Apa Bukti Adanya Islam di nusantara pada abad ke -7?

Adeng, dkk. (1998). Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: Depdikbud.

Atja (1974). Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah muladjadi Tjirebon), Jakarta: Ikatan Karyawan Meseum.

Bruinessen, Martin van (1999). Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Cet. III. Bandung: Mizan.

Cohen, Matthew Isaac (1997). “An Inheritance from the Friends of God: The Southern Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia”. Disertasi. Yale University.

Darkum (2007). “Peranan Walangsungsang dalam Merintis Kesultanan Cirebon 1445-1529”. Skripsi UNES Semarang.

Graaf, HJ. De & Th. Pigeaud (2003). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Penyunting Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Djajadiningrat, P.A. Hoesein (1974). “Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinja”, dalam R.A. Kern dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta: Bhratara.

Tim IAIN Syarif Hidayatullah (2002) Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I A-H. Cet. II. Jakarta: Djambatan.

Iskandar, Yoseph (2008) Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakwasa). Cet. X. Bandung: Geger Sunten.

Denzin. K.N. & Lincoln S.Y. (2000) Hand Book of Qualitative Research. United States: Sage Publications Inc.

Kern, R.A. (1974) “Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinya”, dalam R.A. Kern dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta: Bhratara.

al-Maraghi, Abdullah Mustofa (2001) Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. Penterj. Husein Muhammad. Yogyakarta: LKPSM.

Masduqi, Zaenal (2010) “Pemerintahan Kota Cirebon (1906-1942)”. Tesis. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Munandar, Agus Aris dan Titik Pudjiastuti (1997) “Sumber-Sumber Tekstual tentang Sejarah Cirebon”, dalam Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Depdikbud.

Abdurrachman, Paramita R. (penyunt.) (1982). Cerbon. Jakarta: Sinar Harapan.

El-Saha, Mastuki HS, dan M. Ishom (edit.) (2003). Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.

Siddique, Sharon (1992). Relics of the Past: Sociological Study of the Sultanates of Cirebon West Java, seperti dikutip dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan III. Jakarta: Balai Pustaka.

Smith, Margaret (2001). Mistikus Islam: Ujaran-ujaran dan Karyanya. Penterj. Ribut Wahyudi. Surabaya: Risalah Gusti.

Sulendraningrat, PRA (1985). Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka.

_______ (2004) Membumikan Wasiat Sunan Gunung Djati Dalam Membangun Jawa Barat Bermartabat. Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon.

Sunyoto, Agus (2011). Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka.

Suprayogo dan Tobroni, Imam (2001). Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Suprapto, Bibit (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gramedia.

Tjandrasasmita, Uka (2009) Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Gramedia.

Wildan, Dadan (2002). Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung: Humaniora.

Sigit W (1994) “Perkembangan Pelabuhan Cirebon 1859-1930”. Skripsi. Fakultas Sastra UNDIP. Tulisan dapat diakses di http://eprints.undip.ac.id/22079/

Yenne, Bill (2005). 100 Peristiwa yang Berpengaruh di dalam Sejarah Dunia (100 Events That Shaped World History). penterj. Lili Sri Padmawati. [t.k.]: Karisma Publishing Group.

Suntingan/Terbitan Naskah

Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002)

Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002)

Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto (Jakarta: Depdikbud, 1979)

Naskah Mertasinga, Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2005)

Naskah Kuningan; Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007)


Page 2

Adeng, dkk. (1998). Kota Dagang Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: Depdikbud.

Atja (1974). Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah muladjadi Tjirebon), Jakarta: Ikatan Karyawan Meseum.

Bruinessen, Martin van (1999). Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Cet. III. Bandung: Mizan.

Cohen, Matthew Isaac (1997). “An Inheritance from the Friends of God: The Southern Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia”. Disertasi. Yale University.

Darkum (2007). “Peranan Walangsungsang dalam Merintis Kesultanan Cirebon 1445-1529”. Skripsi UNES Semarang.

Graaf, HJ. De & Th. Pigeaud (2003). Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Penyunting Eko Endarmoko dan Jaap Erkelens. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Djajadiningrat, P.A. Hoesein (1974). “Beberapa Catatan Mengenai Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinja”, dalam R.A. Kern dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta: Bhratara.

Tim IAIN Syarif Hidayatullah (2002) Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I A-H. Cet. II. Jakarta: Djambatan.

Iskandar, Yoseph (2008) Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakwasa). Cet. X. Bandung: Geger Sunten.

Denzin. K.N. & Lincoln S.Y. (2000) Hand Book of Qualitative Research. United States: Sage Publications Inc.

Kern, R.A. (1974) “Kerajaan Jawa Cerbon pada Abad-Abad Pertama Berdirinya”, dalam R.A. Kern dan Husein Djajadiningrat, Masa Awal Kerajaan Cirebon. Jakarta: Bhratara.

al-Maraghi, Abdullah Mustofa (2001) Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah. Penterj. Husein Muhammad. Yogyakarta: LKPSM.

Masduqi, Zaenal (2010) “Pemerintahan Kota Cirebon (1906-1942)”. Tesis. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Munandar, Agus Aris dan Titik Pudjiastuti (1997) “Sumber-Sumber Tekstual tentang Sejarah Cirebon”, dalam Susanto Zuhdi, Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutra. Jakarta: Depdikbud.

Abdurrachman, Paramita R. (penyunt.) (1982). Cerbon. Jakarta: Sinar Harapan.

El-Saha, Mastuki HS, dan M. Ishom (edit.) (2003). Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka.

Siddique, Sharon (1992). Relics of the Past: Sociological Study of the Sultanates of Cirebon West Java, seperti dikutip dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan III. Jakarta: Balai Pustaka.

Smith, Margaret (2001). Mistikus Islam: Ujaran-ujaran dan Karyanya. Penterj. Ribut Wahyudi. Surabaya: Risalah Gusti.

Sulendraningrat, PRA (1985). Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka.

_______ (2004) Membumikan Wasiat Sunan Gunung Djati Dalam Membangun Jawa Barat Bermartabat. Cirebon: Yayasan Keraton Kasepuhan Cirebon.

Sunyoto, Agus (2011). Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Jakarta: Transpustaka.

Suprayogo dan Tobroni, Imam (2001). Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Suprapto, Bibit (2009). Ensiklopedi Ulama Nusantara Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gramedia.

Tjandrasasmita, Uka (2009) Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Gramedia.

Wildan, Dadan (2002). Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung: Humaniora.

Sigit W (1994) “Perkembangan Pelabuhan Cirebon 1859-1930”. Skripsi. Fakultas Sastra UNDIP. Tulisan dapat diakses di http://eprints.undip.ac.id/22079/

Yenne, Bill (2005). 100 Peristiwa yang Berpengaruh di dalam Sejarah Dunia (100 Events That Shaped World History). penterj. Lili Sri Padmawati. [t.k.]: Karisma Publishing Group.

Suntingan/Terbitan Naskah

Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002)

Babad Tanah Sunda, terbitan Suleman Sulendraningrat dalam Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, (Bandung: Humaniora, 2002)

Babad Cirebon, alih aksara dan ringkasan S.Z. Hadisutjipto (Jakarta: Depdikbud, 1979)

Naskah Mertasinga, Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2005)

Naskah Kuningan; Sejarah wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, alih aksara dan bahasa Amman N. Wahju, (Bandung: Pustaka, 2007)

Islam merupakan agama mayoritas masyarakat Indonesia. Secara bertahap dan berkesinambungan, agama ini mampu berkembang ke semua lapisan masyarakat. Akan tetapi, kapan masuknya agama ini ke Indonesia masih banyak diperdebatkan. Seperti dikatakan oleh Snouck Hurgronje bahwa Islam masuk ke Indonesia pada Abad XIII dengan bukti adanya nisan Sultan Malik al-Shaleh (689 H/ 1297 M). Namun, dengan ditemukannya nisan Fatimah binti Maemon (475 H/ 1082 M) juga membuktikan bahwa abad XI, Islam sudah masuk ke Indonesia.

Pada tahun 1451, Ma Huan menyatakan bahwa ada tiga macam penduduk saat itu, yaitu orang Muslim dari Barat (Maghribi), orang Cina (beberapa diantaranya beragama Islam), dan orang Jawa (penduduk asli yang menyembah berhala). Jadi bisa dilihat bahwa pada abad ke XIV, Islam sudah mulai berkembang di Jawa, akan tetapi masyarakat Jawa belum sepenuhnya memeluk agama Islam. Hal ini disebabkan karena selain wilayahnya yang luas dan adanya akulturasi kebudayaan, juga banyak wilayah yang berada di pedalaman seperti halnya di Wonosobo (Ledok dan Gowong).

Wonosobo yang dulu dikenal dengan Ledok dan Gowong merupakan daerah dataran tinggi yang berada di pedalaman Jawa Tengah. Wonosobo berasal dari dua kata yaitu Wono dan Sobo. Wono dalam bahasa Jawa berarti hutan, sedangkan Sobo berarti berkelana. Sedangkan dalam bahasa Sansekerta, Wono barasal dari kata Wanua yang berarti desa dan Sobo berasal dari kata Sabha yang berarti besar. Secara etimologi, Wonosobo adalah wanua besar atau desa besar yang kedudukannya sebagai tempat pertemuan para raja dalam upacara pendarmaan.

Secara astronomis Wonosobo merupakan daerah tropis yang terletak pada koordinat 7o 04’ 11” hingga 7o 11’ 17” lintang Selatan dan antara 109o 43’ 10” hingga 110o 04’ 40” bujur Timur. Sedangkan secara administratif, sebelah Selatan Wonosobo berbatasan dengan wilayah Semawung, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Banyumas, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Magelang, Temanggung, Parakan, Sadegan dan Muntung.

Pada masa kerajaan Mataram Islam, Wonosobo merupakan bagian dari wilayah Bagelen/ Pagelen. Tanah Pagelen (Bagelen) merupakan tanah yang terletak di Jawa Tengah sebelah Selatan. Bagelen dan seluruh wilayah Negara Agung pada masa Kerajaan Mataram Islam merupakan tanah yang berada di bawah Adipati Danureja. Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, Tanah di Pagelen (Bagelen) dibagi menjadi 2 wilayah yaitu sebelah Barat yang disebut dengan Siti Sewu dan sebelah Timur disebut sebagai wilayah Siti Numbak Anyar.

Wilayah Siti Sewu meliputi wilayah antara sungai Bogowonto ke Barat mengikuti Dhudhuwala, Telaga Bulu Kapitu, Dhadap Agung sampai sungai yang mengalir ke Cilacap, sedangkan wilayah Numbak Anyar meliputi daerah antara sungai Bogowonto sampai Sungai Progo. Wilayah Siti Sewu meliputi Banyumas, Kutowinangun, Remo, Semawung, Wonosobo (Ledok dan Gowong). Sedangkan wilayah Numbak Anyar terdiri dari Tanggung, Loano, Brosot, dan Dekso.

Wonosobo yang merupakan daerah Siti Sewu terdiri dari 2 wilayah yaitu Ledok dan Gowong. Wilayah Ledok terdiri dari Batur, Karangkobar, dan Wonosobo, sedangkan wilayah Gowong yang terdiri dari Kaliwiro, Sapuran,dan Kreteg. Daerah ini merupakan kayu dengan mantri yang disebut dengan Gowong. Pengiriman kayu sebagai nafkah pribadinya dilakukan oleh mantri Gowong.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa wilayah Wonosobo (Ledok dan Gowong) yang terletak diantara Sungai Bogowonto sampai sungai yang mengalir ke Cilacap merupakan bagian dari Tanah Pagelen (Bagelen). Daerah ini merupakan penghasil kayu dan abdi-dalem tiyang Gowong/tenaga kerja dibidang pertukangan. Pada masa kekuasaan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M), Wonosobo/ Ledok dan Gowong diperintah oleh Ki Tumenggung Wiraduta.

Sebelum Islam masuk dan berkembang, Wonosobo (terutama Batur/ Dieng) sudah mendapat pengaruh agama Hindu-Buddha. Kebanyakan dari mereka percaya adanya kekuatan yang melebihi segala kekuatan (kesekten) arwah atau leluhur. Leluhur dan para arwah tinggal di sekitar rumah mereka yang kesemuanya itu mereka anggap dapat mendatangkan kesuksesan atau keselamatan. Pengaruh Hindu-Buddha di Wonosobo dapat dibuktikan dengan beberapa peninggalan, yaitu perkomplekan candi yang ada di Dieng, Siva Trisirah, Jaladwara, Lingga, Yoni, dan beberapa prasasti.

Salah satu contoh peninggalan berupa prasasti ialah prasasti D. 57 (731 Saka) di Dieng. Isinya menyebutkan pemujaan kepada Dewa Siwa dan tentang seseorang yang membeli tanah untuk dijadikan sima bagi bangunan suci sesuai dengan janji Guru Hyang.

Menurut Kusnin Asa, wilayah Wonosobo, Banjarnegara, dan sekitarnya pada zaman kuno merupakan wilayah Mataram Kuno, Dinasti Sanjaya maupun Syailendra. Kira-kira 600 M, Ratu Sanjaya menaklukan atau mendirikan kerajaan di wilayah Bagelen. Satu abad kemudian keratonnya dipindahkan ke wilayah Wonosobo. Wilayah Kerajaan Sanjaya tersebut berbentuk segitiga, tempat yang sekarang dikenal dengan Ledok merupakan pojok paling utara dari Bagelen, basisnya pantai selatan, dan puncaknya gunung Prahu (Dieng).

Pada tahun 1522 M, Wonosobo dinyatakan sebagai bagian dari daerah Pengging di bawah pengawasan Bagelen. Pengging ialah bekas wilayah Kerajaan Majapahit. Majapahit dibawah kekuasaan Hayam Wuruk mampu menundukkan Nusantara dengan Sumpah Palapa Gajah Mada. Berita Wonosobo yang merupakan bagian dari wilayah Bagelen dapat dilihat dalam studi H.J de Graaf yang dibuat oleh A.J Vander yang menyatakan bahwa Bagelen merupakan tanah perdikan Majapahit. Wilayah ini mendapat otonomi yang sangat luas karena letaknya yang jauh dari pusat kerajaan. Sehingga kebudayaan luar mampu dengan mudah mempengaruhi daerah tersebut.

Kemudian dengan naik tahtanya Sultan Trenggana (1521-1545 M), Kerajaan Islam Demak semakin kuat dan berkembang sedangkan Majapahit mulai runtuh. Saat itulah daerah Bagelen dan sekitarnya berhasil dipengaruhi oleh para wali dalam rangka penyebaran agama Islam.

Pada masa ini, agama Islam mulai masuk dan berkembang di Wonosobo. Saat itu, Demak sudah menjadi pusat ibadat umat Islam yang baru timbul. Selanjutnya mereka mulai menyebarkannya ke berbagai daerah, hingga Bagelen. Islamisasi sebelah Timur sungai Lukula dilakukan oleh Sunan Geseng. Sebelah Barat dilakukan oleh seorang ulama bernama Syaikh Baridin, sebelah Barat Banyumas dilakukan oleh Bupati dan para ulama, salah satunya ialah Makduwali atas perintah Sultan Demak.

Sedangkan di Wonosobo dilakukan oleh Raden Jaka Dukuh/ Ki Gede Wanasaba yang disebut sebagai wali nukhba (utusan Kerajaan Demak). Berdasarkan Langgam Asmaradana, pupuh XXIX, bait 10-13, disebutkan bahwa terdapat wali nukhba sebagai penerus walisanga yang menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa, termasuk Wonosobo yang dilakukan oleh Ki Gede Wanasaba. Pada serat Walisana yang ditulis oleh Sunan Giri, disebutkan bahwa Ki Gede Wanasaba yang merupakan utusan dari Kerajaan Demak diperintahkan untuk menjalankan dakwah Islamiah di Wonosobo.

Ki Gede Wonosobo merupakan putra dari Raden Jaka Bondan Kejawen dengan Dewi Retna Nawangsih. Ki Ageng Wonosobo mempunyai nama asli Raden Jaka Dukuh. Kemudian diambil mantu oleh Sunan Mojogung Gunung Jati dan namanya diganti menjadi Syaikh Kabidullah (Abdullah).

Pada saat itu, masayarakat Wonosobo sebagian besar masih beragama Hindu-Buddha. Mereka mempercayai adanya Dewa yang menguasai jagad raya dan wajib disembah. Dengan masuknya Ki Gede Wanasaba, tidak berarti masyarakat Wonosobo kemudian langsung masuk Islam. Hal ini dikarenakan kuatnya kepercayaan lama masyarakat lokal. Hal ini juga didukung dengan tidak adanya pengganti Ki Gede Wanasaba setelah ia meninggal hingga berpindahnya kekuasaan Demak ke Mataram Islam.

Perkembangan berikutnya ialah pada masa kerajaan Mataram Islam, tepatnya tahun 1613 M di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung (1613-1645 M) ialah Raja Mataram Islam sebagai pengganti Sultan Anyokrowati. Pada masa pemerintahannya, Mataram Islam mengalami masa kejayaan. Sultan Agung Hanyakrakusuma bercita-cita mempersatukan kerajaan-kerajaan Jawa di bawah Mataram Islam. Sebagai langkah pertama, ia secara berturut-turut menaklukan berbagai daerah, termasuk Wirosobo (1615), Lasem (1615), Pasuruhan (1616), Gresik (1618), dan daerah lainnya. Pada saat itu, kekuasaan Mataram meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.

Dalam beberapa operasi Sultan Agung, orang-orang Bagelen (termasuk Wonosobo) seringkali ikut berpartisipasi membantu Sultan Agung. Misalnya dalam penyerangan terhadap Batavia tahun 1629 M, penumpasan Pemberontakan Pati, penumpasan Pemberontakan Trunojoyo, dan lain sebagainya. Suhardi Ekajati dalam Radix Penadi menyatakan bahwa orang-orang Bagelen berbaris disebelah Selatan, orang-orang dari daerah pesisir berbaris di sebelah Utara, sedangkan orang-orang Banyumas berbaris di sebelah Barat.

Pada masa kekuasaan Sultan Agung, Islam mengalami kemajuan dan keberhasilan yang pesat. Rakyat berbondong-bondong masuk Islam mengikuti rajanya yang sudah dulu memeluk agama Islam. Kebijakan-kebijakan politik yang diterapkannya selalu penuh perhitungan dan dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Dengan kebijakan tersebut, Sultan Agung berhasil mengembangkan Islam ke berbagai daerah, termasuk Wonosobo. Ia mengutus tiga orang ulama untuk datang dan menyebarkan Islam di Wonosobo. Ketiga pengelana tersebut ialah Kyai Walik, Kyai Kolodite, dan Kyai Karim.

1. Kyai Walik

Berdasarkan cerita tutur, Kyai Walik menyebarkan Islam di wilayah Wonosobo (sekarang). Ia telah melahirkan seorang tokoh agama yang termashur yaitu K.H Muntaha. Selanjutnya ia mengembangkan Islam dengan mendirikan Pondok Pesantren al-Asy’ariyyah Kalibeber yang mengkhususkan pada Al-Qur’an.

Namun demikian, Djoko, dkk., menyatakan bahwa Kyai Muntaha ialah seorang ulama yang datang dari Yogyakarta pada awal abad ke-19. Ia datang ke desa Kalibeber untuk mengajarkan Islam dengan mendirikan masjid. Kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Kyai Durakhim dan Kyai Asy’ari yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren di Kalibeber untuk mengajarkan Islam pada tingkat yang lebih tinggi. Pondok ini sampai sekarang ini masih kokoh berdiri dengan beberapa kali renovasi.

2. Kyai Karim

Kyai Karim menyebarkan Islam di daerah Ledok (Plobangan sekarang ini). Kemudian ia melahirkan seorang penguasa Wonosobo yang dikenal bernama Singowedono. Setelah mendapatkan hadiah daerah di Selomerto dari Kerajaan Mataram dan diangkat sebagai penguasa daerah tersebut, namanya berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Jogonegoro kemudian memindahkan pusat kota Wonosobo ke Selomerto yang dianggap lebih baik letaknya.

3. Kyai Kolodite

Kyai Kolodite merupakan salah satu tokoh penyebar Islam yang berada di dataran tinggi Dieng. Ia mengajarkan Islam di Dieng dengan menerapkan metode yang diajarkan oleh Sultan Agung. Metode tersebut ialah memadukan nilai Islam dengan kebudayaan Jawa yang telah tercampur dengan pengaruh Hindu-Buddha. Seperti mantra yang diambil dari do’a-do’a ajaran Islam dalam upacara pemotongan rambut gimbal di Dieng. Melalui metode tersebut, Islam mampu diterima oleh masyarakat Dieng.

Pada tahun 1645 Sultan Agung mangkat dan digantikan oleh putranya, Amangkurat I. Raja baru ini bersikap lemah terhadap Belanda. Raja Amangkurat I juga bersikap tidak bijaksana terhadap para tokoh agama. Bahkan Amangkurat I melakukan pembunuhan terhadap 5-6 ribu ulama beserta keluarga mereka di Plered. Babad Tanah Jawi menyatakan bahwa 6.000 orang yang terdiri atas ulama beserta keluarga mereka dikumpulkan di alun-alun dan dibantai. Pada masa pemerintahannya, tidak ada lagi utusan ke daerah-daerah kekuasaan Mataram dalam rangka penyebaran agama Islam, termasuk di Wonosobo.

Tahun 1677 Amangkurat I meninggal dan menyerahkan tahta kekuasaan Mataram kepada putranya, Adipati Anom. Pangeran Adipati Anom kemudian dinobatkan menjadi Raja Mataram dengan gelar Susuhunan Mangkurat II Amral atau Amangkurat II (1678-1703). Karena harus menggantikan kedudukan ayahnya, ia tidak jadi pergi ke Mekkah. Ketika itu, Amangkurat II mendapat pesan agar pergi ke Batavia meminta pertolongan kepada Belanda untuk menghadapi pasukan Trunojoyo.

Sementara itu, Pangeran Puger yang berada di Jenar mendengar kabar bahwa ayahandanya telah meninggal dan mengira kakaknya, Adipati Anom pergi ke Mekkah. Oleh karena itu, ia segera menobatkan diri sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Ngalogo di Jenar. Pasukan Trunojoyo yang sudah melakukan pemberontakan pada masa Amangkurat I, segera menyerbu Pangeran Puger.

Akhirnya, perang besarpun terjadi di desa Jogoboyo. Saat itu, Pangeran Puger bersama Pangeran Kajoran dibantu oleh orang-orang Bagelen, termasuk Wonosobo. Selain itu, juga dibantu oleh pasukan Banyumas dan pasukan Panjer Banaira. Sehingga, pertempuranpun dapat dimenangkan. Sementara itu, Amangkurat II dengan bantuan Kompeni, memburu dan menumpas pemberontakan tersebut. Akhirnya Pemberontakan dapat dipadamkan dengan menyerahnya Trunojoyo pada 25 Desember 1679.

Pada saat inilah, datang rombongan ulama dari arah Batang dan Pekalongan ke Wonosobo bagian selatan. Mereka merupakan ulama dari Hadramaut yang telah menetap terlebih dahulu di Pekalongan. Salah satunya ialah Sayid Walid Hasyim bin Idrus Ba’abud sebagai pemimpin rombongan. Sayid Walid Hasyim bin Idrus Ba’abud ialah putra Sayid Idrus bin Muhsin Ba’abud. Ia diutus oleh ayahnya untuk datang dan menyebarkan agama Islam di Wonosobo. Dalam usia sangat muda ia memimpin rombongan dakwah ke Wonosobo. Ia dilahirkan pada tahun 1671 M dan Wafat pada tahun 1212 H (1791 M) di Wonosobo.

Rombongan tersebut mulai menyebar ke daerah utara, tepatnya ke Wonosobo sekarang. Mereka kemudian tinggal di sebuah padepokan yang pernah didirikan oleh Kyai Walik. Kemudian menyebarkan agama Islam di desa Kauman, Wonosobo. Mereka kemudian mengembangkan padepokan tersebut menjadi zawiah/ zawiat. Zawiah/zawiat ini dipergunakan untuk mengajarkan tasawuf yang dibawanya.

Metode tasawuflah yang digunakan oleh Sayid Walid Hasyim Ba’abud berserta rombongannya dalam menyebarkan Islam di Wonosobo. Ia menyesuaikan kebiasaan masyarakat yang telah ada untuk memasukkan ajaran-ajaran Islami. Seperti halnya konsep mistik, kekebalan tubuh, kemampuan menyembuhkan orang sakit dengan menggunakan do’a-do’a Islam. Saat itu, masyarakat mengenal do’a-do’a Islam seperti halnya mantra.

Sayid Walid Hasyim mempunyai 3 putra, yaitu Sayid Ali, Sayid Syeh, dan Sayid Hamzah. Sayid Syeh dan Sayid Hamzah kemudian menyebarkan agama Islam di Parakan. Sedangkan Sayid Ali melanjutkan perjuangan ayahnya. Ia mempunyai 4 anak yakni Syarifah Khotijah, Ibrahim, Umar dan Muhamad. Sayid Ali bin Walid Hasyim Ba’abud yang wafat pada tahun 1860 M, kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Ibrahim bin Ali Ba’abud yang wafat pada tahun 1964 M. Sayid Ibrahim inilah yang kemudian menjadi salah satu pendiri NU di Wonosobo pada tahun 1933.

Berdirinya Nahdlatul Ulama secara umum berawal dari pertemuan organisasi-organisasi Islam sedunia yang diselenggarakan di Mekkah yang dikenal dengan Komite Hijaz. Dan secara resmi NU didirikan pada tanggal 31 Januari 1926. Masa perintisan NU dimulai pada muktamar NU pertama di Surabaya sampai dengan muktamar NU Ke-5 di Pekalongan. Pada masa ini, NU menitikberatkan pada propaganda terhadap NU (Sosialisasi pengenalan terhadap organisasi NU) di seluruh Indonesia terutama Jawa.

Masa awal NU merupakan ormas yang bergerak pada pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, sehingga wilayah NU ialah memperjuangkan nasib masyarakat dari ketertindasan penjajah, seperti pengangkatan na’ib harus ada persetujuan dari para ulama, melarang umat islam memakai pakaian yang menyerupai orang kafir (Belanda).

Pada perkembangannya, program kerja NU yaitu pertama, upaya menyatukan bangsa ini untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan, terutama persatuan umat Islam (ukhuwah islamiyah). Hal ini diserukan sendiri oleh K.H Hasyim Asy’ari di berbagai kesempatan. Kedua, umat islam dianjurkan tidak membesar-besarkan masalah perselisihan dalam bidang furu’iyah, karena apabila diperuncing akan memecah belah islam. Sementara masa itu yang dibutuhkan ialah kesatuan umat islam untuk mengusir penjajah.

Pada masa revolusi, NU mengeluarkan seruan jihad. Seruan yang dikenal dengan Resolusi jihad ini merupakan semangat nasionalisme yang membara untuk mempertahankan setiap jengkan tanah air, didorong pula oleh semangat jihad fi sabilillah guna mempertahankan kemerdekaan agama. NU meminta kepada pemerintah RI untuk segera menentukan sikap dan memerintah perang sabil bahwa pertempuran melawan tentara Belanda dan komplotannya “NICA” adalah fardlu ‘ain (wajib hukumnya). Semangat jihad ini membara dimana-mana. Pondok-pondok pesantren telah berubah menjadi markas hizbullah dan sabilillah. Suasana gegap gempita mewarnai kehidupan masyarakat yang pada dasarnya tinggal menungu komando. Karena itu, resolusi jihad itu kemudian memberikan inspirasi bagi berkobarnya pertemputan 10 Nopember 1945 di Surabaya.

Tahun 1955 sampai tahun 1971 NU menjadi partai politik. Langkah ini ditempuh karena berbagai pengalaman NU yang semestinya mempunyai masa banyak tetapi tidak diberi porsi yang seimbang di DPR oleh masyumi. Oleh karena itu, NU mempunyai sikap tegas untuk menjadi partai politik. Dalam pemilu 1955, NU mendapatkan kursi yang signifikan di DPR yaitu sebanyak 45, sedang pada tahun 1971 mendapat 58.

Melihat berbagai kekecewaan yang menimpa warga NU akibat kebijakan orde baru, maka NU mengambil langkan kembali ke khittah 1926. Prinsip yang terpenting dari khittah ini ialah intensitas NU dalam melakukan gerakan transformasi sosial kultural bersama-sama dengan semua kekuatan kelompok strategis bangsa. NU mencoba mewujudkan dirinya sebagai organisasi yang memberi rahmatal lil ‘alamin dalam semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa membedakan suku, ras, dan politik. Dalam bentuk-bentuk yang sangat aktual, NU terlibat dalam masalah-masalah kebangsaan tanpa kepentingan politik praktis, tetapi semata-mata hanya untuk kepentingan kualitas bangsa dan pemberdayaan masyarakat secara luas.

Nahdlatul Ulama’ di wonosobo sendiri berdiri sekitar tahun 1930-an, yang peresmiannya dilaksanakan setelah Muktamar NU ke-8 di Cirebon (1932-1933). NU dirintis oleh Sayid Ibrahim bin Ba’abud yang selanjutnya beliau dijadikan rois yang pertama. Awal perintisan ini dibantu oleh Sayid Muhsin, Soepadmo, Abu Bakar, dan tokoh-tokoh ulama Wonosobo lainnya. Pelantikan ini dilaksanakan di rumah sayid Ibrahim di Kauman, Wonosobo. Saat itu, tokoh yang ingin penulis ambil, yakni K.H Muntaha (yang masih remaja) bertindak sebagai pembaca Al-Qur’an.

Setelah dijadikan sebagai tempat pelantikan, rumah sayid Ibrahim kemudian dijadikan sebagai tempat mengaji dan berkumpul. Hal ini untuk mempermudah dalam musyawarah tentang strategi NU meyakinkan masyarakat untuk bersatu melawan penjajah.

Pada saat inilah, NU mulai disosialisasikan kepada seluruh masyarakat di Wonosobo. Ketika itu, NU disambut dengan baik. Banyak sekali warga yang mempunyai pandangan yang sama dengan NU. Sehingga banyak masyarakat yang mengikuti NU. Strategi pertama yang dilakukan ialah dengan mendirikan beberapa tempat mengaji yang kemudian pada perkembangannya dijadikan sebagai pondok pesantren. Misalnya, di Bendosari (Sapuran), di Kalilembu, di Kalibeber (Mojotengah), dan lain sebagainya.

Pondok Pesantren di Kalibeber ialah Pondok Kaliprupuk, tepatnya di dukuh Karangsari, Ngebrak, Kalibeber. Awalnya pondok ini merupakan suatu langgar kecil yang didirikan oleh K. Muntaha bin Nida Muhammad tahun 1832. Beliau merupakan salah satu pengawal pangeran diponegoro yang berhasil melarikan diri dari kejaran tentara belanda. Kemudian beliau mengasingkan diri menuju kalibeber, wonosobo.

Atas petunjuk Mbah Glondong Jogomenggolo, K. Muntaha bin Nida Muhammad mampu bersosialisasi hingga berhasil mendirikan tempat mengaji. Ditempat inilah beliau mengajarkan ilmu baca tulis Al-Qur’an, fiqih, dan tauhid. Pada perkembangannya, tempat ini didirikan menjadi Pondok Pesantren. Namun, Setelah membina santrinya selama 28 tahun, beliau wafat pada tahun 1860.

Sepeninggal beliau, padepokan tersebut diteruskan oleh putranya, KH Abdurrohim. Pada masa kepemimpinan KH Abdurrohim inilah perkembangan pondok sangat pesat. Banyak sekali santri yang berasal dari luar daerah untuk mengaji di padepokan/pondok di kaliprupuk ini. Pada tahun 1916 KH. Abdurrohim meninggal dunia sehingga dilanjutkan oleh putranya, yaitu KH. Asy’ari.

Pada masa kepemimpinan KH. Asy’ari, pondok ini mulai mengalami perkembangan intern. Beberapa administrasi pondok mulai dibenahi sampai dengan peresmian Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah. Pada tahun-tahun yang penuh dengan pergolakan melawan belanda, KH. Asy’ari mulai menyusun strategi perjuangan mempertahankan bangsa dan negara.

Strategi tersebut yakni disamping penekanan mendalami ilmu keagamaan, para santri juga dilibatkan dalam membela tanah air. KH. Asy’ari paham benar dengan keinginan penjajah untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga, KH. Asy’ari yang sudah sejak berdirinya NU di Wonosobo sepaham dengan Nahdlatul Ulama berjuang bersama mengusir penjajah. Semua strategi selalu dimusyawarahkan dengan ulama’-ulama’ NU di Wonosobo.

Tahun 1948, Jepang mulai menyerang daerah-daerah pedalaman di Wonosobo. Sedangkan KH. Asy’ari dalam keadaan sakit, sehingga beliau diasingkan ke Deroduwur. Hal tersebut sangat menguntungkan bagi penjajah, pasukan mereka berhasil mengobrak-abrik seluruh koleksi yang ada di pondok. Termasuk koleksi mushaf Al-Qur’an yang ditulis oleh ayahnya, KH. Abdurrohim. Semua koleksi kemudian dibakar oleh penjajah.

KH. Asy’ari meninggal pada tahun 1949, kemudian digantikan oleh putra ketiga beliau yaitu KH. Muntaha. Beliau mempunyai lima saudara yaitu KH. Mustaqim, K. Murtadho, KH. Mudasir, Nyai Mujizah, dan KH. Mustahal. Sepeninggal ayahnya, pondok pesantren al-asy’ariyah dibawah sosok pemimpin yang santun dan teguh pendirian ini.

Masa muda Muntaha tidak jauh berbeda dengan santri kebanyakan. Meskipun ayahnya sebagai pendiri pondok, muntaha dikirimkan ke daerah lain untuk memperoleh pengetahuan agama. Ayahnya berfikir untuk menitipkan anaknya ke kyai lain, seperti halnya yang dilakukan teman-teman NU di Wonosobo. Serta tokoh NU yang terkenal dengan santri kelana yakni KH Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan KH Bisri yang menjadi salah satu pedomannya. Kemudian Muntaha dikirim ke Madrasah Darul Ma’arif di Banjarnegara.

Selepas dari Banjarnegara, KH Muntaha melnajutkan pendidikan Tahfudzul Qur’an di Pondok Pesantren Kauman, Kaliwungu Kendal. Bahkan di pesantren inilah,KH Muntaha mampu menjadi lulusan dengan gelar al-khafidz. Kemudian pendidikannya dilanjutkan di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Di pondok pesantren ini beliau belajar tafsir Al-Qur’an.

Selanjutnya, beliau melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren termas, pacitan, jawa timur. Di pesantren ini KH Muntaha menyempurnakan pengetahuannya kepada KH. Dimyati. Kemudian pada tahun 1950, KH muntaha pulang ke tanah kelahirannya. Di desa inilh beliau mengamalkan semua ilmu pengetahuannya.

Sejak berdirinya NU di Wonosobo, Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah sudah menjalin hubungan dengan para ulama NU. Tapi hubungan ini lebih erat ketika pondok pesantren di bawah asuhan KH Muntaha. Sudah sejak berdirinya NU di Wonosobo, KH Muntaha selalu ikut andil di dalamnya. Bahkan ketika peresmian berdirinya NU di Wonosobo, KH Muntaha bertindak sebagai pembaca Al-Qur’an. Karena kedekatan tersebut, pondok semakin maju. Dalam bidang teologi, KH muntaha menganut paham Asy’ariyyah. Yakni paham islam paling moderat yang semakin yakin dan mantab untuk mengusung paradigma ahlusunnah waljama’ah.

Salah satu hal yang menarik dari pemikiran KH. Muntaha ialah perpaduannya mengenai pendidikan formal dan pendidikan pesantren. Umumnya perpaduan ini belum diterima, tetapi KH. Muntaha berhasil menerapkannya seperti RA, MI, MTs dan MA/SMA/SMK Takhassus Al-Qur’an. Kemudian berdirinya Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) yang sekarang dikenal dengan UNSIQ tahun 1988 merupakan langkah maju dari pemikiran beliau.

Pada perkembangannya dalam bidang kesenian yang beraroma agama, KH Muntaha mampu menciptakan Al-Qur’an Akbar/ Al-Qur’an terbesar di Indonesia yang sekarang berada di Jakarta. Al-qur’an ini ditulis oleh dua santrinya yaitu Hayatudin dan Abdul Malik. Sekarang ini kedua santri tersebut sudah menjalankan ibadah haji sebagai hadiah atas karya tersebut. Realisasi Al-Qur’an Akbar didukung oleh H. Harmoko (Menteri penerangan RI pada waktu itu).

KH Muntaha selalu teringat dengan mushaf Al-Qur’an yang pernah ditulis kakeknya ketika menjalankan ibadah haji. Akan tetapi Al-Qur’an tersebut dihancurkan oleh penjajah ketika mengobrak-abrik isi pondok. Atas dasar peristiwa tersebut, KH Muntaha semakin terdorong untuk menulisnya.

Hal tersebut didukung pula dengan kedekatan KH. Muntaha dengan H. Harmoko (Menteri penerangan RI pada waktu itu). Beliau bersedia untuk membantu realisasi Al-Qur’an Akbar dengan mengirimkan kertas berukuran 1 x 1 M. Akan tetapi, pada pelaksanaannya, H Harmoko malah mengirimkan kertas dengan ukuran 2 x 1,5 M. Saat itu, KH Muntaha menyayangkan ketika kertas harus dipotong. Sehingga, realisasi yang direncanakan berukuran 1 x 1 M berubah menjadi 1,5 x 2 M. Kemudian, H Harmoko juga membantu mengirimkan ahli teknologi untuk proses penjilidan dan pengawetan.

Selanjutnya KH Muntaha menunjuk kedua santrinya untuk mengemban amanah besar tersebut, yakni Hayatuddin (penulis huruf/ahli kaligrafi) dan Abdul Malik (ahli lukis). Berdasarkan beberapa masukan, salah satunya dari P. Nur Aufa dari Kudus disepakati model huruf Haskhi (untuk ayat) dan huruf Tsulutsi (untuk judul dan jus).,

Penulisan ini berlangsung selama 1 tahun 2 bulan, dan selama itu pula kedua santri selalu berpuasa ketika hendak melanjutkan tugas besar tersebut. Penulisan tersebut selesai pada tanggal 31 Desember 1992 akan tetapi diresmikan tanggal 5 Juli 1994 yang kemudian diserahkan kepada H. M Soeharto. Hal ini dimaksudkan agar Al-Qur’an Akbar senantiasa dijaga, dihormati, serta diamalkan ajaran yang terdapat di dalamnya. KH. Muntaha khawatir ketika Al-Qur’an Akbar disimpan di Pondok Al-Asy’ariyyah, maka akan terjadi hal yang sama dengan Al-Qur’an kakeknya. Terlebih udara yang sangat dingin yang kemungkinan akan merusak kualitas kertas maupun tulisan dari Al-Qur’an Akbar.

Dalam bidang organisasi sosial keagamaan, beliau ialah tokoh yang selalu memperjuangkan NU. Beberapa periode, KH Muntaha menjadi Dewan Pertimbangan Syuriyah. Beliau juga pernah menjabat sebagai Dewan Pertimbangan (Mustasyar) Pengurus Wilayah NU Jateng. Sebagai anggota Konstituante RI yang mewakili NU jawa tengah beliau mampu mengemban amanah dengan baik. Bahkan beliau sangat dekat dengan Presiden K H Abdurrahman Wahid. Hal ini terbukti dengan kunjungan Presiden K H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke PPTQ Al-Asy’ariyyah tahun 2000. Pada tahun 1956, beliau menjabat sebagai kepala kantor departemen Kabupaten Wonosobo. Beliau juga pernah menjadi anggota MPR tahun 1998-2003.