Apa penyebab kerawanan pangan?

idkuu, Jakarta - Jumlah penduduk Indonesia diprediksi akan mencapai lebih dari 300 juta jiwa dalam lima belas tahun mendatang. Jumlah penduduk yang semakin besar bisa menjadi ancaman ketahanan pangan.

Head of Food Science and Nutrition International Institute for Life Sciences (i3L)Agus Budiawan Naro Putra menjelaskan potensi kerentanan pangan (food insecurity) di Indonesia masih cukup besar mengingat kondisi geografis dan demografis di Indonesia yang beragam.

Advertisement

BACA JUGA: ID Food Salurkan 12 Ton Minyak Goreng ke Pedagang Pasar Tradisional
BACA JUGA: Stabilkan Harga, Jokowi Diminta Segera Tunjuk Kepala Badan Pangan Nasional
BACA JUGA: Demi Pemerataan Ekonomi, Erick Thohir Tak Ingin Indonesia Seperti Mesir

Baca Juga

  • Awas, Perubahan Iklim Ancam Sektor Pertanian Indonesia
  • 4 Trik Pangkas Uang Belanja Saat Harga Pangan Mahal
  • Gagasan Energi Tani Erick Thohir Bakal Genjot Produksi Pangan

Ditambah potensi bencana alam yang terkait iklim, variabilitas curah hujan, dan potensi kehilangan produksi yang diakibatkan oleh organisme penggangu tanaman, yang dapat mengakibatkan terjadinya kerentanan pangan sementara (transien).

Aspek ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaat pangan menjadi indikator dan faktor risiko yang berdampak pada kerawanan pangan, kata Agus dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (30/11/2020).

Untuk itu ada tiga hal utama yang menjadi solusi mencegah permasalahan pangan di Indonesia. Yakni distribusi, diversifikasi dan produksi.

Pertama adalah distribusi. Saat ini, diperkirakan satu dari enam orang di dunia mengonsumsi makanan secara berlebihan sehingga menyebabkan mereka mengalami kelebihan berat badan atau bahkan obesitas. Di sisi lain, satu dari enam orang di dunia juga mengalami kelaparan dan/atau mengonsumsi makanan yang kurang bergizi.

Terkait hal ini, distribusi bisa menjadi pilihan solusi yaitu agar orang (negara) yang berkelebihan makanan diharapkan untuk bisa mendistribusikan sumber makanannya (gratis ataupun berbayar) kepada orang (negara) yang berkekurangan makanan.

Sistem distribusi yang baik juga bisa meminimalisir kerusakan makanan selama proses transportasi dari produsen ke konsumen, kata Agus.

Kedua adalah diversifikasi. Contoh diversifikasi pangan adalah dengan mengonsumsi makanan hasil laut/perairan, yang didapatkan dari kegiatan penangkapan ataupun yang dihasilkan dari kegiatan budidaya, sebagai sumber protein utama.

Selain itu, kita juga dapat mempromosikan konsumsi pangan non-beras sebagai sumber karbohidrat seperti singkong, jagung, ubi, talas, dan lain sebagainya, jelas Agus.

Ketiga adalah peningkatan produksi. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi, seperti pelibatan ilmu bioteknologi (khususnya rekayasa genetika) dan juga ada banyak faktor yang berperan dalam proses produksi. Seperti kondisi sosio-politik masyarakat setempat, ekologi, dan lain sebagainya.

Agus menambahkan ilmu pangan kedepan akan berperan penting dalam membantu ketahanan pangan Indonesia. Demi mewujudkan agenda nomor 7 dalam Nawacita, ilmu pangan berperan dalam mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Secara spesifik, ilmu pangan (bersama dengan ilmu gizi dan teknologi pangan) juga berperan dalam peningkatan ketahanan dan kemandirian pangan, khususnya untuk membantu perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat.

Semua pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan status kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, pungkasnya.

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA