Apa saja perlawanan rakyat Indonesia terhadap Jepang?

JAKARTA - Pendudukan Jepang di Indonesia telah menyengsarakan rakyat. Rakyat yang menyadari penjajahan tersebut pada akhirnya melakukan perlawanan.

Perlawanan terbuka terhadap Jepang pertama kali terjadi di Cot Plieng Bayu, Aceh, pada 10 November 1942. Di sana, rakyat melawan tentara Jepang. Perlawanan dipimpin oleh seorang ulama muda dan guru mengaji, Tengku Abdul Djalil. Dia memimpin pemberontakan demi membela ajaran agamanya.

Saat itu, Jepang mewajibkan rakyat untuk melakukan seikerei, yakni penghormatan kepada kaisar Jepang dengan membungkuk ke arah timur pada pagi hari.

(Baca juga: Romusha dan Jugun Ianfu, Sepenggal Kisah Suram Masa Pendudukan Jepang)

Tengku Abdul Djalil menentang hal tersebut. Jepang kemudian berusaha membujuk Tengku Abdul Djalil untuk meredam perlawanan rakyat.

Namun, Jepang tak berhasil. Jepang kemudian menyerang rakyat pada pagi buta, ketika rakyat melaksanakan sholat subuh.

(Baca juga: Kronik Heiho dari Front Pasifik Hingga Revolusi)

Rakyat pun berusaha menahan serangan dengan senjata seadanya. Rakyat berhasil memukul mundur pasukan Jepang ke Lhokseumawe. Jepang kemudian kembali menyerang. Rakyat lagi-lagi berhasil menggagalkan serangan tersebut.

Pada serangan ketiga, Jepang membakar masjid. Tengku Abdul Djalil saat itu berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh. Namun, ia akhirnya ditembak dan gugur dalam pertempuran itu pada 13 November 1942.

Pertempuran Singaparna

Pertempuran Singaparna menjadi salah satu perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Jepang. Perlawanan ini terjadi di sebuah pesantren di Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1944. Perlawanan dipimpin KH Zainal Mustafa.

Zainal Mustafa melakukan perlawanan karena menolak ajaran seikerei, yakni penghormatan kepada kaisar Jepang dengan membungkuk ke arah timur pada pagi hari, yang tak sesuai ajaran agamanya.

Zainal Mustafa juga tidak tahan melihat penderitaan rakyat yang dipaksa bekerja. Jepang pun menempatkan pasukan rahasia untuk mengawasi Zainal Mustafa dan pesantrennya. Di sisi lain, Zainal Mustafa juga menyiapkan perlawanan dengan membekali para santri dengan ilmu bela diri.

Saat utusan Jepang datang untuk menangkap Zainal Mustafa pada 24 Februari 1944, rakyat dan para santri melakukan perlawanan. Tentara Jepang akhirnya mundur ke Tasikmalaya. Keesokan harinya, 25 Februari 1944, Jepang menggunakan kekerasan untuk mengakhiri perlawanan.

Pertempuran sengit antara rakyat (santri) dan pasukan Jepang pun terjadi selepas shalat Jumat. Para santri akhirnya mundur karena kalah senjata.

Zainal Mustafa dan 72 orang lainnya ditangkap tentara Jepang. Mereka dibawa ke Tasikmalaya. Mereka lalu dibawa ke Jakarta untuk dihukum mati.

*Diolah dari beragam sumber

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA