Apakah menjaga lingkungan termasuk pengamalan sila pertama Pancasila jelaskan alasanmu

Pengantar redaksi. Bulan Juni adalah bulan yang istimewa. Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Tanggal 5 Juni secara internasional diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup. Apa keterkaitan kelima sila dalam Pancasila dengan lingkungan hidup dan kewajiban pelestarian alam? Tulisan ini akan berbicara tentang hal itu.

Apakah nilai-nilai Pancasila sudah secara sistematis “terlupakan” dalam khazanah kehidupan masyarakat kita? Jawabannya akan menjadi perdebatan, tetapi fakta-fakta di tengah masyarakat bisa menjadi bukti konkrit bahwa dasar bernegara ini cenderung hanya menjadi slogan di dinding ataupun sekedar bahan pelajaran di sekolah-sekolah. Hapal Pancasila, tapi sesama anak bangsa saling serang, korupsi jalan terus, agama dijadikan sumber konflik, parpol saling sikut dan kongkalingkong, persatuan diabaikan dan kekayaan alam hanya milik segelintir orang. Begitulah fenomenanya di jaman now.

Pancasila seakan tercerabut dari masyarakatnya sendiri, tercerabut dari orang-orang yang sudah bersepakat untuk mengambilnya sebagai jalan hidup. Kalau memang kita sudah terlepas dari akar, dari tempat berpijak, maka kita tidak lagi menapak tanah, publik sudah menjadi publik di awang-awang. Tak tahu lagi realitas, tak terikat lagi dengan sekitarnya. Bersenang-senang dengan segala yang bersifat konsumerisme, lupa akan tanah tempat berpijak.

Pada konteks ini komunitas yang tak menapak tanah adalah orang-orang yang tak lagi paham akan jernihnya air di sungai, gelepar ikan di sela bebatuan, kuningnya padi di musim panen yang bercengkerama dengan pipit terbang rendah, tak paham lagi akan pekatnya air rawa gambut tempat berlayar biduk nelayan pencari purun. Yang tampak di depan mata hanyalah hamparan alam yang bisa menjadi sumber pundi-pundi, memandang lahan sebagai sumber kekayaan pribadi. Itulah publik yang tak lagi berpijak, orang-orang jaman now.

Melepaskan masyarakat dari hakekat alam semesta atau dari keterhubungannya dengan ekosistem yang lebih besar, sama saja dengan melepaskannya dari pondasi bernegara. Pancasila sudah merangkum semua dasar-dasar kehidupan, aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan sosial untuk semua makhluk. Sudah ditegaskan semua itu, yang intinya menyatakan bahwa kehidupan ini adalah ekosistem yang besar. Dalam bahasa lain, kehidupan ini terdiri atas geopolitik dan geospasial yang harus dipahami sebagai sebuah kesatuan. Satu sudut pandang yang berangkat dari rasa kepentingan semua makhluk secara bersama-sama. Wawasan nusantara begitulah bahasa yang kerap didengar.

Oleh karenanya, kalau sekarang kita banyak mendengar dan bahkan menderita karena bencana yang tak jua hilang, seperti pekatnya kabut asap gara-gara kebakaran lahan atau derasnya banjir di musim hujan, pada dasarnya kita sudah menjadi bagian dari publik yang tak dekat lagi dengan dasar bernegara. Bencana bukan karena faktor alam semata, sangat  kecil kemungkinannya, tapi justru dominan karena ulah manusia. Manusialah yang membabat hutan, membakar lahan dan manusia juga yang kemudian menderita serta dipusingkan dengan hal itu. Manusia yang melepaskan diri dari tempatnya berpijak dan itu adalah manusia yang tidak menjiwai Pancasila.

Terhadap terjadinya kerusakan lingkungan, termasuk kebakaran hutan dan lahan (karhutla), sudah cukup banyak usaha yang dilakukan, namun hampir bisa dipastikan semua tak tuntas dalam menyelesaikan masalah. Kecenderungan hanya penawar rasa sakit, sikap cepat dalam tanggap darurat tapi minim pada mitigasi. Bencanapun terus berulang.

Siapakah yang berada di sekitar kebakaran hutan dan lahan tersebut? Masyarakat desa, pemerintah desa, pemerintah kabupaten dengan beragam SKPD nya, dan perusahaan perkebunan. Itulah komponen yang terkait langsung, yang paling banyak beraktifitas dan memiliki tanggungjawab langsung terhadap keadaan alam setempat. Andai setiap musim kemarau masih juga terjadi karhutla maka bisa dipertanyakan ada apa yang terjadi sebenarnya. Jangan-jangan mereka justru menjadi penyebab masalah alih-alih penyelesai masalah.

Begitupun, saat musim hujan, banjir selalu datang dan kita selalu disibukkan dengan soal dapur darurat, tim penanggulangan, sarana prasarana dan seterusnya. Bencana seakan menjadi proyek tahunan yang harus selalu masuk dalam mata anggaran. Bukan antisipasi tapi keyakinan bahwa bencana itu pasti datang.

Apabila mau menyelesaikan masalah, lihatlah pada akar persoalan. Saya bisa pastikan bahwa akar masalah kita adalah karena melupakan dasar bernegara, mengabaikan Pancasila sebagai sesuatu yang konkrit. Tidak menjadikan Pancasila sebagai sesuatu yang penting, dan melepaskan Pancasila dari kehidupan sehari-hari. Derita saat bencana terjadi, hanya ekses saja dari semua hal itu.

Apakah menjaga lingkungan termasuk pengamalan sila pertama Pancasila jelaskan alasanmu

Pancasila dan Pelestarian Alam Indonesia

Bisa kita runutkan, dimana pada sila pertama berbicara tentang Ketuhanan, keyakinan pada Sang Pencipta. Ini adalah pondasi utama yang tak boleh dilupakan.  Alam semesta ini adalah ciptaan Sang Khalik, semua agama mengakui itu dan manusia harus menjaga dan merawatnya. Kalau alam  tidak dirawat sama saja kita tidak mempercayai kuasa Tuhan terhadap itu. Merusak milik Tuhan, sama saja dengan tidak mengakui adanya Tuhan, dan tidak mengakui Tuhan jelas bukan Pancasilais.

Sila kedua, menekankan pada sisi kemanusiaan dengan tekanan keadilan dan keberadaban. Terjadinya peristiwa karhutla sudah sangat jelas meniadakan sisi kemanusiaan, apalagi adil dan beradab. Kalau ada hanya sekelompok orang saja yang punya kuasa terhadap sekian ribu hektar lahan, bisa melakukan apa saja di lahan tersebut, berkilah pula saat kebakaran terjadi, bahkan bereuforia pula sebagai kelompok yang peduli lingkungan, perusahaan dengan CSR terbaik, disitulah rasa keadilan dan kemanusiaan pada sila kedua sudah terganggu.

Tindakan yang menciptakan aspek kemanusiaan terganggu adalah tindakan yang tidak Pancasilais. Begitu pula dengan tindakan yang memberikan akses terhadap munculnya sikap non pancasilais tersebut, termasuk memberi izin secara besar-besaran, apalagi berkongkalingkong dengan izin itu.  Apa yang bisa dilakukan? Batasi kepemilikan lahan dan wajibkan pemilik lahan menjaganya.

Sila ketiga, persatuan, yang sangat jelas terhubung  dengan pertama dan kedua. Semua kita berada dalam satu hamparan wilayah yang saling berhubungan. Sakit di satu sisi akan jadi gangguan pada semua sisi. Bersatu artinya punya makna saling membutuhkan, saling merasakan, terikat dalam satu rangkaian tak terpisahkan. Kalaulah tindakan yang kita lakukan ternyata menyebabkan munculnya borok dan merusak hubungan dengan pihak lain, kita sudah menganggu persatuan itu. Satu aliran sungai yang berhulu di satu provinsi tapi berhilir ke daerah lain, maka itu harus dipandang satu hamparan, satu landscape. Tak serta merta dikatakan ini bukan urusan saya, karena itu sudah mengganggu rasa persatuan.

Sila keempat, bijaksana dan musyawarah untuk mufakat, adalah point penting untuk mengatakan bahwa seluruh tumpah darah negara ini harus diperlakukan sebaik-baiknya, secara bijaksana untuk kemakmuran, dengan semangat kebersamaan. Itulah mufakat, bukan memaksakan kehendak pada satu keinginan. Tanah, bumi dan kekayaan alam didalamnya adalah milik bersama, perlakukanlah secara bijaksana. Tahu akan dimana air mengalir, dimana pohon akan tumbuh, dimana padi akan ditanam. Tidak justru melihat bahwa semua adalah untuk pabrik, rumah, industri, dan hanya untuk manusia saja. Bermufakatlah, maka kita akan bijaksana dan itu adalah jiwa yang Pancasilais.

Sila kelima, keadilan sosial dan kemakmuran. Ini betul-betul dasar yang mengatakan bahwa semua rakyat Indonesia punya hak yang sama untuk kemakmuran. Kesehatan, kenyamanan, kebahagiaan, ketentraman adalah milik seluruh makhluk, apalagi manusia. Andai hutan kita babat, tanah dikeruk untuk kolam batubara, rawa dikeringkan untuk kebun kelapa sawit dan HTI, maka kebahagiaan dan ketentraman itupun terganggu. Hawa sejuk berganti dengan kering panas. Sungai menjadi kering, ikan mati, gajah masuk kebun, dan harimau memangsa manusia, itulah yang dikatakan mengganggu dan menghambat keadilan sosial. Pancasila dikunci dengan keadilan sosial ini.

Oleh karena itu, momen harlah Pancasila sekarang ini, kendati tak dirayakan gegap gempita, setidaknya mari melakukan refleksi, menilai ke dalam dan berkontemplasi, sembari mengkonkritkan Pancasila di semua sisi, terutama soal bencana. Tidak terlambat, tapi sudah semestinya Pancasila itu konkrit dalam kehidupan. Tak bisa dalam skala besar, lingkup kecilpun jadilah. Tak bisa memperbaiki, tidak merusakpun, sudah sangat bagus, dan itu sudah bagian dari Pancasila.

* Kol. Inf. Kunto Arief  Wibowo, penulis saat ini adalah Peserta Lemhannas RI dan mantan Dansatgas Karhutla Sumsel. Artikel ini merupakan opini pribadi penulis.

Pendidikan sebagai ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanah konstitusi yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Isu tentang pendidikan selalu menarik, karena peran penting pendidikan dalam memajukan peradaban manusia. Kemajuan peradaban manusia selalu disertai dengan kualitas pendidikan yang baik, pada masanya. Generasi terdidik adalah aktor peradaban. Penyataan ini valid tidak hanya untuk masa lalu, tetapi juga untuk masa kini, dan masa depan.

Refleksi saya atas topik yang diangkat dalam diskusi kali ini “pendidikan dan implementasi sila pertama” memunculkan paling tidak tiga isu penting yang saling terkait. Dalam tulisan singkat ini, kacamata yang dipakai adalah posisi saya sebagai seorang muslim.

Isu pertama terkait dengan misi pendidikan. Pemahaman yang baik atas misi pendidikan akan sangat bermanfaat menjaga semua proses berada dalam koridor yang seharusnya. Isu kedua adalah tentang pemaknaan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam bingkai besar Pancasila. Isu ketiga berhubungan dengan kontekstualisasi sila pertama tersebut dalam pendidikan.

Kita diskusikan secara ringkas setiap isu ini di bagian berikut.

Misi pendidikan

Misi pendidikan adalah isu pertama. Untuk mendiskusikan ini, saya meminjam konsep dari khazanah pendidikan Islam. Pendidikan dalam Islam menyentuh semua aspek pengembangan manusia, mulai dari membantu pengembangan individu, meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap aturan-aturan sosial dan moral, dan mentransmisikan pengetahuan (Halstead, 2004).

Dalam tradisi Islam, pendidikan mempunyai tiga prinsip yang saling melengkapi: tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Beragam konseptualisasi ditemukan dalam literatur. Halstead (2004) menawarkan beberapa kata kunci untuk memahami ketiga prinsip ini. Tarbiyah terkait dengan upaya untuk menumbuhkan (to grow) atau meningkatkan (to increase) pribadi pembelajar. Istilah tarbiyah sering disamakan dengan pematangan pribadi. Semua potensi baik kemanusiaan dikembangkan. Kata ini juga yang sering diartikan dengan “pendidikan”.

Ta’lim dikaitkan dengan ikhtiar yang dilakukan supaya pembelajar mengetahui (to know), terinformasi (to be informed), mempersepsikan (to perceive), dan mengenali atau membedakaan (to discern) sesuatu atau bahan ajar. Di sini terjadi transfer ilmu atau pengetahuan.

Ta’dib mencakup aspek lain, yaitu bahwa pembelajar akan dimurnikan (to be refined), didisiplinkan (to be disciplined), dan dibudayakan (to be cultured). Untuk konteks ini, Al-Attas (1980) menegaskan bahwa pendidikan adalah proses menyuntikkan adab (nilai) dan membentuk karakter pembelajar, secara perlahan namun pasti.

Ketiga prinsip tersebut memberikan pesan bahwa pendidikan harus menyentuh tiga aspek: nilai, pengetahuan, dan keterampilan. Nilai menjadi basis yang cenderung bersifat abadi, tak lekang oleh zaman. Nilai yang diinternalisasi akan menjadi landasan kokoh seorang pribadi. Pengetahuan dan keterampilan bersifat lentur dan sangat mungkin berubah sejalan dengan waktu. Masalah manusia berkembang. Ilmu pengetahuan dan keterampilan menyesuaikan.

Dalam konteks ini, pesan sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib yang disampaikan lebih dari 14 abad lalu, masuk valid untuk disimak: La turabbuu abnaa akum kamaa rabaakum abaaukum, fainnahum khuliquu li zamaani ghairi zamaanikum. Jangan didik anak-anakmu sebagaimana orang tuamu mendidikmu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang bukan zamanmu.

Memaknai Pancasila dan sila pertama

Ini adalah isu kedua. Membaca sila pertama tidak bisa terlepas dari Pancasila atau keempat sila lainnya. Pancasila yang telah mempersatukan bangsa Indonesia adalah mitsaq ghalidh atau perjanjian agung atau komitmen kuat yang mengikat semua bangsa Indonesia.

Sebagai ilustrasi penguat, istilah mitsaq ghalidh muncul dalam Al-Qur’an sebanyak tiga kali, untuk mengambarkan tiga keadaan yang berbeda. Yang pertama adalah Allah membuat perjanjian dengan Nabi Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa (QS Al-Ahzab 33:7). Kejadian kedua ketika Allah mengambil janji dari Bani Israil dengan mengangkat Bukit Tsur di atas kepada mereka (QS An-Nisa 4:154). Istilah tersebut juga digunakan untuk menggambarkan hubungan pernikahan (QS An-Nisa 4:21).

Ikatan yang kuat ini menjadi sangat penting ketika melihat bangsa Indonesia yang sangat beragam. Keragaman adalah fakta sosial di Indonesia yang tak terbantah. Kita tidak mungkin lari darinya. Para pendiri bangsa telah memberikan rumus besarnya ‘bhinneka tunggal ika’. Kita memang berbeda, tetapi kita satu bangsa. Menutup mata dari perbedaan jelas mengabaikan akal sehat. Sebaliknya, hanya mengedepankan perbedaan akan menggadaikan hati nurani.

Terkait dengan sila pertama, sejarah mencatat, dalam formulasinya yang sekarang sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah melalui proses yang sangat panjang dan tidak mudah. Dalam bahasa seorang muslim, sila ini berarti tauhid, mengesakan Tuhan dan tidak menyetukanNya dengan yang lain. Di dalam tauhid terdapat makna penyerahan diri secara totalitas, bahwa misi menjadi manusia adalah menghamba kepada Allah.

Rumusan sila pertama ini juga menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan sekaligus bukan negara sekuler. Indonesia tidak didasarkan pada satu agama, dan juga tidak memisahkan agama sama sekali dalam kehidupan bernegara. Indonesia sering disebut dengan negara-bangsa yang religius (religious nation-state).

HAMKA (1951) menyebut sila pertama ini sebagai urat tunggangnya Pancasila, dan menjadi pijakan dalam mengamalkan keempat sila lainnya. Sila pertama ini juga dapat dianggap sebagai landasan moral bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila telah menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Bingkai kesatuan dalam keragaman kita perlukan. Sidang Tanwir Muhammadiyah pada Juni 2012 di Bandung, misalnya, menghasilkan pokok pikiran untuk pencerahan dan solusi permasalahan bangsa, yang salah satu poinnya menyebut bahwa NKRI yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (darul ‘ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah), dan negara yang aman dan damai (darussalam).

Kontekstualisasi sila pertama dalam pendidikan

Isu diskusi yang ketiga terkait kontekstualisasi sila pertama dalam pendidikan. Paling tidak terdapat dua implikasi (aspek) penting di sini: (a) pengamalan agama masing-masing dengan baik dan (b) penghargaan terhadap agama orang lain.

Implikasi pertama adalah pesan bahwa setiap warga negara Indonesia seharusnya manusia religius atau manusia yang mengimani adanya Tuhan. Agama tidak hanya dimaknai sebagai yang tertulis atau yang diaku, tetapi lebih dari ini. Ajaran agama harus dipelajari dengan baik oleh setiap pemeluknya. Nilai-nilainya harus diinternalisasi dan diamalkan oleh pemeluknya dengan sekuat tenaga. Nilai-nilai abadi agama, seperti kejujuran, keadilan, kedamaian, harus dikedepankan dan dilantangkan.

Ini adalah gambaran idealitas. Realitas di lapangan sangat mungkin berbeda dan ini akan memantik diskusi lanjutan. Banyak faktor terkait yang setiapnya memerlukan penyelisikan yang mendalam.

Dalam konteks pengamalan Pancasila, muncul pertanyaan lain: apakah nilai-nilai agama ini sudah mewarnai pengamalan keempat sila lainnya?

Kedua adalah pesan bahwa di Indonesia, beragam agama diakui negara. Pemahaman terhadap keragaman ini akan memunculkan sikap saling menghargai dan menjadikan pemeluk agama yang berbeda dalam hidup berdampingan dalam harmoni.

Pemahaman ini sangat penting dilantangkan karena dalam masyarakat yang religius, isu agama bersifat sangat sensitif. Kita menjadi saksi, beberapa konflik non-agama di Indonesia yang menjadi besar karena dibingkai dengan isu agama. Eskalasi konflik menjadi semakin cepat, ketika ada informasi bohong atau hoaks yang ikut disebar secara masif.

Ajaran Islam sangat jelas melarang untuk merendahkan agama lain (QS Al-An’am 6:108). Di sisi lain, penghargaan itu tidak lantas diwujudkan dalam “sinkretisme agama”, tetapi dalam bentuk toleransi yang menghargai setiap pemeluk menjalankan agamanya masing-masing (QS Al-Kafirun 109:6). Hak menjalankan ajaran agama dalam damai ini harus dijamin oleh negara.

Pendidikan seharusnya memasukkan dua aspek di atas ke dalam kurikulumnya. Yang menjadi catatan penting di sini, adalah bahwa pemahaman keragaman agama harus diakui secara jujur, baik di ruang publik maupun privat. Tanpanya, toleransi yang disuarakan akan menjadi basa-basi pemanis tuna ketulusan.

Penutup

Pendidikan mempunyai misi abadi untuk menjadikan manusia mengembangkan semua potensi kemanusiaannya. Selain harus kokoh yang diikhtiarkan dengan pengajaran nilai, pendidikan juga harus lentur untuk merespons perkembangan mutakhir.

Nilai-nilai tersebut, salah satunya, diturunkan dari ajaran agama yang menjadi muatan sila pertama Pancasila. Sila ini yang juga menjadi basis keempat sila lainnya memberikan dua pesan penting: bahwa manusia Indonesia harus menjalankan agamanya masing-masing dan menghormati agama orang lain dengan tulus. Poin terakhir ini menjadi sangat penting, ketika pengalaman kolektif bangsa mencatat, bahwa isu agama dapat menjadi pemicu konflik yang mudah dibakar dan membesar.

Referensi

Al-Attas, S. M. N. (1980). The Concept of Education in Islam. Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia.

Halstead, J. M. (2004). An Islamic concept of education. Comparative Education, 40(4), 517-529.

HAMKA (1951). Urat Tunggang Pantjasila. Jakarta: Pustaka Keluarga.

Makalah pemantik diskusi “Pendidikan dan Implementasi Sila Pertama” yang diselenggarakan secara daring oleh Buletin Neng Ning Nung Nang dalam rangka menuju Satu Abad Tamansiswa pada 27 Juli 2021.