Apa kata kata orang indonesia tentang radikalisme

[unpad.ac.id, 29/8/2019] Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, M.H., memberikan kuliah umum bertemakan “Anti Radikalisme di Perguruan Tinggi” di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Kamis (29/8).

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, M.H., memberikan kuliah umum bertemakan “Anti Radikalisme di Perguruan Tinggi” di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur No. 35, Bandung, Kamis (29/8). (Foto: Femizal Usra)*

Kuliah umum ini dihadiri oleh sekitar 1.100 mahasiswa baru tahun akademik 2019/2020 serta mengangkat judul “Resonansi Kebangsaan & Bahaya Serta Pencegahan Paham Radikalisme dan Terorisme”.

Pelaksana Tugas Rektor Universitas Padjadjaran, Prof. Rina Indiastuti, M.SIE., turut hadir dalam kuliah umun ini. Dalam sambutannya, Prof. Rina berharap mahasiswa baru bisa menjadi sumber daya manusia yang unggul dan bermanfaat di Indonesia. “Perguruan tinggi semua sepakat khususnya Unpad bahwa kampus itu terdepan dalam mempraktikkan nilai-nilai kebangsaan, pancasila, UUD 1945, Bineka tunggal ika dan NKRI,” ucap Prof. Rina.

Pada kesempatan tersebut, Komjen Pol. Suhardi mengatakan bahwa kemajuan teknologi dan informasi saat ini mempunyai kelebihan dan kekurangan yang dapat mempengaruhi keutuhan NKRI. “Kemampuan literasi, filterasi dan verifikasi terhadap suatu berita yang masih rendah pada generasi milenial dapat membuat bangsa kita tercerai-berai,” jelas Komjen Pol. Suhardi.

Komjen Pol. Suhardi menyampaikan internet dan media sosial saat ini menjadi senjata yang signifikan dalam menyebarkan paham radikalisme menjadi media ancaman radikalisme. “Dengan adanya internet, paham radikalisme bisa disampaikan dengan mudah tanpa perlu ada interaksi secara langsung. Ideologi kelompok radikal bisa disebarkan dengan cepat terlebih lagi jika sasarannya adalah generasi muda atau orang yang jarang berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya,” kata Komjen Pol. Suhardi

Selain itu Komjen Pol. Suhardi menyarankan agar masyarakat Indonesia terutama generasi milenial tidak menstigmakan agama. “Tidak ada agama manapun yang mengajarkan kekerasan di Indonesia,” kata Komjen Pol. Suhardi.

Komjen Pol. Suhardi menjelaskan generasi milenial terutama mahasiswa baru menjadi sasaran tepat kelompok radikal. Oleh karena itu, mahasiswa baru diharapkan bisa mengidentifikasi paham radikalisme di lingkungan sekitar serta melaporkan langsung bila ada paham radikalisme yang tersebar kepada pihak universitas. “Generasi muda seperti adik-adik mahasiswa baru yang ada disini masih mencari jati diri, emosi belum stabil dan rasa keingintahuan yang besar sehingga mudah dimanfaatkan untuk mempelajari radikalisme,” ujar Komjen Pol. Suhardi.

Ditemui saat konferensi pers, Komjen Pol. Suhardi berharap generasi muda terutama mahasiswa baru dapat memiliki kepedulian terhadap bangsa Indonesia. “Jangan lupakan moral dan tanamkan jiwa kebangsaan pada diri masing-masing,” kata Komjen Pol. Suhardi.*

Laporan oleh Rana Aushaf

Pegiat anti-radikalisme Haidar Alwi menyebut di Indonesia ada tiga macam radikalisme. Pertama, adalah radikalisme secara keyakinan. Menurut dia, radikalisme seperti itu ialah orang yang selalu menilai orang lain kafir.

Selain itu, dijelaskan Haidar, radikalisme semacam itu acap kali menilai bahwa seseorang akan masuk neraka kecuali kelompoknya.

"Radikalisme di Indonesia ada tiga macam. Satu radikal secara keyakinan, yang kerjaannya mengkafirkan semua. Semua (dituduh) kafir, semua (dianggap) masuk neraka kecuali kelompok dia," tutur Haidar dalam sebuah forum diskusi di Jakarta, Kamis (14/11).

Selanjutnya, radikalisme jenis kedua adalah secara tindakan. Dalam jenis tersebut, Haidar mencontohkan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

Menurut pengamatannya, JAD adalah kelompok yang selalu menghalalkan segala cara, termasuk melakukan pembunuhan atas nama agama.

Di Indonesia, lebih dari 230 juta penduduk menganut agama Islam. Bahkan, Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Dan yang tidak kalah mengesankan, sekitar 13 persen dari jumlah total orang Muslim di dunia tinggal di Republik Indonesia. Maka, jelas bahwa pengaruh prinsip-prinsip dan etika Islam terhadap masyarakat, politik, dan ekonomi Indonesia sangat besar.


Proses Islamisasi di Indonesia

Sebuah proses islamisasi sudah berlangsung di Indonesia sejak agama ini pertama kali tiba di kepulauan berbagai abad yang lalu. Mungkin sudah ada kehadiran Islam di Asia Tenggara maritim sejak awalnya era Islam ketika pedagang Muslim datang ke Kepulauan ini, membuat pemukiman di daerah pesisir dan menikahi wanita lokal. Pendatang Muslim ini jadi dihormati oleh para pribumi karena kekayaan yang mereka peroleh melalui perdagangan. Itu adalah hari-hari awal Islamisasi Indonesia.

Pada tahap selanjutnya (kemungkinan dimulai dari abad ke-13) kerajaan-kerajaan Islam mulai didirikan oleh penguasa lokal (pribumi) di Nusantara (terutama di bagian barat, seperti di pulau-pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan). Diasumsikan bahwa - setelah raja-raja pribumi masuk agama Islam - sebagian besar rakyatnya ikut masuk Islam, sehingga memperkuat peran Islam dalam masyarakat lokal. Namun, varietas-varietas Islam lokal ini dicampur dengan unsur-unsur budaya lokal dan sistem kepercayaan lokal yang sudah ada sebelumnya (dan dengan demikian varietas-varietas agama Islam yang dianut di kerajaan-kerajaan lokal jadi sangat berbeda dengan, misalnya, agama Islam yang dipraktikkan di Mekah, Madinah atau di mana pun pada periode yang sama).

Proses islamisasi ini tidak berhenti di era kontemporer. Bahkan dalam beberapa dekade terakhir kita dapat dengan jelas mendeteksi berbagai contoh proses Islamisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Misalnya, jumlah wanita Indonesia yang mengenakan jilbab (atau kerudung) meningkat pesat selama 20-25 tahun terakhir (telah menjadi pemandangan umum di jalanan Indonesia saat ini). Contoh lain yaitu pejabat-pejabat pemerintah Indonesia - bahkan mereka yang bukan Muslim sendiri - sekarang cenderung membuka pidato atau pernyataan mereka dengan menggunakan frasa Arab As-salāmuʿalaykum.


Pentingnya untuk Memisahkan Islamisasi dari Islamisme

Penting untuk ditekankan di sini bahwa proses islamisasi itu tidak boleh disamakan dengan Islamisme atau radikalisme. Dengan istilah 'Islamisasi' kami merujuk pada proses pergeseran masyarakat (secara damai) menuju sebuah masyarakat yang lebih berorientasi Islam (dan yang memungkinkan ruang bagi minoritas-minoritas tertentu untuk hidup berdampingan secara harmonis di dalam masyarakat pluralis itu). Namun, istilah 'Islamisme' atau 'radikalisme' (atau Islam militan atau fundamentalisme) merujuk pada keinginan kelompok tertentu (biasanya kelompok kecil yang tidak memiliki kekuatan politik) untuk memaksakan versi Islam konservatif mereka ke masyarakat dan politik. Apalagi mereka ini sering menggunakan kekerasan (atau ancaman) untuk mencapai tujuan mereka.

Meskipun sekitar 88 persen dari populasi Indonesia adalah penganut Islam, Indonesia bukan negara Islam yang dikelola hukum Islam. Kebanyakan orang Muslim di Indonesia sebenarnya dapat diberi label 'Muslim moderat' yang berarti bahwa mayoritas dari komunitas Muslim Indonesia menyetujui demokrasi sekuler dan masyarakat pluralis. Sikap ini terlihat dalam hasil pemilihan legislatif karena partai-partai politik yang menekankan pentingnya peran dominan Islam dalam pemerintahan dan dalam masyarakat mendapatkan dukungan relatif sedikit dari para pemilih. Sementara itu, partai-partai politik sekuler yang mendukung demokrasi serta masyarakat pluralis dan toleran selalu menang dalam pemilu Indonesia.

Meskipun demikian, memang benar bahwa 'partai-partai sekuler' (seperti PDI-P dan Golkar) juga mengalami proses Islamisasi tersebut. Maka, para ketua partai-partai ini selalu menggunakan frasa Arab seperti As-salāmuʿalaykum saat membuka pernyataan atau pidato. Ini sebenarnya menyiratkan bahwa partai-partai ini tidak sungguh-sungguh sekuler karena mereka tidak netral dalam hal agama.

Namun di sisi lain, kami juga masih mendeteksi keinginan politisi tertentu untuk mempertahankan sikap sekuler. Misalnya, Presiden Indonesia Joko Widodo sering membuka pidatonya dengan kata-kata salam berikut (dialamatkan kepada para pengikut agama-agama utama di Indonesia):

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh (kepada orang Muslim)
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua (kepada orang Kristen/Katolik)
Om Swastyastu (kepada orang Hindu)
Namo Buddhaya (kepada umat Buddha)
Salam Kebajikan (kepada orang Konghucu)


Varietas Islam Indonesia

Komunitas Muslim yang terdiri dari 230 juta orang Indonesia itu tidak merupakan komunitas yang homogen. Kenyataannya, banyak variasi dapat ditemukan dalam agama (dan aliran-aliran) Islam di Indonesia dan juga dalam persepsi para orang Muslim Indonesia soal peran Islam dalam bidang politik dan masyarakat.

Sejumlah besar orang Muslim di Indonesia dapat diberi label 'Muslim budaya' (atau 'Muslim KTP') yang berarti mereka tidak sungguh-sungguh mempraktikkan Islam namun tetap memiliki keterikatan pada unsur-unsur budaya Islam misalnya karena latar belakang keluarga mereka atau lingkungan sosial dan budaya di mana mereka dibesarkan, atau, di mana mereka hidup sekarang (dan juga ada istilah 'Kristen KTP', 'Katolik KTP', 'Hindu KTP', dan 'Buddha KTP' di Indonesia).

Di sisi lain, ada juga banyak orang Muslim di Indonesia yang memilih untuk memperkuat identitas Islam mereka, misalnya dengan memutuskan untuk mulai mengenakan jilbab atau pakaian Islami lainnya. Khususnya, sejak tahun 2014 kami mendeteksi gelombang islamisasi di Indonesia yang membuat banyak Muslim Indonesia (secara sadar atau tidak sadar) memperkuat identitas Islam mereka. Gelombang besar islamisasi ini berakar pada perkembangan politik tertentu, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sebenarnya agama Islam sangat bervariasi di Indonesia, mulai dari Muslim KTP hingga Muslim yang saleh dan konservatif. Apalagi masih ada beberapa daerah di mana aliran Islam masih berisikan elemen-elemen dari agama Hindu dan Budha.

Sementara itu, ada juga kelompok yang melampaui tipe Muslim konservatif, yaitu Muslim radikal. Dengan istilah ini kami tidak hanya merujuk pada mereka yang menggunakan tindakan ekstrem (seperti kekerasan) untuk merubah kondisi politik dan sosial, tetapi juga mereka yang secara diam-diam setuju dengan tindakan kekerasan tersebut (meskipun mereka tidak melakukan tindakan itu sendiri).

Di Indonesia, para Muslim radikal hanya merupakan minoritas kecil. Namun, mereka yang biasanya paling bersuara di jalan (sering terlibat dalam demonstrasi) dan - kadang-kadang - bersedia mengambil tindakan kekerasan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa komunitas radikal kecil ini semakin bertambah jumlahnya dan kekuatannya. Memang, dengan proses Islamisasi, ada juga proses Islamisme (pada pinggirannya) yang tumbuh seiring. Oleh karena itu, penting bagi otoritas di Indonesia untuk secara cermat memantau situasinya dan terlibat dalam program deradikalisasi yang efektif.

Under Construction

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA