Apakah pp no. 78 tahun 2015 masih berlaku

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan baru akan dilakukan setelah 22 Mei 2019. Menurut Hanif, pengkajian revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 masih akan menunggu hasil penghitungan suara Pilpres 2019 secara resmi oleh KPU.

Pasalnya, wacana ini muncul sebagai janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam posisinya sebagai calon presiden petahana. "Nanti setelah pengumuman KPU mungkin baru kami kaji secara mendalam," kata Hanif di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/4).

Menurut Hanif, pihaknya sebenarnya sudah mendapatkan masukan terkait hal yang perlu direvisi dalam PP Nomor 78 Tahun 2015. Beberapa di antaranya terkait dengan peran Dewan Pengupahan dan skema penghitungan upah minimum.

Hanya saja, masukan tersebut harus ditelusuri lebih lanjut, karena ada beberapa masalah atas masukan yang berasal dari buruh. Contohnya, usulan mengenai perlunya survei komponen hidup layak (KHL) dimasukkan dalam skema penghitungan upah minimum.

Nah, Hanif mempertanyakan mengenai siapa yang akan melakukan survei dan bagaimana metodologi survei terkait. Menurutnya survei KHL yang dilakukan buruh dan pengusaha rentan menimbulkan perbedaan. Oleh karena itu, kajian terkait usulan survei KHL ini perlu dilakukan lebih lanjut.

Lebih lanjut, Hanif mengklaim PP Nomor 78 Tahun 2015 yang ada sudah cukup memberikan kepastian kepada seluruh pihak. Bagi dunia usaha, PP Nomor 78 Tahun 2015 memudahkan perencanaan karena kenaikan upah bisa diprediksi. Kepastian itu pula akan didapatkan oleh buruh. "Karena setiap tahun apapun alasannya upah buruh dijamin naik," ujar Hanif.

Advertising

Advertising

Hanif pun menilai kenaikan upah buruh bakal signifikan karena disesuaikan dengan faktor Produk Domestik Bruto (PDB). Kenaikannya juga akan menutupi konsumsi karena telah menghitung inflasi. Dengan demikian, ia pun menilai PP Nomor 78 Tahun 2015 sudah cukup mampu memberikan kepastian bagi calon angkatan kerja baru.

Upah besar justru dipandang Hanif akan mempersulit perusahaan untuk menambah tenaga kerja dan akan menghambat angkatan kerja baru untuk memperoleh pekerjaan.

Sekadar info, Jokowi sebagai calon presiden petahana sebelumnya sempat berjanji merevisi PP Nomor 78 Tahun 2015 ketika berkampanye di Bandung, Jawa Barat, Selasa (9/4). Janji Jokowi adalah dirinya bakal membentuk tim khusus untuk membahas revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 tersebut.

Tim ini nantinya beranggotakan elemen pemerintah, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan federasi serikat buruh lainnya. “Kami bicara bersama, duduk satu meja,” kata Jokowi.

PP Nomor 78 Tahun 2015 sendiri sudah sejak lama dikritik para buruh. Formulasi upah dalam peraturan tersebut dinilai tidak mencerminkan keadilan terhadap buruh. Rumus perhitungan kenaikan upah dalam aturan ini, adalah Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun berjalan + [UMP tahun berjalan x (inflasi nasional + pertumbuhan ekonomi)].

Para buruh menilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak bisa dijadikan acuan dalam menentukan UMP. Sebab, angka kebutuhan hidup layak (KHL) buruh di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang per Oktober 2018 mencapai Rp 4,2 juta-Rp 4,5 juta. Perhitungan ini berdasarkan survei 60 item kebutuhan yang dijadikan patokan.

Reporter: Dimas Jarot Bayu

  • ketenagakerjaan

  • Upah Minimum

  • Kebijakan

Jakarta -

Terdapat perubahan formula penghitungan upah minimum untuk buruh dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dibandingkan PP 78/2015 tentang Pengupahan.

PP 36/2021 resmi diundangkan dan disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Februari 2021. Berikut perbandingannya dengan PP 78/2015:

1. PP 36: Upah minimum provinsi ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan

Mengutip pasal 25 PP 36/2021, (1) upah minimum terdiri atas: а. Upah minimum provinsi; b. Upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Upah minimum tersebut ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.

Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang dimaksud meliputi variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.

2. PP 36: Upah minimum kabupaten/kota mengacu pertumbuhan ekonomi daerah

Sedangkan upah minimum kabupaten/kota terdapat syarat tertentu meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

"Data pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik," demikian bunyi pasal 25 ayat 5.

3. PP 78: Menyertakan komponen kebutuhan hidup layak

Sementara itu, dalam PP 78/2015 tentang Pengupahan, tepatnya pasal 43 dijelaskan penetapan upah minimum dilakukan setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

"Kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan standar kebutuhan seorang Pekerja/Buruh lajang untuk dapat hidup layak secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan," demikian bunyi ayat 2 pasal 43.

Kebutuhan hidup layak terdiri atas beberapa komponen. Komponen yang dimaksud terdiri atas beberapa jenis kebutuhan hidup yang ditinjau dalam jangka waktu 5 tahun.

Peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup dilakukan oleh menteri dengan mempertimbangkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional.

"Kajian yang dilaksanakan oleh Dewan Pengupahan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menggunakan data dan informasi yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik," bunyi ayat 7.

Kemudian, hasil peninjauan komponen dan jenis kebutuhan hidup menjadi dasar perhitungan upah minimum selanjutnya dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

"Ketentuan lebih lanjut mengenai kebutuhan hidup layak diatur dengan Peraturan Menteri," demikian ditambahkan pada ayat 9.

Simak Video "BPS Rilis Rata-rata Upah Buruh RI per Agustus Rp2,74 Juta/Bulan"


[Gambas:Video 20detik]
(toy/dna)

Jum'at, 19 Maret 2021 - 14:08 WIB

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan PP 78 tahun 2015 tetap menjadi acuan bagi pembayaran THR bagi pekerja. Foto/Ilustrasi

JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan siap menentang jika pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) memutuskan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) tahun ini sama dengan tahun lalu yang dicicil atau dibayar tidak penuh.

Baca Juga: Pengusaha Sudah Dapat Banyak Insentif, Buruh: Masa THR Dicicil?

"KSPI menolak keras jika menaker kembali mengeluarkan surat edaran (SE) yang mengatur THR bisa dibayar dengan dicicil dan nilainya boleh dibayar di bawah 100%. Kami menolak keras dan meminta menaker tidak mengeluarkan itu," tegas Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Jumat (19/3/2021).Dia menegaskan, pemberian THR harus mengacu pada PP 78/2015. "Ini ada dasar hukumnya yakni PP 78 tahun 2015. Meski ada turunan UU Cipta Kerja, PP di atas belum dicabut sampai hari ini. Itu masih berlaku," tegas Said.Berdasarkan PP tersebut, kata dia, pemberian THR juga harus proporsional. Bagi buruh yang bekerja di bawah setahun, misalnya 6 bulan masa bekerja, maka perhitungan THR-nya adalah 6/12 dikalikan upahnya sebulan. Sementara bagi buruh yang bekerja di atas 1 tahun, maka pengusaha wajib memberi THR minimal 100% upah yang diterima.

Baca Juga: April 2021, Perpanjang SIM A dan C Bisa Sambil Rebahan di Rumah

"Jika THR yang diputuskan Menaker tidak sesuai PP 78/2015 maka KSPI dan serikat pekerja lainnya akan melakukan PTUN SE dan apapun bila bertentangan dengan aturan PP 78/2015," cetusnya.

KSPI juga menurutnya juga akan mengirimkan surat protes keras kepada Presiden Jokowi untuk menegur, mengingatkan, dan melarang menaker membayar THR di bawah ketentuan PP 78 dan meminta agar THR tidak boleh dicicil.



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan masih dalam kajian. Dia menyebut, pengkajian ini dilakukan untuk bisa memenuhi tuntutan berbagai pihak. "(PP 78/2015 tentang Pengupahan) Diubah karena ada tuntutan untuk itu, tuntutannya dipahami dan dilakukan pengkajian agar matang, bisa win-win solutions untuk semuanya. Kalau win-win, pasti tidak semuanya happy, tetapi kan setidaknya ada formula yang bisa menjadi jalan tengah yang baik untuk kepentingan usaha maupun tenaga kerja," ujar Hanif, Kamis (3/10). Hanif menyebut, penentuan kenaikan upah tenaga kerja di tahun mendatang masih sesuai dengan aturan yang berlaku. "Ya kita lihat pertumbuhan ekonomi dan angka inflasinya saja. Selama kita masih menggunakan UU no 13 tahun 2003 dan PP 78/2015, ya masih itu," tambah Hanif. Baca Juga: Said Iqbal: Revisi UU Ketenagakerjaan membuat kaum buruh makin terpuruk Tak hanya PP 78/2015, Hanif juga menyebut tripartit nasional sudah sepakat diadakan revisi atas Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.  Namun, Hanif menyebut sampai saat ini belum ada pembahasan lebih lanjut terkait perubahan UU ini. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana bilang, Apindo tidak menolak revisi PP 78/2015. Menurutnya, PP tersebut memang harus direvisi mengingat pemberlakuannya yang sudah lima tahun. Dibandingkan merevisi PP 78/2015, Danang justru berpendapat UU no 13/2003 perlu dibahas lebih lanjut. Menurutnya, beberapa perubahan perlu dilakukan supaya UU tersebut tetap relevan dengan kondisi saat ini, apalagi revolusi industri 4.0 sudah mulai berkembang. Pengusaha juga menanggapi positif upaya dari pemerintah untuk membahas perubahan UU Ketenagakerjaan. "Kami senang Pak Presiden sudah menemui federasi dan menyampaikan akan segera dibentuk  tim perumus revisi UU No 13/2013. Jadi pemerintah tidak akan berdiri sendiri, tetapi pemerintah akan mengajak dunia usaha, mengajak federasi pekerja  untuk membahas itu. Jadi masih banyak peluang untuk dialog," tutur Danang. Baca Juga: Dinilai merugikan, buruh tolak RUU Ketenagakerjaan Terkait dengan kenaikan upah, Danang berpendapat perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut golongan atau area mana saja yang perlu mendapatkan kenaikan. "Saat ini yang perlu dibahas secara serius, buruh seperti apa yang sangat perlu untuk dinaikkan upahnya secara progresif, di golongan yang mana, di area yang mana. Ini yang harus kita bahas. Jadi tidak boleh dipukul rata. Kalau rata-rata berlaku nasional, semuanya naik, banyak industri yang akan collaps, dan itu akan merugikan buruh dan merugikan iklim investasi nasional," jelas Danang. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Editor: Herlina Kartika Dewi

  • Pengupahan
  • Ketenagakerjaan
  • Menteri Ketenagakerjaan

Apakah pp no. 78 tahun 2015 masih berlaku