Apa Peran Umat Muslim Indonesia terhadap dunia

Akbarzadeh, Shahram dan Abdullah Saeed (editor), Islam and Political Legitimacy, Oxon: Loutledge Curzon, 2003.

Alatas, Ali, A Voice for a Just Peace: A Collection of Speeches, Singapura-Jakarta: ISEAS dan Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Appleby, R. Scott, The Ambivalence of the Sacred Religion, Violence, and Reconciliation. Pengantar Theodore M. Hesburgh, Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2000.

Baylis, John et.al., The Globalization of World Politics an Introduction to International Relations, Oxford: Oxford University Press, 2008.

Bertrand, Jacques, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, Cambridge: Cambridge University Press, 2004.

Coser, Lewis, The Functions of Social Conflict, London: Routledge & Kegan Paul LTD, 1972.

Djalal, Hasjim dan Dini Sari Djalal, Seeking Lasting Peace in Aceh, Jakarta: CSIS, 2006.

Galtung, Johan, “A Structural Theory of Imperialism”, dalam Richard Little dan Michael Smith, Perspectives on World Politics, New York: Routledge, 2006.

Galtung, Johan, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization, London: Sage Publications Ltd, 1996.

Griffiths, Martin, Fifty Key Thinkers in International Relations, London: Routledge, 1999.

ICG, Indonesia: Jihadi Surprise in Aceh, Asia Report No. 189 – 20 April 2010.

Jemadu, Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.

Ledgerwood, Alison et. al . “Changing Minds: Persuation in Negotiation and Conflict Resolution”, dalam The Handbook of Conflict Resolution: Theory and Practice, editor Morton Deutsch, Peter T. Coleman dan Eric Colton Marcus, San Francisco: Jossey-Bass, 2006.

M. Tito Karnavian, Indonesian Top Secret: Membongkar Konflik Poso, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Moran, Robert T. et.al. Managing Cultural Differences: Global Leadership Strategies for the 21st Century, Oxford: Butterworth Heinemann, 2007.

Morgenthau, Hans J., Politics among Nations the Struggle for Power and Peace, Boston: McGraw Hill Higher Education, 2006.

Salmi, Ralph H., Cesar Adib Majul dan George K. Tanham, Islam and Conflict Resolution Theories and Practices, Lanham: University Press of America, 1998.

Sholeh, Badrus (ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren, Jakarta: LP3ES, 2007.

Tibi, Bassam, Islam and the Cultural Accommodation of Social Change, USA: Westview Press, 1990.

Williams, Paul D. (ed.), Security Studies an Introduction, London:Routledge, 2008.

Peradaban Islam mengalami naik dan turun. Sebelum penjajahan yang dilakukan bangsa mongol, Islam mengalami kemunduran karena konflik politik. Kontestasi fraksi atau partai-partai muslim telah memicu konflik dan perpecahan.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan penganut agama Islam terbanyak. Sensus penduduk tahun 2010 menyebutkan 88,2 persen dari 260 juta penduduk Indonesia adalah Muslim. Dari jumlah tersebut terdiri dari banyak mazhab, disini diperlukan toleransi. Indonesia memiliki potensi besar sebagai penyumbang peradaban Islam dunia.

Banyak ketegangan politik di antara pejabat. Selain itu, kemerosotan ekonomi juga menghambat optimalisasi Islam di Indonesia. Demikian disampaikan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE. saat menjadi pembicara pada Stadium Generale X bagi mahasiswa program magister, doktor dan profesi Universitas Islam Indonesia (UII), Sabtu (21/12), di Gedung Kuliah Umum, Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII.

“Kita itu seringkali menjadi konsumen teknologi, bukan produsen. Keilmuan di bidang humaniora itu penting, tapi tidak cukup. Diperlukan inovasi di bidang lain seperti sains dan teknologi untuk memajukan peradaban,” ungkap Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini dalam stadium generale dengan tema Masa Depan Peradaban Islam.

Dikemukakan Prof. Azyumardi Azra Indonesia sebagai harapan peradaban Islam. Menurutnya Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan peradaban Islam. Selain itu juga memiliki stabilitas sosial politik yang membantu perkembangan ekonomi

“Keislamannya dinilai kaya akan peninggalan wasathiyah Islam, organisasi Islam, institusi pendidikan, pelayanan sosial dan budaya. Dengan semua ini, di 2045, Indonesia dengan mayoritas muslim menjadi representasi semangat etika Islam dan perkembangan peradaban,” tandasnya.

Sementara disampaikan Wakil Rektor Bidang Pengembangan Akademik & Riset UII, Dr. Drs. Imam Djati Widodo, M.Eng.Sc. peradaban Islam mendatang menjadi penting, karena kita semua berada dalam posisi transformative dimana perubahan yang dirasakan cukup besar.

Menurut Imam Djati perkembangan ilmu dan teknologi, perkembangan teknologi informasi yang telah dirasakan tentu akan berpengaruh terhadap kebudayaan yang akan dibangun di masa mendatang. Sehingga peradaban yang akan terjadi di beberapa tahun ke depan, mestinya juga harus diantisipasi dari sekarang. (IG/RS)

Ketika kaum penjajah datang, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa Indonesia, bahkan saat itu sudah berdiri beberapa kerajaan Islam, seperti Samudra Pasai, Perlak, Demak dan lain-lain. Jauh sebelum mereka datang, umat Islam Indonesia sudah memiliki identitas bendera dan warnanya adalah merah putih. Ini terinspirasi oleh bendera Rasulullah saw. yang juga berwarna merah dan putih. Rasulullah saw pernah bersabda :” Allah telah menundukkan pada dunia, timur dan barat. Aku diberi pula warna yang sangat indah, yakni Al-Ahmar dan Al-Abyadl, merah dan putih “. Begitu juga dengan bahasa Indonesia. Tidak akan bangsa ini mempunyai bahasa Indonesia kecuali ketika ulama menjadikan bahasa ini bahasa pasar, lalu menjadi bahasa ilmu dan menjadi bahasa jurnalistik.

Beberapa ajaran Islam seperti jihad, membela yang tertindas, mencintai tanah air dan membasmi kezaliman adalah faktor terpenting dalam membangkitkan semangat melawan penjajah. Bisa dikatakan bahwa hampir semua tokoh pergerakan, termasuk yang berlabel nasionalis radikal sekalipun sebenarnya terinspirasi dari ruh ajaran Islam. Sebagai bukti misalnya Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) tadinya berasal dari Sarekat Islam (SI); Soekarno sendiri pernah jadi guru Muhammadiyah dan pernah nyantri dibawah bimbingan Tjokroaminoto bersama S.M Kartosuwiryo yang kelak dicap sebagai pemberontak DI/TII; RA Kartini juga sebenarnya bukanlah seorang yang hanya memperjuangkan emansipasi wanita. Ia seorang pejuang Islam yang sedang dalam perjalanan menuju Islam yang kaaffah. Ketika sedang mencetuskan ide-idenya, ia sedang beralih dari kegelapan (jahiliyah) kepada cahaya terang (Islam) atau minaz-zulumati ilannur (habis gelap terbitlah terang). Patimura seorang pahlawan yang diklaim sebagai seorang Nasrani sebenarnya dia adalah seorang Islam yang taat. Tulisan tentang Thomas Mattulessy hanyalah omong kosong. Tokoh Thomas Mattulessy yang ada adalah Kapten Ahmad Lussy atau Mat Lussy, seorang muslim yang memimpin perjuangan rakyat Maluku melawan penjajah. Demikian pula Sisingamangaraja XII menurut fakta sejarah adalah seorang muslim.

Semangat jihad yang dikumandangkan para pahlawan semakin terbakar ketika para penjajah berusaha menyebarkan agama Nasrani kepada bangsa Indonesia yang mayoritas sudah beragama Islam yang tentu saja dengan cara-cara yang berbeda dengan ketika Islam datang dan diterima oleh mereka, bahwa Islam tersebar dan dianut oleh mereka dengan jalan damai dan persuasif yakni lewat jalur perdagangan dan pergaulan yang mulia bahkan wali sanga menyebarkannya lewat seni dan budaya. Para da’i Islam sangat paham dan menyadari akan kewajiban menyebarkan Islam kepada orang lain, tapi juga mereka sangat paham bahwa tugasnya hanya sekedar menyampaikan. Hal ini sesuai dengan Q.S. Yasin ayat 17 :”Tidak ada kewajiban bagi

Di bawah ini hanya sebagian kecil contoh atau bukti sejarah perjuangan umat Islam Indonesia dalam mengusir penjajah.

Kaum penjajah yang mula-mula datang ke Nusantara ialah Portugis dengan semboyan Gold (tambang emas), Glory (kemulyaan, keagungan), dan Gospel (penyebaran agama Nasrani).

Untuk menjalankan misinya itu Portugis berusaha dengan menghalalkan semua cara. Apalagi saat itu mereka masih menyimpan dendamnya terhadap bangsa Timur (Islam) setelah usai Perang Salib.

Belanda pertama kali datang ke Indonesia tahun 1596 berlabuh di Banten dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, dilanjutkan oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki Jakarta pada tanggal 30 Mei 1619 serta mengganti nama Jakarta menjadi Batavia. Tujuannya sama dengan penjajah Portugis, yaitu untuk memonopoli perdagangan dan menanamkan kekuasaan terhadap kerajaan-kerajaan di wilayah Nusantara. Jika Portugis menyebarkan agama Katolik maka Belanda menyebarkan agama Protestan. Betapa berat penderitaan kaum muslimin semasa penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5 abad. Penindasan, adu domba (Devide et Impera), pengerukan kekayaan alam sebanyak-banyaknya dan membiarkan rakyat Indonesia dalam keadaan miskin dan terbelakang adalah kondisi yang dialami saat itu. Maka wajarlah jika seluruh umat Islam Indonesia bangkit dibawah pimpinan para ulama dan santri di berbagai pelosok tanah air, dengan persenjataan yang sederhana: bambu runjing, tombak dan golok. Namun mereka bertempur habis-habisan melawan orang-orang kafir Belanda dengan niat yang sama, yaitu berjihad fi sabi lillah. Hanya satu pilihan mereka : Hidup mulia atau mati Syahid. Maka pantaslah almarhum Dr. Setia Budi (1879-1952) mengungkapkan dalam salah satu ceramahnya di Jogya menjelang akhir hayatnya antara lain mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti apa yang diperlihatkan oleh sejarahnya sampai kemerdekaannya”.  Sejarah telah mencatat sederetan pahlawan Islam Indonesia dalam melawan Belanda yang sebagian besar adalah para Ulama atau para kyai antara lain :

Di Pulau Jawa misalnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kiyai Tapa dan Bagus Buang dari kesultanan Banten, Sultan Agung dari Mataram dan Pangeran Diponegoro dari Jogjakarta memimpin perang Diponegoro dari tahun 1825-1830 bersama panglima lainnya seperti Basah Marto Negoro, Kyai Imam Misbah, Kyai Badaruddin, Raden Mas Juned, dan Raden Mas Rajab. Konon dalam perang Diponegoro ini sekitar 200 ribu rakyat dan prajurit Diponegoro yang syahid, dari pihak musuh tewas sekitar 8000 orang serdadu bangsa Eropa dan 7000 orang serdadu bangsa Pribumi. Dari Jawa Barat misalnya Apan Ba Sa’amah dan Muhammad Idris (memimpin perlawanan terhadap Belanda sekitar tahun 1886 di daerah Ciomas)

Di pulau Sumatra tercatat nama-nama : Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusi (Memimpin perang Padri tahun 1833-1837), Dari kesultanan Aceh misalnya Teuku Syeikh Muhammad Saman atau yang dikenal Teuku Cik Ditiro, Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien, Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah, dan lain-lain

Pendudukan Jepang di Indonesia diawali di kota Tarakan pada tanggal 10 januari 1942. Selanjutnya Minahasa, Balik Papan, Pontianak, Makasar, Banjarmasin, Palembang dan Bali. Kota Jakarta berhasil diduduki tanggal 5 Maret 1942.

Untuk sementara penjajah Belanda hengkang dari bumi Indonesia, diganti oleh penjajah Jepang. Ibarat pepatah “Lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya”, yang ternyata penjajah Jepang lebih kejam dari penjajah manapun yang pernah menduduki Indonesia. Seluruh kekayaan alam dikuras habis dibawa ke negerinya. Bangsa Indonesia dikerja paksakan (Romusa) dengan ancaman siksaan yang mengerikan seperti dicambuk, dicabuti kukunya dengan tang, dimasukkan kedalam sumur, para wanita diculik dan dijadikan pemuas nafsu sex tentara Jepang (Geisha).

Pada awalnya Jepang membujuk rayu bangsa Indonesia dengan mengklaim dirinya sebagai saudara tua Bangsa Indonesia (ingat gerakan 3 A yaitu Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia). Mereka juga paham bahwa bangsa Indonesia kebanyakan beragama Islam. Karena itu pada tanggal 13 Juli 1942 mereka mencoba menghidupkan kembali Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang telah terbentuk pada pemerintahan Belanda (September 1937). Tapi upaya Jepang tidak banyak ditanggapi oleh tokoh-tokoh Islam. Banyak tokoh-tokoh Islam tidak mau kooperatif dengan pemerintah penjajah Jepang bahkan melakukan gerakan bawah tanah misalnya dibawah pimpinan Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin.

Tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia baru saja diproklamirkan, tanggal 15 september 1945 datang lagi persoalan baru, yaitu datangnya tentara sekutu yang diboncengi NICA (Nederland Indies Civil Administration). Mereka datang dengan penuh kecongkakan seolah-olah paling berhak atas tanah Indonesia sebagai bekas jajahannya. Kedatangan mereka tentu saja mendapat reaksi dari seluruh bangsa Indonesia. Seluruh umat Islam bergerak kembali dengan kekuatan senjata seadanya melawan tentara sekutu dan NICA yang bersenjatakan lengkap dan modern. Perlawanan terhadap sekutu dan NICA antara lain: Dengan taktik perang gerilya, pertempuran arek-arek Surabaya, Bandung lautan Api, pertempuran di Ambarawa dan lain-lain.

Sumber:

Prof.Dr. H. I. NURUL Aen, MA.Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Puistaka Setia, 2008.
H. Darsono. T. Ibrahim. Tonggak Islam Kebudayaan Islam, Solo: Tiga Serngkai Pustaka Mandiri, 2008.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA