Ilustrasi. Foto: JKN Fatawa
MENYELENGGARAKAN pemulasaraan jenazah merupakan kewajiban muslim atas uslim lainnya. Hukum pemulasaraan jenazah ini adalah fardhu kifayah. Artinya, harus ada diantara sekelompok muslim yang menunaikannya.
Setelah seorang muslim wafat, maka memandikan, menyalatkan dan mengebumikan jenazah harus dilakukan oleh muslim lainnya yang masih hidup dan mengetahui kematian sesama muslim tersebut. Lantas, siapa saja yang paling berhak memandikan si mayit?
BACA JUGA: Bagaimana Cara Memandikan Jenazah Muslim Berdasarkan Syariat?
Dikutip dari buku Shalat Jenazah karya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin, ada beberapa orang yang paling berhak memandikan si mayit.
1. Orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum wafatnya (berdasarkan wasiatnya).
2. Bapak si mayit, sebab ia tentu lebih memiliki kasih sayang dan mengetahui mengenai si mayit ketimbang anak si mayit sendiri. Kemudian keluarga yang terdekat kepada si mayit.
Sementara jenazah wanita dimandikan oleh ibunya lalu anak wanitanya setelah itu keluarga terdekatnya.
3. Suaminya. Seorang suami dibolehkan memandikan jenazah istrinya, berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Aisyah:
مَا ضَرَّكِ لَوْ مِتِّ قَبْلِي فَغَسَّلْتُكِ
“Tentu tidak ada yang membuatmu gundah, sebab jika kamu wafat sebelumku, akulah yang memandikan jenazahmu.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
4. Istrinya. Istri dibolehkan memandikan jenazah suaminya, sebab Abu Bakar mewasiatkan agar yang memandikan jenazahnya adalah istrinya. (Berdasarkan sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Abdurrazaq dalam kitab Mushannaf, no. 6117).
5. Kaum laki-laki atau wanita dibolehkan memandikan jenazah anak-anak laki-laki ataupun perempuan yang berusia di bawah tujuh tahun. Sebab tidak ada batasan aurat bagi mereka.
BACA JUGA: Beginilah Cara Memandikan Jenazah Rasulullah
6. Apabila seorang lelaki wafat di antara kaum wanita (tanpa ada seorang lelaki Muslim pun bersama mereka dan tanpa ada istrinya atau ibunya). Demikian pula sebaliknya, bila seorang wanita wafat di antara kaum pria, maka jenazahnya tidak perlu dimandikan, cukup ditayamumkan saja. Yaitu salah seorang di antara yang hadir menepuk tanah dengan kedua tangannya lalu mengusapkannya pada wajah dan kedua punggung telapak tangan si mayit.
7. Seorang Muslim tidak diperbolehkan memandikan dan menguburkan jenazah seorang kafir, berdasarkan firman Allah:
وَلَا تُصَلِّ عَلٰٓى اَحَدٍ مِّنۡهُمۡ مَّاتَ اَبَدًا وَّلَا تَقُمۡ عَلٰى قَبۡرِهٖ
“Dan janganlah sekali-kali kamu menyalatkan jenazah salah seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya” (At-Taubah ayat 84).
Itulah sekelumit aturan Islam tentang siapa yang berhak memandikan jenazah seorang muslim. []
Referensi: Buku Saku Shalat Jenazah/Karya: Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin/Penerbit: At-Tibyan
Kamis, 24 September 2020 - 08:37 WIB
Pihak keluarga adalah yang paling pantas memandikan jenazah perempuan sesuai dengan urutannya dan nasabnya. Foto ilustrasi/ist
Baru-baru ini ada sebuah berita yang cukup viral , yakni ada jenazah perempuan di sebuah RSUD yang dimandikan oleh petugas pria. Hal ini memicu kemarahan keluarganya dan harus membawanya ke ranah hukum. Sebenarnya siapakah yang berhak memandikan jenazah seorang perempuan ini dalam pandangan syariat ?
Dikutip dari kitab 'Fiqhus Sunnah 'Lin Nisaa', yang ditulis Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim dijelaskan, bahwa apabila ada orang yang meninggal, maka keluarga yang menghadirinya wajib memandikannya. Ini berdasarkan perintah Nabi Shallalau alihi wa sallam kepada Ummu 'Athiyah dan beberapa wanita hendak memandikan putrinya, Zainab, "Mandikanlah dia tiga atau lima kali basuhan" Setelah itu, mereka mengafani, menyalati, dan menguburkannya. (HR Bukhari dan Muslim).
(Baca juga : Nasihat untuk Muslimah di Zaman Penuh Fitnah )
Menurut Mazhab Hanafi, mereka atau keluarga yang paling pantas memandikan jenazah perempuan sesuai dengan urutannya, yaitu pihak yang tertunjuk di wasiat , ibu almarhumah (hingga orang tua ke atas, seperti nenek dan seterusnya), anak perempuan almarhumah (berikut keturunannya), keluarga terdekat sebagaimana berlaku di hukum warisan, misalnya, saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara tiri, keluarga sedarah seperti saudara tiri, dan terakhir ialah orang lain.
Namun, jika perempuan tersebut telah menikah , maka suaminyalah yang paling berhak memandikannya berdasar dalil :
رَجَعَ إِلَيَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْم مِنْ جَنَازَةِ بِاْلبَقِيْع ، وَأَنَا أَجِدُ صُدَاعا فِيْ رَأْسِيْ ، وَأَنَا أَقُوْلُ : وَارَأْسَاهُ فَقَالَ : بَل اَنَا وَارَأْسَاهُ مَا ضَرَّكِ لَوْمِتَّ قَبْلِيْ فَغَسَلْتُكِ ، وَكَفَّنْتُكِ ، ثمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ وَدَفَنْتُكِDari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha ia berkata,“Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumahku setelah mengantar jenazah ke pekuburan Baqi’. Saat itu aku merasa kepalaku sakit sekali sehingga aku berkata : ‘Oh, betapa sakitnya kepala ini !’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,‘Tidak masalah, karena seandainya engkau meninggal lebih dahulu dariku, maka aku sendiri yang akan memandikanmu, mengkafanimu, menyalatimu, dan mengkuburkanmu” [HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan lainnya)
(Baca juga : Penting Diketahui, Inilah Masa 'Iddah Bagi Perempuan Muslimah )
Seorang ayah hanya boleh memandikan jenazah puterinya jika ia masih kecil berdasarkan perbuatan Abu Qilabah [Mushannaf Ibni Abi Syaibah 3/251; shahih]. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i.Dan, orang yang memandikan jenazah hendaknya adalah seorang yang saleh/salehah lagi dapat menyimpan amanah untuk menutupi aib si mayit ketika ia memandikannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غُفِرَ لَهُ أَرْبَعِيْنَ مَرَّة“Barangsiapa yang memandikan mayat lalu menyembunyikan aibnya, maka Allah akan mengampuninya sebanyak empat puluh kali” [HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi dengan sanad hasan]. Semua penjelasan di atas ditambah syarat : Mampu untuk memandikannya (sesuai dengan tuntunan agama).(Baca juga : Buruan Cek Rekening, BLT Karyawan Rp600 Ribu Tahap 4 Sudah Cair )
Sedangkan hukum memandikan jenazahnya sendiri adalah fardhu kifayah. Hal ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
(Baca juga : Penyelesaian Masalah di Ombudsman Umumnya lewat Konsiliasi dan Mediasi )
Juga hadis dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu’anha, ia berkata:
تُوفيتْ إحدى بناتِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، فخرج فقال : اغْسِلْنَها ثلاثًا ، أو خمسًا ، أو أكثرَ من ذلك إن رأيتُنَّ ذلك ، بماءٍ وسدرٍ ، واجعلنَ في الآخرةِ كافورًا ، أو شيئًا من كافورٍ، فإذا فرغتُنَّ فآذِنَّنِي فلما فرغنا آذناه فألقى إلينا حقوه فضفرنا شعرها ثلاثة قرون وألقيناها خلفها“Salah seorang putri Rasulullah meninggal (yaitu Zainab). Maka beliau keluar dan bersabda: “mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian menganggap itu perlu. Dengan air dan daun bidara. Dan jadikanlah siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus, atau sedikit kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk”. Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada beliau. Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan kami menguncir rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan ke belakangnya” (HR. Bukhari dan Muslim).(Baca juga : Tom Cruise Siap Meluncur ke Luar Angkasa Oktober 2021 )
Wallahu A'lam
Hukum wajibnya memandikan jenazah seorang muslim telah disepakati oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Tetapi ada beberapa situasi, dimana jenazah diperbolehkan untuk tidak dimandikan. Semisal, ia meninggal syahid di medan perang, selain itu ketika hendak memandikan jenazah tidak di dapati air sama sekali atau seorang laki-laki yang meninggal tetapi ditengah-tengah masyarakat yang seluruhnya kaum perempuan, demikian juga dengan yang sebaliknya. Maka untuk kondisi selain syahid, jenazah boleh di tayamumkan saja.