika orang itu melakukan suatu kejahatan pada praktik penegakan hukumnya sungguh sulit diwujudkan. Asas equal treatment yakni perlakuan ketentuan hukum yang sama terhadap setiap orang yang melakukan kejahatan dan tidak memberikan peluang kemudahan terhadap orang yang lain dengan alasan-alasan yang tidak patut dan tidak logis, juga pada praktinya tidak semudah kita mengucapkan. Dan Asas presumtion of innocent yang menjadi prinsipnya dalam penegakan hukum acara pidana yang pada prinsipnya adalah penghormatan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa/terpidana tanpa mengenyampingkan proses penegakan hukum semestinya dan berbagai aspek konsekwensi logisnya, pada praktiknya menjadi alat pertahanan buat pejabat pelaku kejahatan untuk menghindari proses tindakan-tindakan hukum seperti penahanan yang sah dimata hukum dan tindakan defensif ketika rakyat menggugat posisi status sosialnya.

Ketika aparat penegak hukum mengatakan bahwa tindakan korupsi itu sama halnya dengan mencuri dan artinya seorang koruptor tidak lain seorang pencuri, sementara penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi dan perlakuan terhadap koruptor begitu istimewa berbeda dengan pencuri, hal ini menunjukan wajah mendua dalam upaya pemberantasan korupsi itu sendiri. Perlakuan yang istimewa dari aparat penegak hukum bahkan juga dari masyarakat sendiri terhadap pelaku korupsi mudah untuk ditemukan jawabannya yakni korupsi sendiri telah banyak orang melakukannya sampai kemudian dianggap lumrah. Uang negara yang dicuri dianggap bukan harta kekayaan pribadi dan ini berbeda ketika celana jeans kita disengget orang dijemuran waktu kita tidur. Padahal “uang negara” hanyalah istilah teknis saja. Bahwa “uang negara” itu sebenarnya sama dengan “uang rakyat”. Hal ini karena rakyat yang menghasilkan dana dan membiayai negara melalui pajak atau paling tidak rakyat dijadikan komoditas untuk menghimpun dana dari negara pendonor. Jadi negara bukanlah entitas mahluk yang tiba-tiba bisa menghasilkan uang. Melainkan mandat rakyat yang diberikan kepada pejabat yang menjalankan organisasi negara inilah yang menjadi dasar negara bergerak menghasilkan kekayaannya. Dengan konklusi sederhana maka rakyatlah yang mensubsidi negara dan bukan sebaliknya.

Namun berbeda bila uang rakyat yang dicuri melalui negara pelakunya ditindak secara istimewa maka untuk kejahatan pencurian seperti kisah Erwansyah diatas hampir semua kita temukan para pelakunya mendapatkan ganjaran yang sesungguhnya dari hukum itu sendiri. Sering kita dengar para pencuri yang dibakar hidup-hidup lalu mati ditempat atau pencuri yang telah lumpuh kakinya ketika menjalani pemeriksaan di pengadilan akibat digebuki rame-rame oleh masyarakat yang memergokinya, kemudian mati kepayahan di penjara ketika menjalani hukuman. Kegagalan memahami esensi korupsi dengan pembelotan terhadap makna uang atau harta yang dicuri melalui eupemisme istilah telah menciptakan dekriminalisasi tindak korupsi.

***

Kondisi dimana ketika penegakan hukum pidana berjalan terhadap suatu kejahatan namun tidak menghasilkan efektifikasi hukum pidana atau tidak menghadirkan efek keadilan didalam masyarakat maka hukum dan penegakannya yang setengah hati itu justru merupakan pintu masuk (entry point) bagi lahirnya delegitimasi negara. Pada akhirnya kita akan melihat hancurnya kekuasaan negara atau kekuasaan yang memerintah berlangsung akibat tekanan-tekanan yang saling bersaing (kontradiksi) yang tanpa sadar diciptakan negara itu sendiri. Pada titik ini bukan saja pantas masyarakat pada umumnya dan individu pada khususnya kembali menggunakan cara-cara purba untuk menyelesaikan persoalan kejahatan disekelilingnya. Bila ini meluas maka praktik seperti penyerangan suatu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya, aksi premanisme oleh sekelompok orang, pola kriminalitas sadis di kota-kota besar, konflik dan curiga yang berkepanjangan di beberapa daerah sampai aksi pemboman di lokasi tertentu adalah benih fasisme yang sadar tidak sadar telah disemai oleh negara.

Dalam konteks pemberantasan korupsi seperti maraknya para pelaku yang diduga melakukan korupsi dan di periksa di pengadilan, sangat relevan untuk mempertanyakan makna keadilan dalam penegakan hukum pidana pemberantasan korupsi itu sesungguhnya. Apakah keadilan dalam konteks penegakan hukum (law enforcement) kita terima cukup puas sampai tahap hukum berjalan dalam”proses” artinya cuma sebatas fenomena pemeriksaan dan pengusutan atau kita menilai keadilan sebagai sebuah “hasil” dalam penegakan hukum. Dalam bahasa yang lebih operasional, apakah penegakan hukum atas kejahatan korupsi diterima dengan lega hati cuma sampai tahap pemeriksaan di persidangan pengadilan an sich atau parameter tegaknya hukum dan keadilan itu dikonstruksikan ketika proses yang telah berlangsung dari tingkat penyidikan sampai akhirnya pengadilan membuktikan para terdakwa itu terbukti sebagai penjahat dan hakim akhirnya menjatuhkan putusan berupa pemidanaan yang tegas misalnya denga merampas kemerdekaannya dan menempatkannya pada rumah tahanan (Rutan) sebagaimana pencuri dan penyitaan secara tegas harta kekayaan pelaku apabila pelaku tidak mau mengembalikan uang negara. Bila pilihan kita pada yang terakhir disebutkan namun kenyataan justru menunjukan realitas yang berlawanan, maka bukan saja hukum dan penegakannya berjalan sia-sia namun lebih parah lagi para penjahat bebas berkeliaran menjalankan karir kejahatannya tanpa takut terhadap hukum apalagi negara yang kapasitasnya telah dilucutinya.

Palopo, 8 Juli 2007

Penulis Syamsul Arief, SH. MH., mantan Hakim Pengadilan Negeri Kelas I B Palopo. Tulisan ini adalah pandangan pribadi, bukan pandangan institusi tempat penulis bekerja.

Artikel yang sama pernah dimuat di hukumonline.com

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA