Apakah mencuci dan memasak kewajiban istri?

Baik suami maupun istri, keduanya memiliki hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah subhanahu wata’ala, mulai dari urusan ketika tetap menjaga ikatan tali pernikahan, hingga perkara setelah perceraian. Kedua belah pihak pasutri wajib menunaikan kewajiban kepada pasangannya dengan jiwa yang tulus dan hati yang lapang.

Sang istri berhak mendapatkan dua nafkah: Nafkah dari sang suami berupa harta dengan jumlah yang ma’ruf (sesuai dengan adat atau kebiasaan yang diakui di negeri setempat). Istri juga berhak mendapatkan nafkah badan, yaitu menggauli dan mencampurinya (jima’) dengan cara yang patut. Umat Islam telah sepakat (ber-ijma’) jika suami tidak mau menggauli istrinya (sama sekali) maka keduanya boleh dipisah (cerai). Demikian pula jika suami terpotong kemaluannya atau tidak memiliki kekuatan syahwat (impotensi) yang menjadikannya tidak mampu menggauli istri, karena menggaulinya merupakan perkara yang diwajibkan oleh mayoritas ulama, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Suami tidak boleh meninggalkan pergaulan (jima’) kecuali jika memang ada udzur, atau karena tidak mampu. Sedangkan jika suami meninggalkan supaya menyakiti hati sang istri maka dia berdosa, karena hal ini merupakan hak khusus istri. Begitu pula sebaliknya, jika suami memanggil sang istri ke atas ranjang kemudian si istri menolak, enggan, atau tidak patuh, maka para malaikat akan melaknat si istri hingga pagi. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ، فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ، لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang suami mengajak istrinya ke atas ranjangnya, tetapi ia tidak mematuhinya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi” (HR. Bukhari, no. 1977 dan Muslim no. 1159)

Akan tetapi jika memang tidak bisa, maka perkaranya kembali kepada Allah subhanahu wata’ala. Dengan demikian pasangan suami istri tidak sebaiknya hanya sekedar mengikuti naluri keinginan atau hawa nafsu pribadi (mood), karena masing-masing dari kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban melayani pasangannya.

Lalu seberapa seringkah suami diwajibkan menggauli istrinya?

Sebagian ulama berpendapat: Suami wajib menggauli istri minimal sekali selama 4 bulan. Sebagian lagi berpendapat: Suami wajib menggaulinya dengan kadar yang ma’ruf, yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya, sebagaimana ia wajib memberi nafkah harta dengan jumlah yang ma’ruf pula, dan pendapat inilah yang mendekati kebenaran.

Bagi suami, ia boleh menikmati istri kapanpun dia mau selama tidak membahayakan, merugikan atau menjadikan istri meniggalkan perkara yang wajib, karena suami juga harus memberikannya kesempatan melakukan aktivitas yang wajib.

Lalu jika suami tidak memberikan nafkah harta, apakah istri boleh menolak ajakan?

Sebagian ulama berpendapat: Istri tetap tidak boleh menolak ajakan suami meskipun suami tidak memenuhi kewajiban nafkahnya. Sedangkan pendapat yang lebih benar ialah: Istri boleh melarang suami mendapatkan haknya di atas ranjang (menolak jima’) jika suami belum menjalankan kewajiban memenuhi hak istri yang berupa nafkah (harta). Karena Allah subhanahu wata’ala berfirman,

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ

“Maka siapa yang mengganggu kamu, maka ganggulah dia sebagaimana gangguannya kepada kamu, dan takutlah kepada Allah” (QS. Al Baqarah: 194)

Kendati sang istri boleh menolak ajakan suami karena alasan sang suami tidak memberikan nafkah, ia tetap tidak boleh membalas secara berlebihan, sebagaimana disebutkan di dalam ayat di atas “Dan takutlah kepada Allah” ialah agar tidak membalas dengan balasan yang lebih.

Istri tidak diperkenankan keluar dari rumah tanpa seijin suami atau syariat, demikian pula menerima tamu, berpuasa, beriktikaf di masjid atau segala sesuatu yang berkaitan dengan hak khusus suami.

Apakah kegiatan rumah seperti mengurus peralatan, menyapu, memasak dan semacamnya merupakan kewajiban istri?

Para ulama berselisih pendapat, sebagian berkata: Wajib bagi istri mengurus urusan Rumah Tangga, sebagian lagi berpendapat: Wajib untuk perihal yang ringan-ringan saja. Sedangkan pendapat yang lebih tepat: Tergantung adat dan kebiasaan sebuah negeri, karena Allah subhanahu wata’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan pergaulilah mereka secara patut” (QS. An-Nisa’: 19)

Sedangkan “ma’ruf”, “patut”, “layak” atau “pantas” bisa dianggap berbeda di setiap negeri atau daerah. Jika kita tinggal di sebuah negeri yang istri biasa berbakti kepada suami dengan mencuci pakaian, bersih-bersih, memasak atau lainnya, maka ia wajib melaksanakannya. Dan jika kita tinggal di sebuah negeri yang tidak demikian maka tidaklah wajib atas istri. Jika kita tinggal di sebuah negeri yang istri hanya berkhidmat kepada suami untuk urusan yang ringan saja seperti menyiapkan makan dan mencuci pakaian ringan, maka itulah yang wajib baginya, tanpa harus membantu menyiapkan hidangan walimah seorang diri.

Sehingga semua pendapat ulama tentang kewajiban pasutri di rumah bisa kita simpulkan bahwa yang benar ialah kembali kepada adat dan kebiasaan negeri masing masing. Karena yang menjadi sebab perbedaan pada bab ini ialah keadaan, bukan argumen. Masing-masing ulama menjadikan adat/kebiasaan sebagai landasan berpendapat, maka muncullah perbedaan yang semuanya berlandaskan firman Allah subhanahu wata’ala,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan pergaulilah mereka secara patut (ma’ruf)” (QS. An-Nisa’: 19)

Yaitu pergaulan yang ma’ruf, patut, layak dan pantas baik bagi suami kepada istrinya maupun bagi istri kepada suaminya.

Referensi:

[1] Muhammad bin Solih Al-Utsaimin. Syarh As-Siyasah As-Syar’iyyah karya Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Cetakan I. 1433 H/2012 M. Dar Ibnul Jauzy. Kairo – Mesir.

Diterjemahkan, diringkas dan diisusun di Universitas Islam Madinah, Kerajaan Arab Saudi, 11 Jumadal Ula 1441 H (6 Januari 2020 M)

Oleh: Iskandar Alukal L.c.

Artikel hukumpolitiksyariah.com

Kewajiban suami istri kewajiban istri kewajiban suami apakah istri wajib memasak kewajiban rumah tangga hak istri hak suami hak suami istri ayat suami istri ayat rumah tangga tugas istri tugas suami tugas suami istri kewajiban setelah menikah

Apakah mencuci memasak kewajiban istri dalam Islam?

Meski pada hakikatnya seorang istri tidak memiliki kewajiban untuk mencuci dan memasak, tetap dianjurkan agar seorang istri melakukannya untuk suami. Hal ini dikarenakan sebagai bentuk rasa kasih sayang seorang istri kepada suami.

Masak dan mencuci kewajiban siapa?

Pada umumnya, banyak orang yang beranggapan bahwa mencuci dan memasak adalah kewajiban seorang istri. Sedangkan mencari nafkah merupakan kewajiban bagi suami. Akan tetapi, baik istri maupun suami, keduanya memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Dalam Islam, Allah SWT sudah mengatur hak dan kewajiban suami dan istri.

Apakah mencuci pakaian kewajiban istri?

Tugas seorang istri bukanlah memasak, mencuci baju dll, tetapi adalah taat kepada Allah SWT dengan cara mentaati suami. Mentaati suami disini juga disebutkan dalam Alquran, sepanjang suami memerintahkan dalam hal-hal kebaikan, wajib hukumnya untuk ditaati oleh seorang istri.

Apakah perempuan wajib masak dalam Islam?

Namun ternyata, menurut Islam, tugas istri dalam keluarga tak ada mencuci atau memasak. Hal ini diungkapkan Ustadz Adi Hdayat dalam ceramahnya yang diunggah YouTube Dakwah Islam Bersama berjudul Tugas Seorang Istri Kepada Suami, 3 Maret 2021.