Apa yang menyebabkan frekuensi dan intensitas banjir meningkat

Banjir Awal Tahun Adalah Bentuk Krisis Alam di Indonesia

Oleh: Nada Nabila

Selama bulan Oktober hingga Maret, Indonesia melalui musim hujan. Namun, dengan pemanasan global yang terus meningkatkan suhu planet bumi, maka perubahan iklimpun terjadi yang membuat kedua musim di Indonesia menjadi semakin ekstrim. Contohnya seperti hujan yang telah mengguyur Indonesia pada awal tahun 2020 yang menyebabkan banjir di beberapa titik di Jabodetabek dan longsor. Hal ini meluluh lantakkan segala aktifitas dan operasional  di berbagai area pusat kota yang tak hanya merugikan individu masyarakat, namun juga sector public dan pemerintah.

Curah Hujan Tertinggi dalam 154 Tahun

Menurut Guru Besar Hidrologi Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada (UGM), Joko Sujono, curah hujan yang mengguyur wilayah Jakarta pada awal tahun 2020 mencapai 180 juta kubik dengan jumlah air dikatakan setara dengan 72 ribu kolam renang standart ajang olimpiade. Ada perubahan pergerakan curah hujan dalam sepuluh tahun terakhir. Frekuensi di atas ratusan milimeter per hari semakin meningkat dengan intervalnya yang lebih singkat. Riset tersebut memasukkan curah hujan ekstrem dalam salah satu rekomendasi yang perlu diwaspadai. Benar saja, beberapa hari lalu curah hujan ekstrem terjadi merata di Jakarta, bahkan intensitas tertinggi mencapai 377 milimeter per hari terekam di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Konon ini merupakan curah hujan tertinggi di Jakarta semenjak 1866.

Dengan rekor curah hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya, hal ini bias dikatakan sebagai bencana hidrometeorologi. Apakah yang dimaksud dengan bencana hidrometeorologi? Bencana hidrometeorologi yaitu kejadian bencana akibat fenomena meteorologi atau cuaca seperti curah hujan, kelembaban, temperatur, dan angin merupakan jenis bencana dengan frekuensi dan masivitas tertinggi di Indonesia. Kondisi tersebut memicu risiko banjir, tanah longsor, angin puting beliung, ombak tinggi, gelombang panas, kekeringan lahan ataupun kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Di kutip dari artikel Detik.com yang berjudul  “Krisis Iklim dan Banjir Jakarta”, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sepanjang 2019 terjadi 3.768 bencana dengan korban jiwa 349 orang, dengan 99 persen merupakan bencana hidrometeorologi sedang satu persen sisanya merupakan bencana geologi.

Tak hanya dari intansi nasional, bahkan instansi internasional pun ikut bicara mengenai dampak krisis iklim yang mengancam kehidupan dan keberlangsungan aktivitas manusia. Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporan khusus mereka bertajuk ”Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to advance Climate Change Adaptation” telah memuat peringatan mengenai potensi bencana hidrometeorologi akan menjadi ancaman global paling mematikan dalam beberapa dekade mendatang.

Tersangka Utama

Krisis iklim merupakan tersangka utama atas peningkatan potensi bencana yang terjadi yang tentunya diakibatkan oleh perilaku dan denyut peradaban manusia yang terus menggerus alam dan lingkungan. Kerugian besar akibat krisis iklim terutama akan dialami langsung oleh negara-negara berkembang yang terletak di daerah tropis dan sub tropis karena sangat rawan terdampak fenomena alam, contohnya yaitu Indonesia. Terlebih dengan mayoritas mata pencaharian penduduknya juga amat bergantung pada sumber daya alam yang sensitif terhadap perubahan iklim seperti sektor pertanian dan perikanan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang juga rentan dengan peningkatan tingginya permukaan laut akibat krisis iklim.

Kerentanan masyarakat terhadap bencana memang tidak semata dilihat dari faktor cuaca. Dilandanya masyarakat dengan bencana banjir dan longsor terbaru memunculkan kesadaran mengenai urgensi pemerintah dalam mengantisipasi bencana di masa mendatang dengan merencanakan aksi preventif yang tidak pandang bulu, tidak meninggalkan satu kalanganpun. Faktor sosial-ekonomi juga memengaruhi tingkat keterpaparan dan keparahan masyarakat terhadap bencana. Sebagai contoh, penduduk dengan tingkatan sosial-ekonomi terbawah dalam piramida kemakmuran adalah korban bencana ganda yang patut mendapat perhatian utama.

14 Januari 2020

JAKARTA, KOMPAS — Tanda-tanda fisik dan dampak sosial ekonomi perubahan iklim semakin nyata karena rekor konsentrasi gas rumah kaca mendorong suhu global ke tingkat yang berbahaya. Selain memicu peningkatan intensitas dan frekuensi bencana hidrometerologi, iklim ekstrem juga mendorong krisis pangan.

Laporan Lembaga Meteorologi Dunia (World Meteorological Agency/WMO) tentang Keadaan Iklim Global ini diluncurkan menyusul peringatan ulang tahunnya yang ke-25. Laporan ini menyoroti rekor kenaikan permukaan laut.

“Sejak laporan edisi pertama dikeluarkan 25 tahun lalu, ilmu iklim telah mencapai kemajuan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kini ada bukti otentik bahwa kenaikan suhu global telah mempercepat kenaikan permukaan laut, menyusutnya es laut, mundurnya gletser, dan peristiwa ekstrem seperti gelombang panas,” kata Petteri Taalas, dalam siaran pers.

Menurut laporan WMO ini, indikator kunci perubahan iklim kini menjadi lebih jelas. Tingkat karbon dioksida, yang mencapai 357 bagian per juta (part per million/ppm) ketika laporan itu pertama kali diterbitkan pada 1994, terus meningkat hingga 405,5 ppm pada 2017. Pada tahun 2018 dan 2019, konsentrasi gas rumah kaca diperkirakan semakin meningkat.

Pernyataan iklim WMO ini, menurut Taalas, mencakup data dari badan meteorologi dan hidrologi berbagai negara, komunitas ilmuwan, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Laporan ini merinci risiko dan dampak terkait iklim terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia, migrasi dan pemindahan, keamanan pangan, lingkungan dan ekosistem berbasis laut dan darat. Selain itu juga terdapat katalog cuaca ekstrem di seluruh dunia.

Disebutkan, sepanjang tahun 2018, sebagian besar bencana alam yang berdampak terhadap 62 juta orang dikaitkan dengan peristiwa cuaca dan iklim ekstrem.  “Cuaca ekstrem terus berlanjut di awal 2019, paling baru munculnya siklon tropis Idai, yang menyebabkan banjir dahsyat dan korban jiwa di Mozambik, Zimbabwe, dan Malawi. Ini mungkin menjadi salah satu bencana terkait cuaca paling mematikan yang menghantam belahan bumi selatan,” kata Taalas.

Awal tahun ini juga terjadi rekor suhu musim dingin harian di Eropa, dingin yang tidak biasa di Amerika Utara, dan gelombang panas di Australia. Luas es Kutub Utara dan Antartika jauh di bawah rata-rata.

Paling terdampak

Selain bencana alam, sektor pertanian juga paling terdampak iklim ekstrem sehingga diperkirakan akan memicu kekurangan pangan global. Pada 2017, jumlah orang yang kekurangan gizi meningkat menjadi 821 juta, sebagian karena kekeringan parah terkait dengan El Nino yang kuat pada 2015-2016.

Laporan ini juga menyebutkan adanya keterkaitan antara iklim dan kualitas udara. Antara tahun 2000 dan 2016, jumlah orang yang terkena gelombang panas telah meningkat sekitar 125 juta orang, karena panjang rata-rata gelombang panas menjadi 0,37 hari lebih lama dibandingkan dengan periode antara 1986 dan 2008. Tren ini meningkatkan lonceng bahaya karena suhu ekstrem diperkirakan akan semakin meningkat dalam intensitas, frekuensi dan durasinya.

Pemanasan global juga berkontribusi terhadap penurunan oksigen di lautan terbuka dan pesisir, termasuk muara dan laut semi-tertutup. Sejak pertengahan abad terakhir, diperkirakan ada penurunan 1-2 persen persediaan oksigen laut global. Dalam dekade terakhir, lautan menyerap sekitar 30 persen emisi CO2 antropogenik menyebabkan laut semakin asam.

Pada saat bersamaan, lebih dari 90 persen gas rumah kaca masuk ke lautan sehingga terjadi tren peningkatan suhu laut. Akibatnya, suhu permukaan laut terus naik dengan laju yang semakin cepat.

Demikian halnya, tinggi muka air laut global (Global Mean Sea Level/GMSL) untuk tahun 2018 sekitar 3,7 milimeter lebih tinggi dari tahun 2017 dan merupakan rekor tertinggi. Selama periode Januari 1993 hingga Desember 2018, tingkat kenaikan rata-rata adalah 3,15 ± 0,3 mm per tahun. Melelehnya massa es di kutub merupakan penyebab utama akselerasi GMSL seperti yang diungkapkan oleh altimetri satelit.

KTT Iklim

Laporan ini juga disampaikan dalam konferensi pers bersama Taalas dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) António Guterres, Presiden Majelis Umum PBB María Fernanda Espinosa Garcés di markas PBB di New York, menyambut persiapan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Aksi Iklim di tingkat Kepala Negara yang akan diadakan pada September 2019.

Guterres menyebutkan, laporan iklim ini harus mendapat perhatian serius. Ini karena empat tahun terakhir menjadi rekor terpanas, dengan suhu permukaan Bumi rata-rata pada tahun 2018 sekitar 1 derajat C di atas garis dasar pra-industri. “Data ini mengkonfirmasi urgensi aksi iklim. Ini juga ditekankan oleh laporan khusus Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) baru-baru ini tentang dampak pemanasan global 1,5 derajat celsius,” kata dia.

Laporan IPCC telah meyebutkan, untuk  membatasi pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius  dibutuhkan transisi cepat terkait tanah, energi, industri, bangunan, transportasi dan kota-kota. Emisi global karbon dioksida yang disebabkan manusia harus diturunkan hingga 45 persen pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2010. Berikutnya, emisi harus nol di sekitar tahun 2050.

“Tidak ada lagi waktu untuk menunda,” kata Guterres. Laporan Kondisi Iklim akan menjadi salah satu kontribusi WMO ke KTT.

Sementara itu, Espinosa Garcés mengatakan, “Laporan WMO saat ini akan memberikan kontribusi penting bagi aksi internasional gabungan dalam KTT tentang Iklim untuk memusatkan perhatian pada masalah ini.”.......................SUMBER, KOMPAS, SELASA 2 APRIL 2019, HALAMAN 11

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA