Apa yang terjadi jika demokrasi tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya

tirto.id - Seberapa kokoh demokrasi Indonesia? Ini pertanyaan kritis, sekaligus menggambarkan kegalauan menyaksikan arus perkembangan politik Indonesia yang tidak mencerminkan peningkatan kualitas. Sekalipun penyelenggaraan demokrasi secara formal prosedural dapat digolongkan lancar, damai, bahkan kian “mapan”. Akan tetapi, proses dan capaian perubahan tidak sesuai yang diharapkan.

Corak reformasi politik justru makin kabur dikacaukan oleh banyaknya kasus korupsi, kegaduhan manuver politik dangkal, serta sejumlah keculasan menandai sengketa kuasa yang menyertai hingar bingar demokrasi. Di situlah muncul gejala, mungkin bisa disebut sinyalemen, bahwa demokrasi Indonesia terasa goyah.

Jika demokrasi itu diibaratkan rumah atau bangunan, maka pilar penyangganya adalah parpol, kebebasan sipil, serta penegakan hukum. Karena itu kondisi dan kualitas pilar menjadi faktor penentu, apakah bangunan demokrasi itu akan kokoh dan kuat, atau sebaliknya rentan dan potensial roboh. Dari refleksi atas perjalanan sejauh ini menunjukkan, bahwa ketiga pilar itu sedang mengalami proses perapuhan serius.

Pilar pertama, soal peran Partai politik misalnya. Sebagai kekuatan penting penyangga bangunan demokrasi, hari demi hari makin digerus oleh rayap-rayap yang membuat lapuk dan keropos, sehingga mudah patah dan hancur. Organisasi penghimpun kekuasaan bernama parpol masih dihinggapi problem feodalisme atau oligarki, yang membuat tidak berkembang.

Parpol makin dirusak oleh ulah politisinya yang terjerat skandal korupsi-kekuasaan demi biaya politik dan memperkaya diri. Akibatnya, parpol diidentikkan dengan keculasan, justeru karena ulah politisi tersebut. Karenanya perlu direformasi serta dikuatkan untuk menumbuhkan derajat legitimasi dan trust dari masyarakat.

Sementara itu pilar kedua menyangkut kebebasan sipil. Ukuran penting suatu demokrasi bekerja adalah ketersediaan ruang bagi masyarakat atau warga negara dalam mengartikulasikan pendapat dan pikiran, mengorganisir diri, serta bertukar atau mengakses informasi. Jika masyarakat sipil dapat tumbuh berkembang dan kuat maka akan mampu mengimbangi negara dengan elemen-elemen masyarakat politiknya.

Sayangnya, perwujudan kebebasan masyarakat sipil itu terus terganggu. Gejala keterancaman itu terus bermunculan yang nampaknya berproses dan bersumber dari dua kutub selama lima tahun terakhir. Pada kutub negara muncul sejumlah regulasi dan instrumen kebijakan yang orientasinya mengekang kebebasan masyarakat sipil. Sementara pada kutub masyarakat sendiri berlangsung fenomena dominasi baru kelompok kuat pada golongan minoritas. Ada gejala kecenderungan menebalnya sentimen identitas yang secara sepihak mengambil alih peran negara seolah merepresentasikan dirinya sebagai kekuatan pengatur.

Akibat dari semua itu, sebagian elemen-elemen masyarakat sipil tidak mendapatkan ruang aman dan nyaman di saat mengekspresikan kebebasannya. Sebut saja misalnya, peristiwa pembubaran diskusi oleh kelompok milisi, penyerangan tempat ibadah, sengketa antar etnik, atau ragam bentuk konflik identitas. Semua itu merupakan contoh-contoh nyata yang menggambarkan situasi memburuk di masyarakat sipil.

Kemudian pilar ketiga, penegakan hukum. Secara normatif, hukum merepresentasikan garis batas dan hubung dalam kelola kekuasaan, baik di aras negara maupun masyarakat. Melalui hukum, kekuasaan demokratis itu diabsahkan. Karena itu hukum dipercaya sebagai salah satu instrumen pokok untuk mengatasi sengketa, agar mencapai keadilan.

Namun praktiknya, apa mau dikata, publik terlalu mudah menunjukkan fakta dan praktik-praktik kebobrokan hukum yang justru itu bersumber dari perilaku buruk aparat penegak hukum. Alih-alih menjadi penegak, justru yang terjadi meruntuhkan hukum itu sendiri. Misalnya oknum polisi, jaksa, hakim, maupun pengacara di mana mereka itu diberikan mandat sebagai penjaga nilai dan kewibawaan hukum malah terjebak dalam mafia kasus berkonspirasi dengan dengan elit ekonomi atau politik.

Cerita-cerita buruk semacam itu berdampak pada rusaknya demokrasi Indonesia. Kelangsungan peristiwa yang menandai digerogotinya sendi-sendi hukum oleh aparat itulah yang memunculkan sindiran bahwa mempercayai hukum berarti merayakan ketidakpastian, atau mendukung kepalsuan.

Membayangkan demokrasi Indonesia dengan pilar-pilar rapuh sebagaimana digambarkan di atas, maka wajar saja jika muncul sikap was-was, galau, atau kekhawatiran akan masa depan demokrasi.

Bangunan demokrasi begitu rentan, dan bisa saja setiap saat terancam roboh jika diterpa gelombang pasang krisis ekonomi dan politik. Atau peristiwa-peristiwa yang memiliki tekanan yang lebih besar dibanding kekuatan bangunan sehingga dapat saja meluluhlantakkan demokrasi Indonesia.

Kalau hingga hari ini kita masih mampu menyelenggarakan pemilu, pemilukada, persidangan parlemen, serta kerja pemerintahan, namun kesemua itu dapat dianggap bagian saja dari ornamen kelangsungan sistem politik dan pemerintahan yang memang dilangsungkan secara formal. Padahal, demokrasi yang demikian tidak akan menghasilkan tenaga untuk menggapai tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi. Kita memerlukan demokrasi yang substantif. Melampaui dari sekadar ritual, rutinitas atau instrumentatif belaka.

Sekarang solusinya adalah bagaimana menghadirkan corak bernegara yang mampu menjamin sistem pemerintahan akuntabel dan responsif, perlindungan hak-hak warga negara dari negara, serta penegakan hukum demi mewujudkan keadilan secara nyata.

Oleh karena itulah, tantangan terbesar mencegah robohnya demokrasi, bagaimana memperbaiki dan memperkuat kembali pilar-pilar itu sesuai prinsip demokrasi yang benar, di atas fondasi cita-cita keindonesiaan.

Sudah terlalu banyak politisi dihukum, baik oleh hakim karena urusan korupsi dan masalah pidana lainnya, maupun oleh rakyat dalam pemilu karena mengabaikan amanat. Namun demikian belum juga jera. Sekalipun kita menghujat dan mencaci maki politisi dan parpol, kita tidak mungkin mengingkari betapa pentingnya posisi dan peran parpol jika kita bersepakat dengan demokrasi.

Oleh karena itulah, tantangan kita adalah di satu sisi harus selalu mengingatkan dan mengontrol parpol untuk segera berbenah, mereformasi organisasi mesin kekuasaan ini agar dikembalikan ke jalan yang benar. Sebegitu besarnya otoritas atau kuasa politik yang digenggamnya di dalam mengoperasikan kewenangannya tentu harus diimbangi komitmen membangun etika berpolitik, kemampuan organisasi dalam mencetak pemimpin, serta ketrampilan mengolah aspirasi rakyat menjadi kebijakan. Tujuannya agar parpol sebagai pilar demokrasi kompatibel dengan tugas dan fungsinya menjalankan sistem bernegara.

Sementara pada sisi lain, upaya pendidikan politik, pencerahan dan pengorganisasian masyarakat sebagai entitas politik non-parlementaris sangat diperlukan sebagai strategi penyeimbang parpol. Masyarakat yang cerdas dan berdaya jangan dianggap sebagai ancaman parpol. Tetapi perlu dibaca sebagai partner, atau bagian dari kontestasi perebutan pengaruh. Bahkan, warga negara yang kritis dapat diolah sebagai daya dorong parpol untuk makin kompetitif dan berbenah diri. Di situ kita akan menyehatkan dua pilar: parpol dan masyarakat sipil.

Jikalau kita memiliki parpol yang kredibel dalam membentuk struktur parlemen, masyarakat yang kritis membentuk struktur pemerintahan, maka akan menghasilkan hukum yakni regulasi, produk perundangan serta kebijakan yang akuntabel sebagaimana dikerangkai dalam sistem demokrasi.

Arie Sujito

Penulis adalah Dosen FISIPOL UGM

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi tirto.id.

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Pengertian demokrasi seperti telah diketahui secara umum, mempunyai arti pemerintahan atau kekuasaan rakyat. Secara istilah berarti kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat (perwakilan rakyat), dari rakyat (yang menyalurkan aspirasinya melalui perwakilan), dan untuk rakyat (pelaksanaannya selalu diawasi oleh rakyat). Secara langsung atau tidak langsung, rakyat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan.

Secara langsung adalah pengambilan keputusan tanpa diwakili, misalnya dalam pemilihan umum memilih Presiden dan memilih wakil rakyat yang akan duduk di lembaga negara. Sedangkan secara tidak langsung dengan menyalurkan aspirasi melalui wakil rakyat. Hampir seluruh negara di dunia melaksanakan pemerintahan dengan cara demokrasi, meskipun nantinya mempunyai sistem yang berbeda-beda, seperti perbedaan sistem pemerintahan presidential dan parlementer.

Nilai-nilai demokrasi secara umum, yaitu :

  1. Menyelesaikan semua masalah yang ada dalam masyarakat dan negara dengan cara damai dan melembaga
  2. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara berkala sehingga tidak ada pemimpin seumur hidup dengan kekuasaan tidak terbatas.
  3. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam masyarakat sesuai perkembangan zaman
  4. Membatasi penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah
  5. Mengakui adanya perbedaan dan keberagaman karena memang tidak ada manusia yang diciptakan sama persis secara fisik dan pemikirannnya.
  6. Menjamin tegaknya keadilan dan terjaminnya perlindungan dari pelanggaran hak asasi manusia

Sesuai dengan konstitusi Indonesia, UUD 1935, Indonesia menganut sistem demokrasi. Secara khusus, demokrasi di Indonesia disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Demokrasi yang berpedoman pada contoh Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga selain nilai-nilai di atas, maka nilai-nilai demokrasi di Indonesia harus sesuai dengan kelima sila Pancasila, yaitu :

  1. Demokrasi yang berketuhanan Yang Maha Esa, Semua warga negara Indonesia adalah warga negara yang mempercayai dan meyakini adanya Tuhan, dengan agama yang berbeda-beda. Dengan demikian, semua tindakan dalam hidupnya dipertanggungjawabkan kepada Tuhan kelak.
  2. Demokrasi yang berperikemanusiaan, dalam pelaksanannya, demokrasi di Indonesia harus menerapkan pelaksanaan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan gotong royong
  3. Demokrasi persatuan Indonesia, demokrasi dilaksanakan untuk mencapai tujuan bangsa yang tertera dalam pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945. Demokrasi ini mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi dan golongan
  4. Demokrasi yang bermusyawarah, demokrasi yang sesuai dengan sila keempat, musyawarah untuk mufakat. Sebuah penyelesaian masalah yang hanya ada di Indonesia. Semua masalah atau keputusan dilakukan berdasarkan mufakat, yaitu keputusan bersama dan seluruh yang hadir bertanggung jawab dengan keputusan tersebut. Keputusan hanya diambil degan suara terbanyak jika mufakat tidak tercapai.
  5. Demokrasi yang berkeadilan, demokrasi yang pelaksanaannya harus mencakup seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Adil dalam segala bidang kehidupan.

Selanjutnya, seperti telah dituliskan dalam judul di atas, artikel ini akan membahas tentang akibat dari sikap kurang menerapkan demokrasi.

Akibat dari Kurang Menerapkan Demokrasi di Keluarga

Keluarga adalah unit atau lingkungan terkecil, tempat individu pertama kali bersosialisasi. Prinsip dan nilai demokrasi Pancasila seharusnya sudah diterapkan sejak dini dalam keluarga. Jika pemimpin keluarga otoriter atau penerpan demokrasi kurang, maka hampir sama  dengan akibat dari kurang menerapkan persatuan, yaitu :

Jika demokrasi kurang diterapkan dalam keluarga maka tidak ada sikap saling menghargai antar anggota keluarga. Akibatnya antar anggota keluarga tersebut tidak hidup rukun dan seringkali terjadi pertengkaran ayah dan ibu, kakak dan adik, atau bisa juga orang tua dan anak.

Umumnya yang terjadi jika terjadi ketidakrukunan atau pertengkaran, maka akan ada pihak yang tertekan. Baik anak, ibu, atau ayah. Mereka yang tertekan akan saling membenci.

Kurang harmonis dan tidak dekatnya hubungan antar keluarga adalah akibat yang paling akhir dan fatal. Di tingkat ini anggota keluarga ada kemungkinan mencari sesuatu yang berbeda di luar, misalnya narkoba dan pergaulan bebas.

Ada individu yang tertekan maka ada yang berkuasa. Di dalam masyarakat, individu yang berkuasa bisa menjadi sombong dan egois.

Akibat Kurang Menerapkan Demokrasi di Sekolah

Tahap lingkunggan selanjutnya setelah keluarga adalah lingkungan sekolah di makan seorang anak mendapat pendidikan. Sebuah pendidikan yang akan menentukan jalan hdiupnya kelak. Di lingkungan sekolah akibat kurang menerapkan demokrasi, antara lain:

Jika demokrasi tidak diterapkan di sekolah, maka ada pihak yang tidak terpuaskan. Bisa saja pribadi yang tidak terpuaskan berlaku tidak bertanggung jawab. Maka ketidaktertiban akan terjadi.

  1. Proses Belajar dan Mengajar Terganggu

Semua aktivitas sekolah berhubungan dengan proses belajar mengajar. Satu saja bagian yang tidak menjalankan fungsinya dengan maka proses akan terganggu.

Yang paling mudah mendapatkan pengaruh buruk akibat lingkungan sekolah yang tidak sehat adalah siswa. Akibat kurang menerapkan demokrasi di sekolah yang membuat proses belajar terganggu lama kelamaan akan membuat siswa malas.

Pribadi pengambil keputusan yang kurang demokrasi, tidak akan disukai rekan dan mungkin seluruh anggota sekolah.

Akibat Kurang Menerapkan Demokrasi di Masyarakat

Masyarakat sejatinya adalah gabungan beberapa keluarga. Terkadang apa yang di dapat dalam keluarga akan berpengaruh dalam masyarakat. Begitu pula dengan penerapan demokrasi. Apalagi jika didukung dengan kurang diterapkannya demokrasi di lingkungan ini pula. Maka akibatnya antara lain :

Lingkungan yang tidak menerapkan demokrasi akan berjalan tidak tertib. Setiap individu akan bertindak semaunya sendiri.

  1. Aspirasi masyarakat kurang didengar

Pembangunan di lingkungan masyarakat yang tidak menerapkan demokrasi berjalan lambat. Aspirasi masyarakat berjalan sendiri tidak sesuai dengan pemimpinnya.

Ketika masyarakat saling bertindak sendiri, mementingkan diri sendiri, tidak saling menghargai seperti nilai demokrasi, maka mereka akan saling membenci. Antar tetangga saling dendam.

Pemimpin atau penguasa di masyarakat seperti ini akan dijauhi. Mereka berjalan masing-masing.

Akibat Kurang Menerapkan Demokrasi dalam Berbangsa dan Bernegara

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, demokrasi diterapkan umumnya tergantung pemerintahan. Namun tentunya ini dipengaruhi pula oleh individu yang didik di keluarga dan masyarakatnya. Akibat kurang menerapkan demokrasi dalam berbangsa dan bernegara antara lain:

  1. Saat fungsi pemilu banyak warga negara memilih golput atau tidak ikut serta
  2. Warga negara tidak lagi memperhatikan negaranya
  3. Terjadi banyak pelanggaran hukum
  4. Terjadi kerusuhan
  5. Pemimpin tidak disukai rakyat
  6. Pembangunan nasional tersendat

Demokrasi bukan hanya diterapkan di lingkungan pemrintah. Demokrasi harus mengakar dari unit terkecil yaitu keluarga. Dengan mengetahui akibat dari kurang menerapkan demokrasi mulai dari lingkungan keluarga sampai berbangsa dan bernegara hendaknya kita menjadi lebih mawas diri. Karena pembangunan Indonesia akan tercapai jika demokrasi berjalan baik. Semoga bermanfaat.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA