Alasan kerajaan Sriwijaya dijadikan pusat pengajaran agama Buddha

Alasan kerajaan Sriwijaya dijadikan pusat pengajaran agama Buddha

Sylvana Toemon

Sriwijaya, pusat agama Buddha

Sriwijaya pernah dikenal sebagai kerajaan maritim yang besar. Kerajaan ini juga pernah menjadi pusat penyebaran agama Buddha dan pengajaran bahasa Sansekerta.

Baca juga: Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Maritim yang Besar

Pusat Agama Buddha Abad 7 Sampai 11

Dari abad ke-7 hingga permulaan abad ke-11 Masehi, Kedatuan Sriwijaya merupakan pusat pengajaran agama Buddha. Di tempat ini, ada seorang biksu yang dikenal berpengetahuan luas. Namanya Dharmakirti. Demikian terkenalnya sampai-sampai biksu dari daerah jauh pun datang ke Sriwijaya untuk belajar pada Dharmakirti. Para biksu yang datang ke Sriwijaya ada yang tinggal untuk waktu yang lama. Pusat kerajaan besar ini juga menjadi pusat agama Buddha pada saat itu.

Baca juga: Prasasti Kedukan Bukit, Bagian Penting dari Sriwijaya

Catatan I-Tsing

I-Tsing adalah seorang biksu dari Tiongkok yang pernah datang dan belajar di Sriwijaya.  Dari catatan yang dibuatnya, kita dapat mengetahui keadaan Sriwijaya pada waktu itu. I-Tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya, yang disebutnya dengan nama Foshi. Ia datang ke sini untuk belajar tata bahasa Sansekerta. Pelajaran itu memang sangat diperlukannya di tujuan akhirnya, India. Ia menceritakan di tempat itu ada kota berbenteng yang dihuni ribuan biksu. Catatan I-Tsing juga menceritakan di tempat ini ada banyak gajah yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari.

Dibaca 23888 kali

Alasan kerajaan Sriwijaya dijadikan pusat pengajaran agama Buddha

Friday 26, Feb 2016 05:10 AM / AW

Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan bahari, tetapi dikenal juga sebagai salah satu pusat penyebaran agama Buddha dan pengajaran bahasa Sansekerta. Karena itulah Sriwijaya banyak dikunjungi oleh para bhiksu dari mancanegara. Namun, akibat dari hubungan­nya dengan kerajaan lain, tidak mustahil di Sriwijaya juga ada kelompok masyarakat yang beragama lain (Hindu, Tantris, dan bahkan Islam).

Sriwijaya bukan saja menjadi pusat kekuasaan yang besar, melainkan menjadi pusat kebudayaan, peradaban, dan pusat ilmu pengetahuan agama Buddha. Para bhiksu yang melawat ke Sriwijaya mempunyai tempat yang khusus. Mereka sangat dihormati oleh para penguasa dan rakyat Sriwijaya. Bhiksu yang datang ke Sriwijaya bukan hanya untuk sekadar singgah untuk beberapa saat, melainkan mereka tinggal untuk waktu yang lama dan mempelajari agama Buddha.

Dalam agama Buddha terdapat bermacam-macam mazhab, antara lain Mahayana dan Hinayana. Sumber tertulis dan arca-arca yang ditemukan mengindika­sikan bahwa agama Buddha yang berkembang di Sriwijaya bermazhab Mahayana. Akan tetapi, para bhiksu Buddha yang mempelajari agama Buddha di Sriwijaya bukan saja mem­pelajari agama Buddha Mahayana saja, melainkan agama Buddha dari mazhab lain.

Pusat pengajaran agama Buddha yang terbesar pada masa itu adalah Nalanda. Namun, beberapa sumber Tiongkok juga menyebutkan bahwa di Sriwijaya juga terdapat suatu perguruan tinggi Buddha yang cukup baik. Mengenai perguruan tinggi Buddha di Sriwijaya, I-tsing memberitakan tentang kehidupan keagamaan di Sriwijaya dan banyaknya bhiksu di kota.

Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha tidak lain adalah peranan dari Dharmakrti, seorang bhiksu Buddha yang pengetahuannya cukup luas. Ia adalah salah seorang bhiksu tertinggi di Sriwijaya yang menyusun kritik atas isi kitab Abhisamayalamkara. Demikian dikenalnya hingga pada tahun 1011 hingga 1023 Masehi, seorang bhiksu dari Tibet yang bernama Atisa (Dipamkararsjñana) datang ke Swarnna­dwipa untuk belajar agama pada Dharmakrti.

Aktivitas keagamaan pada masyarakat di wilayah Kadatuan Sriwijaya bukan hanya agama Buddha Mahayana saja, agama lain juga berkesempatan untuk berkem­bang. Bukti-bukti arkeologis berupa arca batu yang mewakili agama Hindu dan Tantris, juga ditemukan di wilayah Kadatuan Sriwijaya. Sebuah berita Arab menyebutkan adanya surat menyurat antara Maharaja Sriwijaya dan Khalifah Umar bin Abdul Azis. Dalam surat itu disebutkan permintaan kepada Khalifah untukmengirimkan mubaligh ke Sriwijaya.

(BBU)

KOMPAS.com - Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada abad ke-7.

Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan maritim dan berperan sebagai pusat penyebaran agama Buddha.

Penyebaran agama pada zaman Kerajaan Sriwijaya tidak hanya terbatas di Nusantara, tetapi di Asia Tenggara.

Lantas, bagaimana upaya Kerajaan Sriwijaya untuk menyebarkan agama Buddha?

Baca juga: Alasan Perdagangan di Kerajaan Sriwijaya Mengalami Kemajuan Pesat

Mengirim rakyatnya belajar ke India

Peranan Kerajaan Sriwijaya dalam pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari dukungan rajanya.

Raja-raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama Buddha, seperti yang pernah disebut pada Prasasti Nalanda.

Prasasti Nalanda sebagian isinya menerangkan bahwa Raja Balaputradewa dari Sriwijaya meminta Raja Dewapaladeva untuk menyediakan tanah sebagai pembangunan asrama bagi pelajar agama Buddha dari Sriwijaya.

Isi prasasti ini menjadi bukti bahwa Raja Sriwijaya menaruh perhatian sangat besar terhadap pengajaran dan pendidikan agama Buddha, bahkan mendukung rakyatnya yang belajar hingga ke pusat pengajaran agama Buddha terbesar di dunia.

Selain itu, Prasasti Nalanda juga menyebut bahwa lima desa di Kalkutta (sekarang Kolkata), India, dibebaskan dari pajak untuk keperluan misi agama Buddha Kerajaan Sriwijaya.

Baca juga: Apa Isi Surat Raja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz?

Mendirikan pusat pendidikan agama Buddha

Sekembalinya para pelajar dari India, mereka akan meneruskan ilmunya di pusat pendidikan dan pengajaran agama Buddha di Sriwijaya.

Sumber-sumber China menyebut bahwa di Kerajaan Sriwijaya terdapat perguruan tinggi agama Buddha yang sangat baik.

Bukti bahwa Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Buddha adalah catatan I-Tsing.

I-Tsing adalah biksu dari China yang dikenal sebagai seorang penjelajah dan penerjemah teks agama Buddha.

Dalam pelayarannya dari China ke India untuk memperdalam ajaran Buddha, I-Tsing pernah singgah kemudian tinggal di Kerajaan Sriwijaya.

Perkembangan kehidupan beragama Kerajaan Sriwijaya menurut I-Tsing sangat baik.

Baca juga: I-Tsing, Biksu China yang Memperdalam Agama Buddha di Sriwijaya

Pada kunjungan pertamanya (671-672), I-Tsing menghabiskan enam bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sanskerta dan Melayu.

Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Nalanda di India, yang menjadi pusat pendidikan agama Buddha saat itu, dan tinggal selama 11 tahun untuk memperdalam ilmunya.

Pada 687, I-Tsing kembali singgah di Kerajaan Sriwijaya ketika akan kembali ke China.

Saat itu, Palembang telah menjadi pusat penyebaran agama Buddha dan I-Tsing tinggal selama dua tahun untuk menerjemahkan kitab suci Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Mandarin.

Pada 689, I-Tsing sempat kembali ke China untuk mendapatkan tinta dan kertas yang belum dimiliki Sriwijaya.

Masih di tahun yang sama, ia kembali ke Sriwijaya dan tinggal hingga 695 untuk menyelesaikan misinya dalam menerjemahkan kitab suci Buddha.

Baca juga: Kehidupan Keagamaan Kerajaan Sriwijaya

Dalam catatannya, I-Tsing kagum dengan perkembangan agama Buddha di Sriwijaya.

Selain itu, Sriwijaya disebut sebagai pusat pendidikan agama Buddha terbesar di Indonesia, di mana para biksu dari pulau-pulau di Nusantara lainnya saling bertemu.

I-Tsing bahkan menyarankan para biksu dari negerinya yang hendak menuju Nalanda untuk belajar di Sriwijaya.

Catatan I-Tsing menjadi bukti bahwa Ariwijaya pernah menjadi pusat kegiatan agama Buddha.

Melakukan pembinaan kehidupan beragama

Guna mendukung Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha, para penguasa melakukan pembinaan kehidupan umat beragama.

Di Kerajaan Sriwijaya terdapat pendeta agama Buddha yang tersohor.

Baca juga: Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Pendiri Kerajaan Sriwijaya

Salah satu nama guru agama Buddha yang terkenal pada saat itu adalah Sakyakirti, yang telah menjelajah lima negeri di India untuk menambah ilmunya dan merupakan pengarang kitab Hastadandasastra.

Selain Sakyakirti, terdapat guru agama Buddha lain di Sriwijaya yang juga termasyhur namanya, yakni Dharmapala dan Dharmakirti.

Dharmakirti adalah salah seorang biksu tertinggi di Sriwijaya yang menyusun kritik atas kitab Abhisamayalamkara.

Berkat peran para mahaguru tersebut, Kerajaan Sriwijaya kerap dikunjungi oleh para biksu dari berbagai negeri.

Bahkan, antara tahun 1011-1023, datang pendeta dari Tibet bernama Attisa ke Sriwijaya dengan tujuan belajar kepada Dharmakirti.

Para biksu yang datang untuk mendalami ajaran Buddha mendapatkan tempat khusus dan sangat dihormati, baik oleh penguasa Sriwijaya maupun rakyatnya.

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.