Apa itu semantik dan contohnya?



II.Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksud dengan SEMANTIK?
2) Bagaimana sejarah kehadiran SEMANTIK?
3) Apa objek kajian SEMANTIK?
4) Apa yang dimaksud dengan MAKNA?
5) Bagaimana kesesuaian SINTAKSIS dan Semantik?

III.Pembahasan
3.1 DEFINISI SEMANTIK
Secara etimologis, istilah semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari kata semantic dalam bahasa Inggris. Istilah tersebut muncul dan diperkenalkan oleh Organisasi Filologi Amerika (American Philological Association) pada tahun 1984. Kata semantic atau semantique dalam bahasa Prancis, pada dasarnya berasal dari kata sema yaitu nomina dalam bahasa Yunani yang berarti tanda atau lambang dan semaino yaitu verba dalam bahasa Yunani yang berarti "menandai" atau "melambangkan".
Secara terminologis, semantik dapat didefinisikan sebagai bidang linguistik yang mengkaji arti bahasa. Hal ini dapat difahami dari definisi yang dikemukakan oleh Crystal (2008: 428) dalam A Dictionary of Linguistics and Phonetics, yaitu bahwa semantik adalah : a major branch of linguistics devoted to the study of meaning in language. Adapun definisi yang lebih lengkap deikemukakan oleh Griffiths (2006: 1) study of the toolkit for meaning : knowledge encoded in the vocabulary of the language and in its patterns for building more elaborate meanings, up to the level of sentence meaning (Kajian terhadap perangkat arti : pengetahuan yang tersandikan dalam kosakata bahasa dan bagaimana kata tersebut digunakan dalam membentuk arti yang lebih luas hingga pada tingkatan kalimat).[1]
3.2 SEJARAH SEMANTIK
Kajian ilmu semantik dalam bidang linguistik muncul dan diperhatikan sejak 200 tahun lalu sekitar abad ke-19. Namun, semantik sesungguhnya sudah hadir dari zaman Yunani Kuno. Hal ini dibuktikan oleh adanya perbedaan pendapat antara Plato dan muridnya, Aristoteles tentang hubungan antara bahasa dan objek di dunia pada zaman Yunani Kuno. Plato (429-347 SM) menyatakan dalam Cratylus bahwa hubungan kata dengan barang yang dinamainya didasarkan atas hubungan tertentu yang bersifat ikonistik, sedangkan Aristoteles (384-322 SM) berpendapat bahwa hubungan antara bentuk dan arti kata dalam sebuah bahasa bersifat konvensional, yaitu didasarkan atas kesepakatan para pemakai bahasa. Bahkan, Aristoteles menjelaskan juga bahwa kata itu memiliki dua macam arti yaitu arti yang hadir dari kata itu sendiri dengan otonom dan arti akibat proses gramatikal
Pada tahun 1916, diterbitkan sebuah karya anumerta untuk Ferdinand de Saussure yang sering disebut-sebut sebagai bapak linguistik modern, untuk bukunya yang berjudul Cours de Linguistique Generale. Salah satu hal yang paling berpengaruh dari de Saussure adalah pandangannya mengenai tanda. Ia berpendapat bahwa tanda linguistik (Signe linguistique) terdiri dari komponen signifian dan signifie. Maka sesungguhnya studi linguistik tanpa disertai studi semantik tidak ada artinya. Sebab, kedua komponen itu, signifian dan signifie, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan laksana sekeping mata uang logam, signifian berada disisi yang satu, dan signifie berada disisi yang lain.[2]
3.3 Hakikat Makna
Dalam berbagai kepustakaan linguisik disebutkan bidang studi linguistik yang objek penelitiannya makna bahasa adalah SEMANTIK. Maka dari itu, sebelum berlanjut dalam pembagian makna, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu hakikat makna itu sendiri.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia terdapat keterangan sebagai berikut :
makna : arti atau maksud (suatu kata) ; mis. mengetahui lafal dan maknanya;
bermakna : berarti ; mengandung arti yang penting (dalam); berbilang, mengandung beberapa arti;
memaknakan : menerangkan arti (maksud) suatu kata
dan sebagainya.[3]
Menurut Ferdinand de Saussure makna adalah 'pengertian' atau 'konsep' yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Kalau tanda-lingistik itu disamakan dengan leksem, maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimilki oleh kata atau leksem; kalau tanda-linguistik itu disamakan identitasnya dengan morfem, maka berarti makna itu adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik yang disebut morfem dasar maupun morfem afiks.
3.4 JENIS MAKNA
3.4.1. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
1) Makna leksikal adalah makna yang dmiliki leksem meskipun tanpa konteks apapun. Misalnya leksem 'kuda' memiliki makna leksikal 'sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai'. Dengan contoh itu dapat dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna sebenarnya, makna dari hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya. Banyak orang berpendapat bahwa makna leksikal adalah makna yang ada dalam kamus. Pendapat ini memang tidak salah; namun, perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan dasar, juga ada memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna kias, dan makna yang terbentuk secara metaforis.

2) Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal muncul jika terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. Umpamanya dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan dasar baju melahirkan makna gramatikal 'mengenakan atau memakai baju'. Contoh lain, proses komposisi dasar sate dengan dasar ayam melahirkan makna 'bahan' dengan dasar madura melahirkan gramatikal 'asal' dengan dasar pak kumis melahirkan ramatikal 'buatan'. Sintaksisasi kata-kata adik, menendang, dan bola menjadi kalimat Adik menendang bola melahirkan gramatikal : adik bermakna 'pelaku', menendang bermakna 'aktif', dan bola bermakna 'sasaran'.


3) Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata 'jatuh' seperti contoh berikut :
Ø Adik jatuh dari sepeda.
Ø Dia jatuh dalam ujian yang lalu.
Ø Dia jatuh cinta pada adikku.
Ø Kalau harganya jatuh lagi, kita akan bangkrut.
Makna konteks juga dapat berkenaan dengan situasinya yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan bahasa itu. Perhatikan contoh berikut :
· Tiga kali empat berapa ?
apabila dilontarkan di depan anak SD sewaktu pelajaran matematika berlangsung, tentu akan dijawab dua belas dan jika jawabannya selain itu tentu salah. Namun, apabila pertanyaan itu dilontarkan ketika kita ingin mencetak foto di tukang foto, mungkin akan dijawab dua ribu atau mungkin juga tiga ribu atau mungkin juga yang lainnya. Mengapa demikian? Sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pasfoto yang berukuran 3x4 cm.
3.4.2.Makna Referensial dan Non-referensial
1) Makna referensial yakni sebuah leksem yang memiliki referensnya, atau acuannya. Seperti leksem kuda, merah, dan gambar karena memiliki referensnya dalam dunia nyata.
2) Sebaliknya dengan makna non-referensial yang tidak memiliki referens dalam dunia nyata seperti dan, atau, dan karena.
3.4.3.Makna Denotatif dan Konotatif
1) Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya kata babi bermakna denotatif 'sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk dimanfaatkan dagingnya'.
2) Makna konotatif adalah makna lain yang "ditambahkan" pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok yang menggunakan kata tersebut. Seperti contoh diatas, ketika kata babi dilontarkan di depan orang yang beragama islam atau di dalam masysarakat islam mepunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu.
3.4.4.Makna Konseptual dan Asosiatif
1) Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Kata 'kuda' memiliki makna konseptual 'sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai'. Jadi, sesungguhnya makna konseptual sama saja dengan makna leksikal, makna denotasi, dan makna referensial.
2) Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu diluar bahasa. Misalnya kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian. Maka merah berasosiasi dengan kata 'berani' atau juga 'paham komunis'. Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan atau ciri yang ada dalam konsep asal kata atau leksem tersebut.
3.4.5.Makna Kata dan Istilah
Setiap kata atau leksem pasti memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Kita belum tahu makna kata 'jatuh' sebelum kata itu berada dalam konteksnya seperti yang terdapat dalam contoh makna kontekstual.
Berbeda dengan makna kata, makna istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, istilah sering disebut bebas konteks, sedangkan kata terikat dengan konteks. Yang perlu diingat adalah makna istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Umpamanya kata 'tangan' dengan 'lengan'. Kedua kata itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai jari tangan; sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan tangan hingga pangkal bahu. Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidaklah bersinonim.
3.4.6.Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satu ujaran yang maknanya tidak dapat "diramalkan" dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal. Perhatikan contoh berikut!
ü Makna gramatikal
· Menjual sepeda yang menjual menerima uang, dan
yang membeli mendapatkan sepeda
ü Makna idiomatikal
· Menjual gigi tertawa sekeras-kerasnya
Idiom yang maknanya tidak dapat "diramalkan" berbeda dengan Peribahasa yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya "asosiasi" antara makna asli dengan maknanya sebgai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang bermakna 'dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur'. Makna ini memiliki asosiasi binatang yang namanya anjing dan kucing jika bertemu memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal makna idiom tidak ada jalan selain dari harus melihatnya di dalam kamus; khususnya kamus peribahasa dan kamus idiom.
3.5 RELASI MAKNA
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Relasi semantik dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, atau kelebihan makna.
3.5.1.SINONIM
betul
benar
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesaman makna antara satu ujaran dengan ujaran yang lainnya. Relasi sinonimi bersifat dua arah.

3.5.2.ANTONIM
duduk
Antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan berlawanan, pertentangan, atau kontras antar yang satu dengan yang lain.
berdiri
tidur
bersila





tiarap

jongkok

3.5.3.POLISEMI
Polisemi adalah satuan ujaran yang memiliki lebih dari satu makna. Umpamanya kepala dalam kalimat berikut memiliki lebih dari satu makna
ü Kepalanya luka terkena pecahan kaca (bagian tubuh manusia)
ü Kepala kantor itu bukan paman saya (ketua atau pemimpin)
ü Kepala surat biasanya berisi nama dan alamat kantor (sesuatu yang berada di sebelah atas)

3.5.4.HOMONIMI
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya "kebetulan" sama; maknanya tentu saja berbeda karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Relasi antara dua buah satuan ujaran yang homonimi juga berlaku dua arah. Umpamanya :

pacar II
pacar I

Antara kata pacarI yang bermakna 'inai' dan kata pacar II yang bermakna 'kekasih'. Jadi, kalau kata pacar I yang bermakna 'inai' berhomonim dengan kata pacar II yang bermakna 'kekasih' maka pacar II juga berhomonim dengan kata pacar .

3.5.5.HIPONIMI
Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Relasi hiponimi bersifat searah. Umpamanya :
2
1.merpati
2.tekukur
7
6
3.perkutut
4.balam
5
5.kepodang
4
3
6.cendrawasih
7.cucakrawa
1



Lingkaran besar pada gambar diatas merupakan konsep burung. Sedangkan lingkaran-lingkaran kecil yang berada di dalamnya berisi nama-nama binatang yang termasuk burung itu. Hiponimi dikatakan searah, sebab kalau merpati berhiponim dengan burung, maka burung bukan berhiponim pada merpati, melainkan berhipemim. Dengan kata lain, kalau merpati adalah hiponim dari burung, maka burung adalah hipemim.
3.5.6.AMBIGUITI
Ambiguiti adalah gejala terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Umpamanya :

anak dosen yang nakal

Bentuk ujaran diatas bermakna ganda karena memiliki dua kemungkinan :
(1) 'anak itu yang nakal' atau (2) 'dosen itu yang nakal'.

3.5.7.REDUNDANSI
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai makna berlebih-lebihnya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Umapmanya kalimat Bola itu ditendang oleh Dika tidak akan berbeda maknanya bila dikatakan Bola itu ditendang Dika jadi, tanpa penggunaan preposisi 'oleh' tidak menjadikan adanya perbedaan makna.
3.6 KOMPONEN MAKNA
Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna), yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri atau disebutkan satu per satu, berdasarkan "pengertian-pengertian" yang dimilikinya. Umpamanya, kata ayah memiliki komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /+jantan/, /+kawin/, dan /+punya anak/. Kata ibu memiliki komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /-jantan/, /+kawin/, dan /+punya anak/. Kalau dibandingkan, komponen kata ayah dan ibu memiliki relasi dalam bentuk tabel sbb;

Komponen makna
Ayah
Ibu
1. Manusia
2. dewasa
3. jantan
4 .kawin
5. punya anak

+
+
+
+
+

+
+
-
+
+


Analisis komponen makna ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim. Umapmanya kata ayah yang bersinonim dengan kata bapak. Dua kata yang bersinonim tidak selalu memiliki makna yang persis sama. Oleh karena itu, kata ayah dan bapak pun, meskipun bersinonim, tentu ada perbedaan maknanya. Dimanakah perbedaannya? Mari kita perhatikan tabel berikut!

Komponen makna
ayah
bapak

(1) Manusia
(2) Dewasa
(3) Sapaan kepada kedua orang tua laki-laki
(4) Sapaan kepada orang yang dihormati

+
+
+

-

+
+
+

+

3.7 KESESUAIAN SEMANTIK DAN SINTAKTIK
Suatu kalimat dinyatakan sebagai kalimat atau tidaknya bukan hanya dari permaslahan gramatikal melainkan juga dari masalah semantik. Amati contoh berikut!
ü *Kambing yang Pak Udin terlepas lagi.
ü *Segelas kambing minum setumpuk air.
Ketidak berterimaan kalimat pertama adalah karena kesalahan gramatikal , yaitu adanya konjungsi yang antara kambing dan Pak Udin. Konjungsi yang tidak dapat menggabungkan nomina dengan nomina; tetapi dapat menggabungkan nomina dengan adjectiva. Kemudian ketidak berterimaan kalimat kedua bukan karena kesalahan gramatikal, tetapi karena kesalahan persesuaian leksikal. Seharusnya bukan *segelas kambing, melainkan seekor kambing. Begitu juga bukan *setumpuk air, melainkan segelas air atau seember air.
Ketidak berterimaan kalimat kedua bukan hanya karena kesalahan persesuaian leksikal. Kalimat itu tidak bermakna juga karena kesalahan semantik. Kesalahan itu berupa tidak adanya persesuaian semantik di antara konstituen-konstituen yang membangun kalimat itu. Frase *segelas kambing pada kalimat kedua tidak berterima karena kata segelas memiliki komponen makna /+satuan wadah/, /+benda cair/, dan /-terhitung/; padahal kata kambing berkomponen makna /-benda cair/, dan /+terhitung/. Jadi mana mungkin menempatkan benda tidak cair dan terhitung pada wadah untuk benda cair yang tidak terhitung. Begitu juga dalam frase *setumpuk air. Kata setumpuk memiliki komponen makna /+satuan hitungan/ dan /+benda padat/; padahal kata air tidak memiliki komponen benda padat itu.
Menurut teori Chafe verba lah yang menentukan konstituen lain dalam sebuah kalimat. Kalau verbanya berupa kata kerja membaca, maka dalam kalimat itu akan hadir sebuah subjek berupa nomina pelaku dan berkomponen makna /+manusia/. Mengapa demikian? Karena verba membaca berkomponen makna /+bacaan/ atau /+tulisan/. Perhatikan bagan berikut!

Nenek membaca komik
/+nomina/ /+verba/ /+nomina/
/+manusia/ /+manusia/ /+bacaan/
/+bacaan/






















IV.Penutup
KESIMPULAN
Ilmu dalam bidang linguistik yang mengkaji secara mendalam tentang makna adalah SEMANTIK. Linguistik, yang mencakupi hal-hal kebahasaan tidaklah bisa menjadi ilmu kebahasaan tanpa mengkaji SEMANTIK di dalamnya. Hal ini dikarenakan semantik adalah ilmu makna yang mana bahasa tidak dapat dipahami jika tidak bermakna. Bahkan kali ini, SEMANTIK menjadi pusat perhatian banyak orang yang mempelajari ilmu linguistik ini karena pembahasannya yang tak dapat diamati secara empiris.



[1] Maknun Subki, Semantik Indonesia, Jakarta, 2011, hlm.3
[2] Abdul Chaer, Linguistik Umum (Edisi Revisi), Jakarta, 2014, hlm.289
[3] Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, Bandung, 1985, hlm.9

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA