Air mutanajis adalah air yang suci namun terkena najis berikut yang tidak mengalami perubahan adalah

c.mutanajis

A. Pengertian Air Mutanajis

Dikutip dari laman resmi Nahdlatul Ulama, air mutanajis adalah air yang terkena barang najis yang volumenya kurang dari dua qullah atau volumenya mencapai dua qullah atau lebih namun berubah salah satu sifatnya baik warna, bau, atau rasa karena terkena najis.

Secara sederhana, apabila terkena najis, maka secara otomatis air dengan volume sedikit menjadi mutanajis meskipun tidak ada sifatnya yang berubah.

Berbeda halnya dengan air dengan volume banyak yang terkena najis, tidak menjadi mutanajis bila ia tetap pada kemutlakannya atau tidak ada sifat yang berubah.

B. Hukum Air Mutanajis untuk Bersuci

Bila karena terkena najis lalu ada satu atau lebih sifatnya yang berubah, maka air yang bervolume banyak tersebut menjadi air mutanajis.

Air mutanajis ini tidak bisa digunakan untuk bersuci, karena dzatnya air itu sendiri tidak suci sehingga tidak bisa dipakai untuk menyucikan.

C. Macam-macam Air dan Hukumnya untuk Bersuci

Adapun selain air mutanajis yang tidak bisa digunakan untuk bersuci, berikut ini macam air dan hukumnya dalam islam untuk bersuci.

1. Air Suci dan Menyucikan

Mengutip laman SDIT Al Hasanah Bengkulu, air suci dan menyucikan artinya dzat air tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Air ini oleh para ulama fiqih disebut dengan air mutlak.

Menurut Ibnu Qasim Al-Ghazi ada 7 (tujuh) macam air yang termasuk dalam kategori ini. Ia mengatakan:

المياه التي يجوز التطهير بها سبع مياه: ماء السماء، وماء البحر، وماء النهر، وماء البئر، وماء العين, وماء الثلج، وماء البرد

"Air yang dapat digunakan untuk bersuci ada tujuh macam, yakni air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air salju, dan air dari hasil hujan es."

Ketujuh macam air itu disebut sebagai air mutlak selama masih pada sifat asli penciptaannya. Bila sifat asli penciptaannya berubah, maka air tersebut tak lagi disebut air mutlak dan hukum penggunaannya pun berubah.

2. Air Musyammas

Air musyammas adalah air yang dipanaskan di bawah terik sinar matahari dengan menggunakan wadah yang terbuat dari logam selain emas dan perak, seperti besi atau tembaga.

Air ini hukumnya suci dan menyucikan, hanya saja makruh bila dipakai untuk bersuci. Air ini juga makruh digunakan bila pada anggota badan manusia atau hewan yang bisa terkena kusta seperti kuda, tetapi dapat dipakai untuk mencuci pakaian atau lainnya. Meski demikian, air ini tidak lagi makruh dipakai bersuci apabila telah dingin kembali.

3. Air Suci yang Tidak Menyucikan

Ada jenis air yang dzatnya suci tetapi tidak bisa dipakai untuk bersuci, baik untuk bersuci dari hadas maupun dari najis. Ada dua macam air yang suci namun tidak bisa digunakan untuk bersuci, yakni air musta'mal dan air mutaghayar.

Air musta'mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci baik untuk menghilangkan hadas seperti wudhu dan mandi, ataupun untuk menghilangkan najis bila air tersebut tidak berubah dan tidak bertambah volumenya setelah terpisah dari air yang terserap oleh barang yang dibasuh.

Air musta'mal ini tidak bisa digunakan untuk bersuci apabila tidak mencapai dua qullah. Bila volume air tersebut tersebut mencapai dua qullah, maka tidak disebut sebagai air musta'mal dan bisa digunakan untuk bersuci.

Air mutanajis adalah air yang suci namun terkena najis berikut yang tidak mengalami perubahan adalah
Macam-Macam Air Untuk Bersuci – Ada beragam media yang bisa digunakan untuk bersuci, salah satunya adalah air. Di dalam Madzhab Syafi’i, air terbagi ke dalam empat macam, yaitu air suci dan menyucikan, air musyammas, air suci namun tidak menyucikan, dan air mutanajis.Berikut adalah penjelasan dari masing-masing jenis air tersebut dikutip dari kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala al-Madzhab al-Imam al-Syafi’i.

1. Air Yang Suci Dan Menyucikan

Yang dimaksud dengan air suci dan menyucikan adalah bahwa zat air tersebut suci dan bisa digunakan untuk bersuci. Dalam istilah lain disebut juga dengan air mutlak. Yang dimaksud adalah bahwa air tersebut masih alami dan tidak bercampur dengan zat-zat lainnya atau mengalami perubahan.Adapun jika perubahan itu terjadi karena air tersebut diam pada waktu yang lama, karena tercampur sesuatu yang tidak bisa dihindarkan seperti lempung, debu, dan lumut, atau karena pengaruh tempatnya seperti air yang berada di daerah yang mengandung banyak belerang, maka hal itu tidak mengapa, dan tidak dianggap menghilangkan kealamiaannya.Dalam keterangan lain, contoh-contoh air mutlak adalah air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, dan air es atau salju, dan air embun.

2. Air Musyammasy

Air musyammas adalah air yang dipanaskan di bawah terik sinar matahari dengan menggunakan wadah yang terbuat dari logam selain emas dan perak, seperti besi atau tembaga.Baca juga: Keutamaan Shalat JenazahAir ini hukumnya suci dan menyucikan, hanya saja makruh bila dipakai untuk bersuci. Secara umum air ini juga makruh digunakan bila pada anggota badan manusia atau hewan yang bisa terkena kusta seperti kuda, namun tak mengapa bila dipakai untuk mencuci pakaian atau lainnya. Meski demikian air ini tidak lagi makruh dipakai bersuci apabila telah dingin kembali.

3. Air Suci Namun Tidak Menyucikan

Air ini zatnya suci namun tidak bisa dipakai untuk bersuci, baik untuk bersuci dari hadas maupun dari najis. Ada dua macam air yang suci namun tidak bisa digunakan untuk bersuci, yakni air musta’mal dan air mutaghayar.Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci baik untuk menghilangkan hadas seperti wudlu dan mandi ataupun untuk menghilangkan najis bila air tersebut tidak berubah dan tidak bertambah volumenya setelah terpisah dari air yang terserap oleh barang yang dibasuh.Air musta’mal ini tidak bisa digunakan untuk bersuci apabila tidak mencapai dua qullah, kira-kira mencapai 270 liter. Sedangkan bila volume air tersebut mencapai dua qullah maka tidak disebut sebagai air musta’mal dan bisa digunakan untuk bersuci.Adapun air mutaghayar adalah air yang mengalami perubahan salah satu sifatnya disebabkan tercampur dengan barang suci yang lain dengan perubahan yang menghilangkan kemutlakan nama air tersebut. Sebagai contoh air hujan yang dimasak tetap pada kemutlakannya sebagai air hujan namun ketika ia dicampur dengan susu sehingga terjadi perubahan pada sifat-sifatnya maka air hujan itu kehilangan kemutlakannya dengan berubah nama menjadi air susu.Baca juga: Inilah Silsilah Keluarga Rasulullah SAWAir yang demikian itu tetap suci zatnya namun tidak bisa dipakai untuk bersuci.

4. Air Mutanajis

Air mutanajis adalah air yang terkena barang najis yang volumenya kurang dari dua qullah atau volumenya mencapai dua qullah atau lebih namun berubah salah satu sifatnya seperti warna, bau, atau rasa karena terkena najis tersebut.Air sedikit apabila terkena najis maka secara otomatis air tersebut menjadi mutanajis meskipun tidak ada sifatnya yang berubah.Sedangkan air banyak bila terkena najis tidak menjadi mutanajis bila ia tetap pada kemutlakannya, tidak ada sifat yang berubah. Adapun bila karena terkena najis ada satu atau lebih sifatnya yang berubah maka air banyak tersebut menjadi air mutanajis.Air semacam ini tidak dapat digunakan untuk bersuci karena zatnya telah berubah menjadi najis.Demikian informasi seputar air yang digunakan untuk bersuci. Semoga bermanfaat.Wallahu a’lam.Sumber: al-Fiqh al-Manhaji Ala al-Madzhab al-Imam al-Syafi’i.

Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas terkait status air yang berubah sifatnya. Semoga pembahasan yang singkat ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

Hukum asal air baik yang turun dari langit atau keluar dari bumi atau semisalnya adalah suci dan mensucikan[1. Lihat Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah, 23]. Allah Ta’ala berfirman:

وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci” (QS. Al Furqan: 48).

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ

“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit agar kalian bisa bersuci dengannya” (QS. Al Anfal: 11).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda tentang laut:

هو الطهور ماؤه, الحل ميتتة

“Laut itu suci airnya dan halal bangkai (binatang yang ada di dalam)-nya” (HR. Ibnu Majah 309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).

Maka jelas dari dalil-dalil ini bahwa hukum asal air adalah suci dan mensucikan. Maka dalam hal ini dua hal yang patut diperhatikan,

  1. Air tidak keluar dari kedua sifat tersebut (suci dan mensucikan) kecuali ada dalilnya
  2. Air tidak keluar dari kedua sifat tersebut (suci dan mensucikan) kecuali telah keluar dari kemutlakannya, atau dengan kata lain jika air tersebut sudah tidak disebut sebagai “air” secara mutlak, namun disebut dengan “air …”. Misalnya: “air kopi”, “air teh”, “air gula”, dll.

Status air yang berubah sifatnya

Air keluar dari sifat mutlaknya jika berubah atau tercampur dengan zat lain. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di[2. Dalam Irsyad Ulil Bashair, 8-9] merinci hukumnya adalah sebagai berikut,

Pertama: jika air tercampur dengan zat lain yang merupakan najis hingga air tersebut berubah warna, atau bau atau rasanya, maka air tersebut menjadi najis. Ulama ijma akan hal ini.

Kedua: jika air tersebut berubah karena telah menempati suatu tempat dalam waktu lama, atau karena saluran yang dilaluinya, atau ada ada suatu zat yang sulit menghindarkan ia dari air, seperti tanah, pasir, debu yang ada di saluran-saluran air, maka air tetap suci.

Ketiga: jika air tercampur dengan zat yang tidak bisa larut dalam air seperti lemak dan minyak, sebagian ulama menyatakan hukumnya makruh, namun pendapat yang tepat ia tetap suci tanpa karahah (makruh). Karena hukum asal air adalah suci dan tidak ada dalil yang memindahkan statusnya dari suci.

Keempat: jika air tercampur dengan zat lain yang suci. Jika zat lain tersebut jumlahnya sedikit, maka ia tetap suci dan mensucikan. Jika zat lain tersebut jumlahnya banyak, ulama bersepakat ia suci namun mereka berselisih pendapat apakah air tersebut mensucikan (bisa digunakan untuk tharahah).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di merajihkan bahwa air tersebut tetap dapat mensucikan. Beliau mengatakan: “Para ulama berselisih pendapat mengenai air yang tercampur dengan zat yang suci yang digunakan untuk menghilangkan hadats dan semisalnya, apakah ia tetap suci dan mensucikan? Adapun kami ber-istishab (berpegang pada hukum asal) dalam hal ini, sebagaimana pendapat yang shahih dalam hal ini. Berdasarkan dalil (istishab) yang banyak yang tidak bisa dipaparkan di sini. Jika dikatakan bahwa air tersebut statusnya antara suci dan najis sehingga ia suci namun tidak mensucikan, beralasan dengan pendapat ini adalah alasan yang sangat lemah. Karena menetapkan jenis air baru yang tidak suci dan tidak pula najis adalah perkara yang ta’ummu bihil balwa (kebutuhannya luas) dan sangat mendesak untuk didatangkan penjelasan. Jika hal tersebut dibenarkan, maka tentu syariat akan menjelaskannya dengan penjelasan yang lurus untuk memutus perselisihan. Maka jelaslah bahwa pendapat yang tepat adalah bahwa air hanya dibagi dua: suci dan najis”[3. Irsyad Ulil Bashair, 9].

Namun hal itu jika zat lain yang mencampuri air tidak mendominasi air hingga keluar dari kemutlakannya. Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjelaskan: “Jika air berubah salah satu sifatnya (warna, bau dan rasa) dengan percampuran zat lain yang suci, seperti daun, kayu, sabun, pohon isynan, daun bidara, atau benda lain yang suci, yang tidak sampai mendominasi air, maka sebagian ulama memiliki rincian dan terdapat khilaf. Yang tepat, air tersebut tetap suci, boleh menggunakannya untuk bersuci dari hadats dan bersuci dari najis”[4. Al Mulakhash Al Fiqhi, 18-19].

Ringkasnya, yang shahih, secara umum air hanya ada dua jenis: suci dan najis. Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan:

“Air itu terdiri dari dua macam:

Pertama: air suci yang bisa digunakan untuk bersuci, baik ia masih dalam keadaan aslinya atau sudah tercampur dengan zat lain yang suci namun tidak sampai mendominasi air hingga ia tidak lagi dinamai ‘air’ secara mutlak.

Kedua: air najis yang tidak boleh digunakan, dan tidak bisa untuk bersuci dari hadats dan najis. Yaitu air yang salah satu sifatnya berubah karena tercampur dengan zat lain yang najis”[5. Al Mulakhash Al Fiqhi, 19].

Wabillahi at taufiq was sadaad.

Baca Juga:

  • Air yang Digunakan untuk Berwudhu
  • Apakah Air Musta’mal Suci Dan Mensucikan?

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

🔍 Tafsir Surat Al Qadr, Hadist Tentang Sholat Tasbih, Tapak Kaki Nabi Ibrahim, Kajianmuslim.net, Agama Yahudi Dan Nasrani